Para hakim pengadilan agama memiliki tantangan dan tugas baru. Ini terkait dengan amandemen Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memberikan perluasan wewenang pengadilan agama, untuk menangani sengketa ekonomi syariah. Sudah sejauhmana kesiapannya?
Perluasan wewenang pengadilan agama itu, antara lain meliputi ekonomi syariah. Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Perluasan wewenang pengadilan agama itu, antara lain meliputi ekonomi syariah. Penyebutan ekonomi syariah menjadi penegas bahwa kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Perluasan kewenangan itu, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi aparatur peradilan agama, terutama hakim. Para hakim ini dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit --hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau kurang jelas.
Keniscayaan hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar, res judikata pro veriate habetur. Sejalan dengan itu, setiap hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian syariah.
Memang, para hakim pengadilan agama telah memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam. Namun karena selama ini, pengadilan agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syariah, maka wawasan yang dimilikinya pun tentu masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat; hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya.
Paling tidak, ada beberapa hal penting yang menjadi 'pekerjaan rumah' para hakim pengadilan agama terkait perluasan kewenangannya dalam menangani sengketa perekonomian syariah. Pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam.
Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah.
Ketiga, para hakim agama juga perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam.
Kekuatan Yuridis
Perekonomian berbasis syariah harus diakui telah mengalami perkembangan pesat yang menggembirakan. Sejak Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri dan mulai pada beroperasi 1 Mei 1992, pertumbuhan perbankan syariah meningkat tajam. Dari satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada 1998 menjadi tiga bank umum syariah dan 17 bank umum yang membuka unit usaha syariah dengan 163 kantor cabang, 85 kantor cabang pembantu, dan 136 kantor kas, serta 90 BPRS pada akhir 2005.
Kontribusi industri keuangan syariah memang masih kecil dibanding dominasi konvensional. Namun, tak bisa dipungkiri, tingkat pertumbuhannya amat pesat, dan terbukti tetap eksis kendati dihantam krisis moneter, beberapa tahun ke belakang.
Yang juga cukup menggembirakan, ragam bisnis berbasis ekonomi syariah pun bertambah luas. Bukan hanya bidang perbankan, tapi juga memasuki wilayah asuransi, pasar modal, saham, pegadaian, dan lain-lain. Menilik kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum menjadi penting diupayakan keberadaannya.
Sebagaimana kita tahu, para pelaku dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan sistem syariah diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara bank dan nasabah.
Bila pun terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikan secara musyawarah. Meski demikian, masih ada kemungkinan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Kemungkinan seperti ini kian besar, terlebih dalam kehidupan dunia ekonomi syariah yang kian beragam.
Sebelum amandemen UU Peradilan Agama, kasus sengketa keuangan syariah tidak bisa diselesaikan di pengadilan agama. Yang menjadi sebab, karena wewenang pengadilan agama telah dibatasi UU No 7 Tahun 1989 tadi, yang hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah. Artinya, pengadilan agama tidak dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut.
Di sisi lain, pengadilan negeri juga tidak pas untuk menangani kasus sengketa lembaga keuangan syariah. Pasalnya, bagaimana pun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara.
Selama ini, sebelum amandemen UU Peradilan Agama, memang ada lembaga yang menangani sengketa perekonomian syariah, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Namun ini pun, harus melalui kesepakatan kedua belah pihak terlebih dulu. Kalau nasabah tidak sepakat, tentu kasus sengketa itu tidak bisa dibawa ke Basyarnas.
Barangkali, itulah sebabnya para ulama, pengamat, dan praktisi perekonomian syariah mendesak pentingnya amandemen UU No 7 Tahun 1989. Tujuannya, agar sengketa perekonomian syariah bisa ditangani oleh peradilan agama. Sebelum amandemen, memang kerap terjadi kebingungan. Dibawa ke lembaga peradilan umum tidak tepat, dibawa ke peradilann agama juga tidak berwenang.
Karena itu, wajar bila berbagai pihak menyambut baik langkah pemerintah mengamandemen UU No 7 Tahun 1989, dengan memperluas kewenangan peradilan agama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah di luar bidang yang telah ada selama ini.
Pesatnya bisnis berbasis ekonomi syariah dan perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa di dalamnya, memberi konsekuensi tersendiri bagi pengadilan agama. Selain harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syariah, para hakim juga dituntut lebih responsif terhadap perkembangan manajemen peradilan yang lebih modern.
Tak hanya itu, peradilan agama juga harus tampil bersih, transparan, akuntabel, dan bisa memenuhi rasa keadilan serta kebenaran. Butuh waktu memang. Namun, bagaimanapun, itu memang tanggung jawab yang mesti dipikul. Hanya dengan cara inilah, pengadilan agama akan mendapatkan apresiasi positif dari berbagai elemen masyarakat.
Dengan penambahan sejumlah bidang yang menjadi kewenangan dalam UU Peradilan Agama yang baru ini, diharapkan praktik-praktik umat Islam yang selama ini sudah berjalan di masyarakat mempunyai kekuatan yuridis. Dengan demikian, jika terjadi sengketa antara para pihak yang beragama Islam bisa dilakukan pencarian keadilan melalui lembaga peradilan agama.
Perluasan kewenangan peradilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syariah, tuntas sudah. Satu hal lagi, yang kini diharapkan para pelaku perbankan syariah, adalah UU Perbankan Syariah. Berbagai kalangan juga mendesak agar RUU Perbankan Syariah segera disahkan menjadi Undang Undang.
Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah tentu sangat penting. Bagi kalangan praktisi, UU Perbankan Syariah menjadi legitimasi paling akurat untuk menjalankan praktik perbankan syariah, Selain itu, adanya daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan berbasis syariah. Tanpa Undang-Undang Perbankan Syariah, maka sosialisasi dan pengembangan di daerah dinilai banyak pihak kurang efektif.
Oleh : Muhaemin (Pemerhati Ekonomi Syariah, Dosen UIN SGD Bandung)
Sumber: Republika Online