Ekonomi Islam yang Terbuka

Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah
(QS. Al-Imran [3]: 110)

Tidak dapat dipungkiri, salah satu proses dan hasil dari agenda integrasi ilmu dan agama yang paling menonjol saat ini adalah ilmu Ekonomi Islam. Terbukti dengan didirikannya STEI (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam); dibukanya jurusan atau program studi berbasis Ekonomi Islam; hingga munculnya beberapa pusat studi yang mengkaji ilmu Ekonomi Islam. Dalam hal aplikasi dapat ditemui Pemberdayaan ekonomi umat melalui LKS (Lembaga Keuangan Syari’ah) mulai dari bank syari’ah; pegadaian syari’ah; asuransi syari’ah; hingga BMT (Baitul Mal wa Tamwil). Fenomena di atas sekaligus meneguhkan bahwa agenda besar umat Islam itu (integrasi ilmu dan agama) tidak hanya sekedar ‘wacana muluk-muluk belaka’, tetapi merupakan aksi-aksi riil yang dapat dirasakan manfaatnya oleh umat.


Namun demikian, masih ada keragu-raguan; ketidakpercayaan; hingga tuduhan terhadap aktivitas yang sesungguhnya mulia ini. Yang justru itu banyak dilakukan oleh orang Islam sendiri. Pada dataran keilmuan, paradigma dan metodologi Ekonomi Islam dinilai tidak jelas sehingga keberadaannya dianggap tertutup dan masih sering dipertanyakan. Juga dalam praktek tak luput dari sasaran tembak, LKS yang ada dituduh hanya berkedok syari’ah dalam usahanya meraih profit (profit oriented). Yang lebih tragis, salah satu upaya untuk menyejahterakan kehidupan umat ini dinilai selalu bermuatan politis dan mempunyai kepentingan-kepentiangan tertentu, sehingga patut dan layak untuk dicurigai.

Selama ini, pemikiran dalam Ekonomi Islam didominasi oleh mazhab mainstream yang dipelopori oleh Chapra, Mannan, dkk. (Adiwarman: 2001). Secara garis besar, dapat dikatakan pemikiran kelompok ini berlandaskan pada paradigma Islamisasi Pengetahuan (baca Islamisasi Ekonomi) milik cendekiawan Melayu, Ismail Raji’ al-Faruqi. Konsekuensinya, Ekonomi Islam sering diakui sebagai produk dan tidak bisa lepas dari proyek ‘cukup ambisius’ ini. Tujuan agenda besar ini adalah mengislamkan seluruh ilmu pengetahuan yang selama ini dikuasai oleh pemikiran sekuler Barat, termasuk didalamnya ilmu Ekonomi. Objektivitas ilmu yang bebas nilai (free of value) ternyata memihak kepada kepentingan tertentu yang menimbulkan ketimpangan dan kebobrokan dalam kehidupan masyarakat. Hal inilah yang coba diatasi oleh usaha Islamisasi Pengetahuan. Gerakan intelektual internasional ini menyebar ke seluruh dunia sebagai sebuah usaha untuk mendorong agar umat Islam tidak begitu saja meniru metodologi dari luar dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada nilai-nilai Islam.

Balik ke pokok masalah. Dengan landasan pemikiran mainstream, akhirnya keilmuan Ekonomi Islam banyak dikembangkan oleh pihak-pihak yang secara intelektual memang sepaham dengan arah pemikiran yang demikian.Perkembangan itu diawali dari mengkaji Ekonomi Islam; mendirikan LKS; hingga berbisnis riil dengan kerangka Ekonomi Islam. Berbekal kepedulian dan kesabaran, akhirnya perjalanan Ekonomi Islam mencapai posisi seperti saat ini. Walaupun begitu, pengembangan Ekonomi Islam dinilai masih tertutup (eksklusif) oleh kalangan awam maupun kalangan yang tidak sepakat dengan alur pemikiran Ekonomi Islam.

Persoalan Ekonomi Islam sebagai sebuah Islamisasi Pengetahuan mungkin masih menyisakan banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan itu (sebagaimana dididentifikasi Kuntowijoyo: 2004) adalah mengenai kedudukan pengetahuan dalam Islam. Pengetahuan adalah kebudayaan atau muamalah yang menganut kaidah ‘semua boleh kecuali yang dilarang’. Jika pengetahuan sudah menjadi egoistik dan melampaui batas, maka hilang statusnya sebagai sekedar muamalah. Bahkan kadang-kadang pengetahuan mengklaim sebagai kebenaran. Penyakit inilah yang mungkin menjangkiti pengembangan Ekonomi Islam sehingga perlu diwaspadai oleh para ekonom muslim.

Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektivitas. Oleh karena itu, umat Islam harus pandai-pandai memilih mana yang perlu islamisasi mana yang tidak. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar objektif dan sejati. Jadi Islamisasi Pengetahuan sebagian memang perlu, sebagian pekerjaan yang tidak berguna. Agaknya sikap umat Islam seharusnya adalah la tukadzibuhu jamii’a wala tushahhihuhu jamii’a (jangan tolak semuanya dan jangan terima semuanya).

Menindaklanjuti hal yang mendasar tersebut, kiranya dapat dipinjam langkah objektivikasi-nya Kuntowijoyo secara singkat dan sederhana untuk membuat pengembangan Ekonomi Islam lebih terbuka. Oleh Kuntowijoyo, Objektivikasi adalah penerjemahan atau konkretisasi nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Dalam konteks ini, suatu perbuatan itu dimasukkan objektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang non-muslim sebagai sesuatu yang natural atau sewajarnya, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Walaupun dari sisi yang mempunyai perbuatan bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan termasuk amal. Begitu juga sebaliknya.

Objektivikasi harus diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Misalnya ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang tidak beriman bila tidak meninggalkan riba dapat diobjektifkan dengan sistem bagi hasil yang secara ekonomi lebih menguntungkan dan secara muamalat dibolehkan. Objektivikasi sendiri sesungguhnya berbeda dengan sekulerisasi dan objektivasi pengetahuan Barat. Dengan strategi ini, diharapkan dari sisi epistemologi Ekonomi Islam menjadi semakin jelas dan dapat diterima oleh lebih banyak kalangan.

Bergeser ke lapangan, ditemuinya beberapa penyimpangan atau pelanggaran oleh LKS terutama menyangkut aspek kesyari’ahan menyebabkan munculnya tuduhan-tuduhan terhadap Ekonomi Islam. Embel-Embel syari’ah dituduh hanya sebagai cara untuk mengeruk keuntungan bisnis semata. Tuduhan ini tidak sepenuhnya benar, karena penyelewengan itu hanya dilakukan oleh oknum kecil yang tidak bertanggung jawab. Persentasenya pun tidak signifikan dibanding peran dan kinerja LKS dalam memberdayakan ekonomi umat. Untuk itu diperlukan dukungan dan usaha memperbaiki sistem aturan dan pengawasan agar kesalahan itu dapat diminimalkan. Justru yang diperlukan sekarang adalah persiapan mutu Sumber Daya Insani yang lebih berkualitas dalam ‘melawan’ globalisasi. Harapannya, berbagai lapisan masyarakat tidak cuma bisa menghujat tetapi mampu memberikan solusi yang cerdas dan mencerahkan. Karena memang umat sudah terlalu ‘pening’ memikirkan kebobrokan sistem dan hendaknya sekarang perbaikan dimulai dari diri sendiri, yang kecil dan sederhana tetapi kontinyu menuju keadaan yang lebih baik. Paling penting dan tidak boleh dilupakan bahwa praktek tidak semudah teorinya.

Tentang penilaian adanya muatan politis yang selalu terkandung dalam Ekonomi Islam juga tidak sepenuhnya dapat dibuktikan bahwa itu signifikan. Diakui memang selama ini ada beberapa partai politik yang concern dengan Ekonomi Islam, yang itu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan parpol tersebut. Tetapi sekali lagi, keadaan ini tidaklah mengkhawatirkan dan mendominasi pengembangan Ekonomi Islam. Bahkan pada kenyataannya, lebih banyak organisasi non-politik yang melakukan aktivitas-aktivitas Ekonomi Islam. Sebut saja Muhammadiyah dengan amal usahanya yang banyak, Kopontren (Koperasi pondok pesantren) yang dimiliki pondok pesantrennya NU. Diharapkan juga bahwa gagasan objektivikasi dapat membebaskan Ekonomi Islam dari prasangka politis pihak-pihak birokrasi atau pemerintah, umat muslim, dan non-muslim. Yang mencemaskan adalah keadaan perpolitikan di tanah air saat ini yang memang tidak dapat dikatakan sebagai politik amar ma’ruf nahi munkar. Nyatanya muatan politis itu juga cuma kecil saja dan Ekonomi Islam memang harus terbuka.

Yang jelas, seluruh pihak yang terkait dengan perkembangan Ekonomi Islam harus mampu menampilkan Ekonomi Islam dengan terbuka sehingga mampu merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Terlalu sayang jika khasanah keilmuan ini ditumpangi oleh kepentingan jahat tertentu atau bahkan dibiarkan begitu saja. Aksi-aksi pemberdayaan riil lah yang sekarang ini mendesak dibutuhkan. Pemikiran atau wacana melangit tak akan ada gunanya tanpa realisasi konkret. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Klik suka di bawah ini ya