Dalam Islam zakat dibagi ke dalam dua macam, yaitu zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang terbanyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana).
Zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada setiap bulan Ramadhan, tepatnya di malam Lebaran hingga imam Shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar. Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya juga berkemampuan.
Menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengategorisasikannya pada dua bagian. Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnya mengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan.
Karena dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.
Visi sosial zakat
Di dalam Alquran ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini dalam banyak ayat Alquran telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan keislaman itu sendiri.
Dalam hadis kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi keesaan Tuhan (syahadat) dan dalam urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal. Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman yang bersifat sosial.
Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan terpinggirkan.
Secara vokal Alquran menyerukan agar kekayaan tidak boleh hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya (QS, [59]:7). Islam melarang orang-orang yang menumpuk-numpuk harta (QS [104]: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.
Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami. Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebagian membubung dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya.
Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas teratas sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang memonopoli dan mengonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam (Kuntowijoyo, 1996:300). Alquran menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS [4]: 75).
Strategi pengelolaan zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara.
Dalam tataran ini, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan zakat bukan suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.
Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Dengan demikian, ada beberapa langkah yang harus dilakukan.
Pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzaki) hingga ke pelosok pedesaan. Lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat.
Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing umumnya sudah memiliki data dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah, dan sebagainya.
Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh panitia zakat sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekadar membagi-bagi tanpa memerhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999).
Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh UU Zakat. Lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal pentasarufan (pendayagunaan) pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya.
Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat tertentu, tidak ada halangan menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk menurunkan tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni 2,5-10 persen.
Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat pernah mengusulkan menaikkan tarif zakat menjadi 20 persen atas berbagai jenis pendapatan yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter dan konsultan.
Kita perlu meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah gerakan sosial yang menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Pada ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Mashudi Umar, Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU