Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan industri keuangan syariah semakin pesat dari waktu ke waktu. Total aset BUS, UUS dan BPRS misalnya, menurut data BI telah menyentuh angka Rp 173,03 trilyun per September 2012. Demikian pula dengan perkembangan penerbitan sukuk negara (SBSN) dan sukuk korporasi yang juga mengindikasikan kinerja yang baik. Hingga 1 November 2012, total sukuk yang telah diterbitkan mencapai angka Rp 128 trilyun, dengan pangsa pasar yang mencapai angka hampir 10 persen dari keseluruhan penerbitan obligasi. Barangkali inilah market share instrumen keuangan syariah yang paling besar dibandingkan dengan yang lainnya, jauh melebihi pangsa pasar asuransi syariah yang baru mencapai angka 3,3 persen dan perbankan syariah yang baru menyentuh level 4,2 persen.
Namun demikian, satu hal yang perlu disadari bahwa misi keuangan syariah bukan sekedar meningkatkan nilai aset dan volume dana yang dimiliki, bukan pula semata-mata menaikkan tingkat profitability dan meminimalisir angka pembiayaan bermasalah. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu bagaimana agar keuangan syariah dapat mengatasi problematika perekonomian global saat ini, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hakiki, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta menciptakan tatanan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat. Karena itu, pendekatan keuangan syariah, di samping didasarkan pada penggunaan akad dan inovasi bisnis yang tepat, juga harus didasarkan pada pendekatan nilai (values). Kata “syariah” yang melekat pada setiap lembaga keuangan syariah (LKS), harus dimaknai sebagai misi mulia yang harus diemban oleh LKS, yaitu misi untuk menampilkan ajaran Islam yang komprehensif dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Oleh karena itu, agar misi mulia ini dapat tercapai dengan baik, maka penguatan “ruh” keuangan syariah menjadi hal yang bersifat mutlak. Ruh adalah spirit yang akan memberikan kekuatan kepada lembaga keuangan syariah untuk dapat ‘menghidupkan’ kegiatan perekonomian sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Paling tidak, ada empat spirit yang harus terpatri pada setiap LKS di negeri ini. Yaitu, ruhul ‘azimah (spirit niat dan motivasi), ruhut ta’awwun (spirit bersinergi), ruhul intima’ (spirit keberpihakan), dan ruhul jama’ah (spirit berjamaah).
Empat spirit (ruh)
Yang pertama adalah ruhul ‘azimah, atau spirit niat dan motivasi. Harus disadari bahwa niat dan motivasi adalah faktor yang sangat fundamental dan menentukan kualitas performa suatu lembaga keuangan syariah, maupun individu-individu yang terlibat di dalamnya. Ketika niat dan motivasi ini adalah karena Allah, maka profit motive dan social motive akan berjalan beriringan serta akan saling memperkuat. Sebab selama ini, yang muncul adalah paradigma seolah-olah antara motif profit dan motif sosial adalah dua entitas yang saling bertolak belakang. Dengan paradigma seperti ini, maka “sisi sosial” LKS hanya akan dianggap sebagai sebuah “beban kewajiban”, dan bukan menjadi bagian integral dari misi yang harus ditunaikan. Inilah persepsi yang harus diperbaiki.
Yang kedua adalah ruhut ta’awwun, atau spirit untuk bersinergi. Inilah barangkali yang menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi LKS, yaitu bagaimana memperkuat sinergi satu sama lain. Kuatnya paradigma kompetisi ala konvensional, dimana satu sama lain berusaha untuk memperbesar pangsa pasar masing-masing, sering menyebabkan friksi di lapangan. Misalnya, berusaha memasarkan produk LKS sendiri tetapi dengan menjelekkan LKS pesaing. Kemudian senang mengungkap kelemahan institusi lain dan menganggap institusi sendiri paling hebat. Atau memanfaatkan kesulitan yang dihadapi LKS lain untuk kepentingan LKS sendiri. Padahal yang harus disadari, bahwa kita saat ini tengah berhadapan dengan hegemoni institusi ekonomi dan keuangan konvensional yang telah berkuasa sejak republik ini berdiri. Karena itu, tanpa adanya sinergi yang bersumber dari prinsip keikhlasan dan kesediaan untuk saling berbagi, mustahil hegemoni tersebut dapat dikalahkan.
Ketiga, ruhul intima’ (spirit keberpihakan). Keberpihakan ini menjadi kata kunci arah masa depan industri keuangan syariah. LKS harus tetap memiliki keberpihakan untuk memajukan perekonomian umat, terutama UMKM yang notabene mayoritas milik umat. Masyarakat, termasuk kalangan pengusaha, harus diajak berpihak pada keuangan syariah dengan cara menabung di bank syariah, berasuransi dengan asuransi syariah, bertransaksi dan berinvestasi dengan instrumen investasi syariah, dan menggunakan jasa produk keuangan syariah lainnya. Demikian pula dengan pemerintah, harus didorong untuk berpihak pada keuangan syariah. Regulasi dan aturan yang menghambat perkembangan LKS harus diselesaikan, seperti potensi pajak ganda pada akad ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT). Meski telah ada PMK (Peraturan Menteri Keuangan) terkait hal tersebut, namun potensi pajak ganda tersebut masih ada. Bagaimana LKS akan mengembangkan inovasi produk jika aturan hukum positif belum sepenuhnya mendukung?
Sedangkan yang keempat adalah ruhul jama’ah (spirit persatuan). Inilah puncak dari spirit keuangan syariah. Spirit motivasi dan niat, sinergi dan saling tolong menolong, serta semangat keberpihakan, semuanya dilakukan dalam kerangka membangun persatuan dan kesatuan. Dengan kata lain, terkonsolidasikan dalam satu barisan yang kokoh dan saling mengokohkan, bagaikan tubuh yang satu (kal jasadil waahid). Spirit inilah yang sesungguhnya menjadi basis utama dalam membangun peradaban ekonomi syariah masa depan. Wallahu a’lam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Namun demikian, satu hal yang perlu disadari bahwa misi keuangan syariah bukan sekedar meningkatkan nilai aset dan volume dana yang dimiliki, bukan pula semata-mata menaikkan tingkat profitability dan meminimalisir angka pembiayaan bermasalah. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu bagaimana agar keuangan syariah dapat mengatasi problematika perekonomian global saat ini, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hakiki, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta menciptakan tatanan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat. Karena itu, pendekatan keuangan syariah, di samping didasarkan pada penggunaan akad dan inovasi bisnis yang tepat, juga harus didasarkan pada pendekatan nilai (values). Kata “syariah” yang melekat pada setiap lembaga keuangan syariah (LKS), harus dimaknai sebagai misi mulia yang harus diemban oleh LKS, yaitu misi untuk menampilkan ajaran Islam yang komprehensif dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Oleh karena itu, agar misi mulia ini dapat tercapai dengan baik, maka penguatan “ruh” keuangan syariah menjadi hal yang bersifat mutlak. Ruh adalah spirit yang akan memberikan kekuatan kepada lembaga keuangan syariah untuk dapat ‘menghidupkan’ kegiatan perekonomian sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Paling tidak, ada empat spirit yang harus terpatri pada setiap LKS di negeri ini. Yaitu, ruhul ‘azimah (spirit niat dan motivasi), ruhut ta’awwun (spirit bersinergi), ruhul intima’ (spirit keberpihakan), dan ruhul jama’ah (spirit berjamaah).
Empat spirit (ruh)
Yang pertama adalah ruhul ‘azimah, atau spirit niat dan motivasi. Harus disadari bahwa niat dan motivasi adalah faktor yang sangat fundamental dan menentukan kualitas performa suatu lembaga keuangan syariah, maupun individu-individu yang terlibat di dalamnya. Ketika niat dan motivasi ini adalah karena Allah, maka profit motive dan social motive akan berjalan beriringan serta akan saling memperkuat. Sebab selama ini, yang muncul adalah paradigma seolah-olah antara motif profit dan motif sosial adalah dua entitas yang saling bertolak belakang. Dengan paradigma seperti ini, maka “sisi sosial” LKS hanya akan dianggap sebagai sebuah “beban kewajiban”, dan bukan menjadi bagian integral dari misi yang harus ditunaikan. Inilah persepsi yang harus diperbaiki.
Yang kedua adalah ruhut ta’awwun, atau spirit untuk bersinergi. Inilah barangkali yang menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi LKS, yaitu bagaimana memperkuat sinergi satu sama lain. Kuatnya paradigma kompetisi ala konvensional, dimana satu sama lain berusaha untuk memperbesar pangsa pasar masing-masing, sering menyebabkan friksi di lapangan. Misalnya, berusaha memasarkan produk LKS sendiri tetapi dengan menjelekkan LKS pesaing. Kemudian senang mengungkap kelemahan institusi lain dan menganggap institusi sendiri paling hebat. Atau memanfaatkan kesulitan yang dihadapi LKS lain untuk kepentingan LKS sendiri. Padahal yang harus disadari, bahwa kita saat ini tengah berhadapan dengan hegemoni institusi ekonomi dan keuangan konvensional yang telah berkuasa sejak republik ini berdiri. Karena itu, tanpa adanya sinergi yang bersumber dari prinsip keikhlasan dan kesediaan untuk saling berbagi, mustahil hegemoni tersebut dapat dikalahkan.
Ketiga, ruhul intima’ (spirit keberpihakan). Keberpihakan ini menjadi kata kunci arah masa depan industri keuangan syariah. LKS harus tetap memiliki keberpihakan untuk memajukan perekonomian umat, terutama UMKM yang notabene mayoritas milik umat. Masyarakat, termasuk kalangan pengusaha, harus diajak berpihak pada keuangan syariah dengan cara menabung di bank syariah, berasuransi dengan asuransi syariah, bertransaksi dan berinvestasi dengan instrumen investasi syariah, dan menggunakan jasa produk keuangan syariah lainnya. Demikian pula dengan pemerintah, harus didorong untuk berpihak pada keuangan syariah. Regulasi dan aturan yang menghambat perkembangan LKS harus diselesaikan, seperti potensi pajak ganda pada akad ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT). Meski telah ada PMK (Peraturan Menteri Keuangan) terkait hal tersebut, namun potensi pajak ganda tersebut masih ada. Bagaimana LKS akan mengembangkan inovasi produk jika aturan hukum positif belum sepenuhnya mendukung?
Sedangkan yang keempat adalah ruhul jama’ah (spirit persatuan). Inilah puncak dari spirit keuangan syariah. Spirit motivasi dan niat, sinergi dan saling tolong menolong, serta semangat keberpihakan, semuanya dilakukan dalam kerangka membangun persatuan dan kesatuan. Dengan kata lain, terkonsolidasikan dalam satu barisan yang kokoh dan saling mengokohkan, bagaikan tubuh yang satu (kal jasadil waahid). Spirit inilah yang sesungguhnya menjadi basis utama dalam membangun peradaban ekonomi syariah masa depan. Wallahu a’lam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB