Hari ini, dunia sedang dikejutkan dengan perkembangan yang mencengangkan akan sebuah disiplin ilmu –yang sesungguhnya bukanlah barang baru- yang dipastikan paling banyak menyentuh problem masyarakat dunia. Saat ini ekonomi Islam sedang mengalami euforia, baik di negara berkembang, atau di negara maju sekalipun. Industri keuangan serta bentuk lembaga ekonomi Islam lain tumbuh di seantero jagat, mulai dari Timur Tengah, kawasan Asia hingga negara-negara Barat seperti Inggris. Di Indonesia, ekonomi Islam sebagian besar mengejawantah menjadi ‘industri keuangan syariah’, utamanya Bank Syariah yang juga menjadi entitas yang paling laku ‘dijual’ pasca krisis moneter 1997.
Jika kita menggunakan kacamata kritis, maka di sana ada hal yang patut kita perhatikan. Perkembangan ekonomi Islam di tataran praktek, tidak diimbangi dengan pengembangan ekonomi Islam pada sisi teori. Padahal, sebagai sebuah ilmu, semestinya ekonomi Islam juga bukan hanya perlu ditransformasikan ke dalam tataran praktis-implementatif tetapi harus pula diiringi dengan perkembangan di sisi akademis-teoretis. Keduanya mesti berjalan beriringan. Tidak kemudian satu berlari dan yang lainnya berjalan di tempat. Dan berpijak dari argumentasi inilah, riset-riset pengembangan keilmuan ekonomi Islam menjadi amat penting.
Seperti yang telah kita ketahui, dalam peta pemikiran dan pengembangan ekonomi Islam saat ini terdapat tiga arus pemikiran utama, yakni: Pertama, Mazhab Baqir al-Sadr dengan tokoh utamanya Baqir Sadr dan Ali Syariati. Aliran ini memiliki paham bahwa terdapat perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi dan Islam. Dan oleh karenanya, istilah ekonomi harus diganti dengan kata ‘Iqtishad’. Mazhab ini pula cenderung tidak menyetujui aksioma ekonomi konvensional ‘limited resources-unlimited wants’. Kedua, Mazhab Mainstream dengan tokoh-tokohnya: M.A. Mannan, Umer Chapra, Nejatullah Siddiqi, Monzer Kahf dan Anas Zarqa. Jika yang pertama berwarna ‘fundamentalis’, yang kedua ini lebih bersifat ‘jalan tengah’ dalam penyikapan terhadap ekonomi konvensional. Dan karena sifatnya yang moderat, mazhab ini menjadi paling dominan. Ide-ide yang ditawarkan menggunakan economic modelling dan metode kuantitatif, serta didukung oleh lembaga-lembaga besar yang mendukung untuk pengkajian dan publikasi hasil-hasil kajian mereka. Mazhab ketiga dan yang paling kritis adalah Mazhab Alternatif dengan pionernya Timur Kuran dan Muhammad Arif. Aliran ketiga ini mengajak umat Islam untuk bersikap kritis tidak saja terhadap kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga terhadap ekonomi Islam yang saat ini berkembang. Menurut pendapatnya Islam pasti benar. Akan tetapi ekonomi Islam belum tentu benar sebab ia hanya merupakan interpretasi manusia terhadap ajaran Islam.
Adanya perbedaan tiga mazhab pemikiran kontemporer tersebut, menurut penulis menunjukkan bahwa ekonomi Islam adalah dinamis dan di kemudian hari mampu mewujud dalam pengertiannya sebagai sebuah sistem (Islamic Economic as a System) dan bukan hanya definisinya sebagai sebuah ilmu (as a Science).
Pengembangan Teori
Dalam hal pengembangan ekonomi Islam yang bersifat akademis-teoritis, Islam memiliki paradigma tersendiri. Pertama, isu-isu dan masalah hangat yang sedang dihadapi didekati dengan melihat pengalaman-pengalaman ekonomi (behavior) negara Muslim masa silam dengan segala khazanahnya. Tidak cukup dengan itu, masalah yang ada kemudian dianalisis dengan pendekatan ekonomi kontemporer dengan tools analysis modern.
Setelah menghasilkan postulat-postulat, aksioma dan teori-teori ekonomi Islam hasil pengalaman empiris, kemudian ‘ditelurkan’ menjadi bentuk institusi-institusi dan kebijakan negara yang sifatnya makro dan terintegrasi. Ketika terdapat kekurangan dan ketaksempurnaan, dilakukanlah feedback (baca: evaluasi) sehingga dalam jangka panjang model-model yang tadi telah dihasilkan akan menjadi lebih sempurna, establish dan relatif dapat diaplikasikan pada sebanyak-banyaknya tempat dan waktu.
Beberapa Rintangan
Untuk mencapai hasil yang maksimal, studi dan riset ekonomi Islam yang dilakukan tentu saja tidak terlepas dari rintangan-rintangan yang harus dihadapi. Menurut Siddiqi (2008), sedikitnya terdapat enam rintangan yang menghambat kemajuan dan perkembangan riset yang lebih mendalam tentang ekonomi Islam. Keenam hambatan itu adalah:
1. Ketiadaan studi-studi sejarah dalam riset.
Ini berkaitan dengan kemampuan para peneliti mengakses sumber-sumber pengetahuan dari rujukan aslinya: bahasa Arab dan termasuk juga fiqh muamalah. Sehingga saat ini kita kehilangan agenda besar. Area riset tentang sejarah ekonomi masyarakat muslim menjadi sangat kurang. Padahal selayaknya, para peneliti ekonomi Islam mesti mampu membaca bukan hanya sumber utama yakni Alquran dan Hadits serta sumber lain, tapi juga mengelaborasi sejarah-sejarah bangsa muslim masa lampau. Karena dengan itu, kita akan mendapat ‘ibar’ sehingga kita tidak akan terjerumus dua kali ke dalam lubang kesalahan berekonomi yang sama.
2. Kekurangan studi dan riset yang sifatnya empiris.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ekonomi Islam saat ini relatif masih bersifat normatif. Ia kekurangan sisi empirisnya. Padahal, untuk mengembangkannya, mau tidak mau ekonomi Islam membutuhkan ‘empirical data’ yang tak sedikit. Sehingga memudahkan dalam menganalisis dan membuat model-model persamaan ekonomi baru. Tidak ada salahnya jika kita ikut mempelajari fakta-fakta ekonomi di negara-negara Barat sebagai bahan komparasi.
3. Dukungan institusi yang tidak memadai.
Tak ada uang, tiada kerja. Begitu pula riset. Maksudnya, pengembangan ekonomi Islam melalui riset-riset yang terpadu mengharuskan dukungan institusi (dana) yang tidak sedikit. Namun sayangnya, jumlah pusat riset ekonomi Islam dunia saat ini masih dapat dihitung dengan jari. Apalagi di Indonesia. Yang ada hanya terbatas pada pusat-pusat pelatihan dan ‘short course’ yang memang demandnya tinggi.
4. Ketidaktaatan norma dan etika dalam riset dan publikasi.
Hambatan riset ekonomi Islam lainnya adalah menyangkut plagiarisme. Sesungguhnya, jika melihat sejarah, para pakar keilmuan Islam dahulu sangat terkenal dengan orisinalitasnya. Justru pakar-pakar Baratlah yang ternyata banyak menjiplak karya-karya ulama muslim tanpa etika dan norma yang baik dalam penulisan karya ilmiah. Kepatuhan terhadap etika riset menjadi sebuah keharusan.
5. Lemahnya visi penelitian.
Harus kita akui bahwa visi penelitian yang dimiliki para akademis Islam masih lemah. Padahal semestinya ‘kerja ilmiah’ para intelektual muslim memiliki kontribusi positif terhadap pengembangan komunitas Islam. Para peneliti ekonomi Islam harus punya tanggung jawab sosial kepada masyarakat sehingga mampu menghasilkan prestasi, umpamanya: mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan mencapai pertumbuhan.
6. Salah dalam memilah antara dimensi Ketuhanan (divine) dan humanitarian (kemanusiaan) terhadap pustaka dan warisan Islam. Mana yang fixed, dan mana yang variabel. Sehingga berdampak pada takutnya sang intelektual untuk melakukan ijtihad-ijtihad ekonomi. Padahal sejatinya, ada kesepakatan terhadap landasan filosofis, sumber pengetahuan dan prinsip umum ekonomi Islam, yakni Alquran dan Sunnah. Ada pula hal-hal yang variabel akibat perbedaan interpretasi terhadap sumber naql, pendekatan dan metodologi, serta tafsiran terhadap format sistem ekonomi Islam.
Solusi Alternatif
Rintangan-rintangan yang dihadapi di atas menjadi sebuah tantangan yang harus dituntaskan segenap intelektual Muslim. Upaya yang mungkin ditempuh adalah dengan mulai mencoba mengalihkan sumber-sumber daya yang ada pada riset-riset pengembangan dengan efektif dan efisien. Selain itu juga dengan memberi keleluasaan yang lebih besar terhadap institusi-institusi riset dengan memprioritaskan penelitian yang lebih penting dan manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak. Yang lain dan tidak kalah penting, para peneliti dan pengembang ekonomi Islam harus mampu mengembalikan kepercayaan diri: Berani untuk menjadi seorang mujtahid yang jujur dan beretika. Wallahu a’lam.