Selama ini realisasi perdagangan bilateral Indonesia dan Malaysia sangat didominasi oleh empat mitra dagang utama, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Cina. Negara-negara tersebut merupakan negara maju dan memainkan peranan penting dalam perdagangan internasional dan perekonomian dunia. Karena itu, untuk mengurangi ketergantungan yang besar terhadap keempat pasar tradisional tersebut, diversifikasi pasar menjadi kebutuhan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh UN Comtrade Database (2008), penetrasi pasar ekspor terbesar Indonesia adalah ke Jepang (20,71 persen), disusul Uni Eropa (11,64 persen), Amerika Serikat (10,41 persen), dan Cina (8,48 persen). Malaysia juga mengalami kon disi dominasi pasar ekspor yang sama de ngan Indonesia, dengan dominasi terbesar adalah Amerika Serikat (15,71 persen). Malaysia sedikit lebih mampu mendiversifikasi pasar ekspornya, di mana penetrasi pasar di luar negara-negara dominan tersebut mencapai angka 53,5 persen, sementara Indo nesia hanya sebesar 49 persen. Dominasi pasar tujuan eskpor di beberapa negara sangat rentan, terutama jika terjadi krisis ekonomi dan politik di negara-negara ter sebut.
Tingginya penetrasi pasar Indonesia di Jepang didukung oleh perjanjian kerja sama In donesia Jepang yang tertuang dalam Economic Partnership Agreement (EPA), yang ditandatangani pada Januari 2006. Kese pakatan ini dibangun di atas tiga pilar penting, yaitu peningkatan kapasitas produksi, fasilitas perdagangan, dan perdagangan bebas. Namun demikian, adanya bencana tsunami, gempa, dan bocornya reaktor nuklir pada pertengahan Maret 2011, serta masih belum pulihnya pasar Amerika Serikat akibat krisis keuangan global, dapat berdampak serius bagi penurunan permintaan terhadap produk Indonesia dan Malaysia.
Pasar Timteng
Untuk menyiasati kondisi yang ada, mengembangkan perdagangan bilateral dan multilateral dengan negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah merupakan peluang yang menarik untuk dijajaki sebagai bentuk dari penetrasi pasar baru. Bank Dunia (2008) menyatakan bahwa kawasan Timur Tengah menikmati pertumbuhan ekonomi progresif dikarenakan tingginya harga minyak dunia, akselerasi dalam reformasi kebijakan yang lebih berorientasi pada pasar, dan integrasi pasar di kawasan dan dengan belahan dunia lainnya.
Kawasan ini juga mengalami peningkatan aliran investasi penanaman modal asing yang mencapai angka 4,7 persen dari total investasi penanaman modal asing pada 2006. Lebih jauh, kinerja perdagangan barang dan jasa negara-negara Timur Tengah mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan permintaan minyak dunia dan banyaknya proyek investasi yang sedang berjalan.
Artikel ini mencoba untuk menggali potensi perdagangan dan integrasi ekonomi Indo nesia-Malaysia dengan negara-negara Timteng. Turki, Arab Saudi, Moroko, dan Tunisia dipilih sebagai pintu gerbang perdag angan dengan Timur Tengah, sebagai lang kah awal integrasi ekonomi. Bank Dunia (2008) mengklasifikasikan Turki dan Arab Saudi sebagai negara yang mempunyai keberlimpahan sumber daya alam dan termasuk pengimpor tenaga kerja. Sebaliknya, Maroko dan Tunisia merupakan negara yang dikategorikan sebagai negara yang miskin sumber daya alam, tetapi memiliki tenaga kerja yang melimpah.
Dari data UN Comtrade Databse (2008), terdapat pola perdagangan yang sama antara Indonesia dan Malaysia, dengan Turki, Arab Saudi, Maroko, dan Tunisia. Turki merupakan negara tujuan ekspor terbesar pada 2007, di mana ekspor Indonesia mencapai angka 1,05 miliar dolar AS. Sementara Malaysia mencapai angka 0,90 miliar dolar AS. Indonesia dan Malaysia memiliki neraca perdag ang an negatif dengan Arab Saudi, dengan impor terbesar adalah minyak bumi. Adanya gejolak politik di sejumlah negara Timur Tengah diprediksikan akan meningkatkan harga minyak bumi dan memperbesar neraca perdagangan negatif antara Indonesia-Malaysia dan Arab Saudi.
Integrasi ekonomi
Integrasi ekonomi dapat didahului dengan meng ukur seberapa besar keeratan hubungan perdagangan antarnegara, di mana analisis Intra Industry Trade (IIT) merupakan salah satu alat ukurnya. Nilai IIT Indonesia-Malaysia dengan Turki, Arab Saudi, Tunisia, dan Maroko pada 2007 dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, integrasi perdagangan Indonesia-Malaysia dengan Turki dan Arab Saudi terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan Maroko dan Tunisia.
Turki dan Arab Saudi adalah negara tujuan ekspor yang potensial, terutama untuk produk primer. Sebaliknya, perdagangan dengan Maroko dan Tunisia relatif kurang terintegrasi. Untuk komoditas di luar pertanian, produk tekstil, besi, dan baja merupakan produk yang memiliki integrasi yang tinggi bagi Indonesia dengan Turki dan Arab Saudi. Sedangkan untuk Malaysia, produk de ngan tingkat teknologi yang tinggi, seperti pro duk optik, memiliki integrasi yang tinggi dengan kedua negara tersebut.
Berdasarkan aliran perdagangan dan lemahnya integrasi pada industri yang sama, integrasi ekonomi merupakan hal potensial yang harus diusahakan antara Indonesia-Malaysia dan negara-negara Timteng. Kesamaan keyakinan dan aturan perbankan dan perdagangan yang berdasarkan syariah, seharusnya sebagai pemicu terjadinya integrasi pasar dan integrasi ekonomi antara Indonesia-Malaysia dan negara-negara Timur Tengah.
Kegiatan integrasi ekonomi dan perdagangan melalui perjanjian perdagangan bebas seharusnya sudah mulai diinisiasi. Indonesia dan Malaysia dapat menjadi inisiator proses integrasi ekonomi tersebut. Krisis finansial yang masih terasa di AS dan bencana di Jepang, seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia-Malaysia untuk meningkatkan integrasi pasar dan integrasi ekonomi dengan negara-negara di Timur Tengah, dengan menjadikan Turki dan Arab Saudi sebagai pintu masuk proses tersebut.
Prof Dr Rina Oktaviani, Guru Besar FEM IPB