Abu Hamid Muhammad Al Tusi Al Ghazali (1058-1111 M) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali, lahir pada tahun 1058, di Desa Al Ghazalah, sebuah wilayah yang terletak di bagian utara Iran. Imam Al-Ghazali meru-pakanseorang pemikir Islam yang banyak menguasai bidang keilmuan, baik ilmu filsafat, ilmu sufisme, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau mulai menulis tentang filosofi ekonomi pada abad 11 dan 12, jauh sebelum munculnya ide Merkantilisme yang baru muncul enam abad setelahnya, maupun sebelum kemunculan ide pemikiran ekonomi fisiokrasi Adam Smith tujuh abad sesudahnya, yang dianggap oleh kalangan ekonom konvensional sebagai tahun kelahiran disiplin ilmu ekonomi.
Meskipun anak seorang miskin, tetapi Al-Ghazali muda memiliki budi pekerti yang mulia. Beliau yang kehilangan sosok ayah di usia belia, memulai belajar dari pemimpin sufi ayahnya, kemudian masuk madrasah (sekolah agama), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih luas dari beberapa orang yang dianggap ahli pada masanya. Reputasinya sebagai seorang cendikiawan muda, membuat Nizam Al Mulk Al Tusi mengangkat Al-Ghazali sebagai pimpinan bidang Teologi, Universitas Nizamiyyah Baghdad-Iraq, pada tahun 1091, di usia 34 ta-hun.
Dari hasil kerja kerasnya, lahirlah sebuah kitab klasik yang monumental, yang berjudul Ihya Ulum Al Din (menghidupkan ilmu agama atau pegangan hidup dalam Islam), di samping ratusan karya lainnya. Kitab ini berisi pesan-pesan tentang kebangkitan agama atau petunjuk hidup dalam Islam. Dan kitab Ihya Ulumu Ad Din, sampai dengan saat ini masih mendapatkan perhatian khusus dari para peneliti, akademisi, dan pihak-pihak lain, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Artikel ini mencoba membahas sebagian pemikiran ekonomi Al-Ghazali, terutama dalam konsep filosofi ekonomi, uang dan moneter, serta perilaku konsumen dengan mengambil referensi utama kitab tersebut.
Filosofi Ekonomi Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan aktivitas ekonomi setiap manusia adalah menuju hari akhir atau hari pembalasan. Menurut beliau, makna sebuah kekayaan adalah pencapaian menuju kesuksesan hidup yang abadi. Kekayaan dalam filosofi hidup harus diwujudkan dalam konsep tauhid (mengesakan Allah SWT), akhirat (hari pembalasan), dan risalah (aturan-aturan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW), yang dibuktikan dengan amal perbuatan.
Dalam konteks filosofi, Al-Ghazali membagi pelaku-pelaku ekonomi/masyarakat atau individu menjadi tiga kelompok besar (lihat tabel 1). yaitu pertama, kelompok masyarakat yang secara ekonomi berkecukupan, tetapi mereka melupakan terhadap tempat mereka akan kembali, yaitu alam akhirat. Mereka adalah kelompok masyarakat yang akan sengsara hidupnya. Kedua, kelompok masyarakat yang selalu memperhatikan dalam menjaga aktivitas perekonomiannya dengan alam akhirat. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang sukses/selamat dalam hidupnya. Ketiga, kelompok masyarakat yang ragu-ragu menghubungkan aktivitas perekonomiannya dengan alam akhirat. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang mendekati jalan tengah/jalan kebaikan.
Kebutuhan Pengetahuan Ekonomi Islam
Al-Ghazali sangat memerhatikan pentingnya ilmu pengetahuan bagi setiap umat manusia yang hidup di dunia, termasuk dalam mengatur aktivitas kehidupan sosial-ekonomi (muamalat). Seperti yang tertera dalam hadits Rasulullah Muhammad SAW, tentang keutamaan ilmu, yang berbunyi "Mencari ilmu adalah hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan" (Al Hadits). Beliau memandang norma-norma, nilai-nilai dan aturan-aturan Islam yang ada dalam Al Quran dan Hadits yang menyangkut aktivitas perekonomian adalah sesuatu yang mutlak diketahui dan dijalankan oleh setiap manusia yang menginginkan kehidupan yang sukses atau penuh keberkahan.
Al-Ghazali mengingatkan beberapa hal pokok yang wajib diketahui oleh setiap individu dalam menjalankan aktivitas perekonomian mereka, yaitu pengaturan Islam tentang bai (jual-beli /perniagaan), riba (bunga), salam (pembelian di muka), ijarah (persewaan), musyarakah (kerjasama), dan mudharabah (bagi hasil). Pada prinsipnya aktivitas perekenomian tersebut harus dijalankan sesuai dengan aturan yang tertera dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Khusus mengenai aturan Al-Bai atau jual-beli, Al Ghazali lebih lanjut menjelasan bahwa dalam transaksi jual-beli, harus me-menuhi tiga elemen (unsur), yaitu adanya dua orang/pihak yang bertransaksi, yakni adanya pembeli dan penjual, adanya komoditas yang diperjualbelikan, baik barang maupun jasa, dan adanya akad atau pernyataan kesepakatan dalam perdagangan antara pembeli dan penjual.
Menurut beliau, komoditas yang diperjualbelikan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria, yakni Pertama, barang atau jasa yang diperjualbelikan harus halal. Kedua, barang yang diperjualbelikan harus memiliki nilaiguna dan kemanfaatan bagi si pembelinya. Karena itu, Al Ghazali berpendapat bahwa memperjualbelikan binatang seperti ular dan tikus yang dapat membahayakan bagi si pembelinya dilarang dalam ekonomi Islam.
Berkenaan tentang unsur akad dalam transaksi ekonomi Islam, Al Ghazali berpendapat bahwa harus terdapat "pernyataan kata penawaran" (ijab), dan "pernyataan kata menerima" {qabul), dari penjual dan pembeli. Seandainya terdapat unsur keterpaksaan atau tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli, maka otomatis akad jual-beli tersebut batal demi syariat Islam. Pada intinya, aktivitas perekonomian dalam Islam sangat mengedepankan transaksi yang transparan, demi menjaga pelaku ekonomi dari perselisihan antara satu sama lain di kemudian hari.
Fungsi Uang Sebagai Media Alat Tukar
Salah satu kontribusi pemikiran ekonomi Imam Al Ghazali yang sangat penting adalah analisis terhadap fungsi uang (khususnya uang emas dan perak). Menurut beliau, fungsi uang sangat sederhana, yaitu hanya sebagai media alat tukar. Contohnya, seseorang memiliki sekarung kunyit. Sementara dia lebih membutuhkan seekor unta yang akan dia tunggangi. Sementara itu, ada seseorang yang memiliki seekor unta, tetapi dia membutuhkan kunyit yang akan dia konsumsi. Di sini diperlukan alat tukar sebagai pengukur nilai dari satuan unit komoditas yang berbeda-beda.
Lebih jauh Al Ghazali menjelaskan, sangat sulit mempertukarkan dua komoditas yang berbeda antara seekor unta dan sekarung kunyit, karena pemilik unta dipastikantidak akan mau menukarkan untanya dengan sekarung kunyit. Dalam hal ini, maka fungi uang menjadi penting, yang akan digunakan sebagai alat ukur yang paling mudah dan adil dari perbedaan nilai dua komoditas yang berbeda.
Kearifan lain dari uang menurut Al-Ghazali adalah bahwa uang itu memberikan kemudahan bagi setiap individu dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang dia diperlukan. Seseorang yang memiliki uang dengan mudah dapat membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian, makanan yang dia perlukan. Jadi, beliau berkeyakinan di sinilah diperlukannya uang yang berfungsi sebagai media alat tukar. Dalam hal lain Al Ghazali tidak mempermasalahkan penerapan uang bukan emas dan perak. Tetapi, dengan catatan pemerintah mampu menjaga stabilitas mata uang tersebut sebagai alat pembayaran yang sah dalam transaksi yang digunakan masyarakat.
Perilaku Konsumen
Al-Ghazali juga sangat menyoroti mengenai perilaku konsumen kaum Muslimin. Konsep konsumsi menurut Al Ghazali tidak sekedar terbatas pada kepuasan saja, tapi harus memiliki tujuan yang mulia dari aktivitas konsumsinya itu. Contohnya, seseorang yang yakin bahwa bekerja atas izin Allah SWT akan memperoleh kesehatan dan kecukupan rezeki.
Terdapat lima pokok pemikiran Al-Ghazali mengenai perilaku konsumsi yang perlu diperhatikan oleh kaum Muslimin Pertama, aktivitas konsumsi tidak sekedar memenuhi kepuasan semata, tetapi dilakukan atas dasar ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keyakinan. Kedua, sumber pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa yang akan dikonsumsi harus sesuai dengan ajaran Islam. Artinya sumber dana yang diperolehnya harus benar, bukan hasil mencuri atau menipu dan lain sebagainya.
Ketiga, barang dan jasa yang dikonsum-sinya harus halal. Artinya tidak diperkenankan mengkonsusmi barang yang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya. Keempat, bersikap pertengahan dalam konsumsi. Artinya, dalam berkonsum-si tidak boleh kikir dan tidak boleh boros. Sikap berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta bertentangan dengan jalan Allah SWT. Kaum Muslimin harus menghindari dua perilaku setan, yaitu berlebih-lebihan dan merusak dalam setiap aktivitasnya.
Kelima, konsumsi harus sesuai dengan adab atau norma, nilai syariat Islam. Artinya, ketika makan atau minum, seorang yang beradab harus menggunakan tangan kanan, duduk, dan tidak bercakap-cakap. Sungguh sebuah ajaran yang indah dan sederhana.
Wallahu alam.
Dr Muhammad Findi A, Dosen IE-FEM IPB