Pelaksanaan governance audit tidak ditujukan untuk menemukan fraud (kecurangan) dalam manajemen bank syariah, tapi lebih dari itu fiingsi audit ini akan menguatkan perusahaan dalam posisi strategis dalam bisnisnya.
Sebuah diskusi menarik bertajuk "How to Balance Form and Subtance, the Role of Sharia Scholars " diposting oleh Michael Gassner dalam website IslamicFinance.de beberapa waktu lalu. Pakar keuangan syariah yang bermukim di Swiss ini, mengajukan gagasan agar "niat" [intention/purpose) dari sebuah pengajuan fatwa syariah atas produk keuangan syariah turut diungkapkan dan dinyatakan dalam sebuah perjanjian kontrak yang akan direview tingkat kepatuhan syariahnya (shariah compliance) oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Menurutnya, hal ini amat penting agar kita memiliki perlakuan yang seimbang dalam melihat bentuk akad (contractual agreement) dan substansi ekonomi {economic substance) yang diciptakan dari sebuah fatwa syariah dan kebijakan bisnis yang diambil dalam pengembangan produk keuangan syariah. Dengan kata lain, dalam pengembangan produk keuangan syariah, diharapkan selain memenuhi fatwa kepatuhan syariah, juga dapat pula dipraktekkan untuk mencapai tujuan maslahat substansi ekonominya (economic benefit).
Tentu saja, diskusi yang menarik- ini mengundang sejumlah pro dan kontra dan memerlukan kajian lebih jauh tentang implementasinya. Namun, wacana tersebut sekali lagi mengingatkan kita akan pentingnya upaya untuk meningkatkan kepatuhan syariah, dan isu tata kelola yang baik (good corporate governance) dalam industri keuangan syariah. Hal ini sejalan dengan pemahaman kita bahwa menciptakan kepercayaan (trust) dari seluruh stakeholders bisnis syariah, adalah tantangan utama yang harus dicapai oleh industri bisnis syariah saat ini.
Sebagaimana dipahami bahwa bisnis perbankan sarat dengan potensi terjadinya information asymmetry (Levine, 2003). Perbankan syariah bahkan memiliki potensi yang lebih tinggi menghadapi information asymmetry problem tersebut, karena karakter khas dalam proses bisnisnya (Archer dan Karim 1997; Chapra dan Ahmed, 2002; Li, 2003). Tidak mengherankan bila kemudian sejumlah pakar dan lembaga regulasi memberikan perhatian akan hal ini. AAOIFI (2002), misalnya telah menerbitkan Governance Standards for Islamic Financial Institutions (GSIFI) dan kemudin IFSB (2005) mengeluarkan Guiding Principles on Corporate Governance for Institutions Offering only Islamic Financial Services.
Dalam konteks negara kita, Bank Indonesia pun telah mengeluarkan PBI No.il/-33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (BUS dan UUS). Peraturan ini antara lain menjadi pedoman untuk melakukan self assessment pelaksanaan GCG, laporan pelaksanaan GCG, dan tugas dan tanggung jawab DPS. Dalam upaya untuk meningkatkan kinerja corporate governance bagi bank syariah, Fatima dan Pramono (2007) dalam makalahnya yang bertajuk "Governance Committee and Governance Audit Model in Islamic Banks How will it Resolve the Problem of Information Asymmetry?" merekomendasikan agar governance audit diimplementasikan dalam praktik bisnis bank syariah.
Model Audit Tata Kelola
Tidak sebagaimana dalam model audit konvensional yang dikenal secara luas dalam praktik audit keuangan dan audit operasional; governance audit (audit atas pelaksanaan tata kelola yang baik) akan difokuskan untuk menilai kewajaran (fairness) manajemen dalam menjalankan operasinya, dan mendapatkan keyakinan bahwa bisnis telah dijalankan secara benar (run properly) (Orlikoff dan Totten, 2002, Sunarsip, 2001). Dalam sebuah model governance audit, sejumlah fungsi audit dilaksanakan untuk melakukan review atas prosedur tata kelola dan kepatuhan atas pedoman governance dari sebuah organisasi ataupun entitas bisnis (Kotz, 1998; Briant, 2006). Menurut LoBue (2003), governance audit juga mencakup proses assessment atas fokus strategis dari sebuah organisasi. Proses ini termasuk menilai dan mengevaluasi praktek tata kelola yang dilakukan oleh Dewan Direksi, dan dokumen-dokumen terkait implementasi governance (LoBue, 2003).
Secara ringkas, governance audit akan dilakukan dalam lima tahap. Pertama, melakukan review atas praktek corporate governance. Kedua, melakukan wawancara kepada manajemen atas prosedur governance. Ketiga, melakukan komparasi atas standar dan tren industri. Keempat, mendapatkan informasi tambahan dalam pelaksanaan tata kelola, dan kelima, membuat rekomendasi atas hasil audit yang dilakukan.
Lebih jauh, governance audit atau audit tata kelola ini juga mencakup penilaian atas etika professional, integritas dan nilai-nilai dalam sebuah entitas, termasuk akuntabilitas dari manajemen. Meyakini bahwa gov-ernace audit seharusnya dijalankan secara memadai dalam operasi bank syariah, berikut ini dipaparkan sebuah model governance audit bagi bank syariah (lihat gambar 1).
Dalam Gambar 1 tersebut, sebagaimanadirekomendasikan oleh AAOIFI (2002) dan IFSB (2005), bank syariah seharusnya dilengkapi dengan sejumlah organ dan fungsi governance yakni Dewan Pengawas Syariah (DPS), Internal Syariah Review (ISR) serta Governance Committee and Audit Committee. Organ tata kelola ini, bersama dengan auditor eksternal, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi, memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan praktek tata kelola bank syariah ke arah yang lebih baik. Governance Standard for Islamic Financial Institution (GSIFI) No. 4 menyatakan agar bank syariah membentuk sebuah Audit and Governance Committee (AAOIFI, 2002), sedangkan IFSB (2005) membedakan organ governance ini menjadi Audit Committee (Komite Audit) dan Governance Committee (Komite Tata Kelola). Pilihan untuk memisahkan ataupun menyatukan kedua organ governance ini pada dasarnya amat tergantung pada fungsi dan peran yang dibebankan pada organ tersebut. Komite Audit bertanggung jawab untuk mengoptimalkan peran eksternal audit dan memantau efektivitas fungsi internal audit. Sementara itu, Komite Tata Kelola bertanggung jawab atas keseluruhan mekanisme tata kelola di dalam bank syariah.
Fungsi Audit Tata Kelola
Karena fungsi strategis yang dimainkan oleh Komite Tata Kelola, organ ini bertanggung jawab untuk menunjuk governance auditor eksternal untuk melaksanakan audit tata kelola, misalnya dalam rentang waktu 3 sampai 5 tahun. Penunjukan auditor tata kelola eksternal ini dilakukan mengingat posisi Governance Committee yang independen.
Hasil-hasil governance audit ini sepatutnya dilaporkan kepada Governance Committe terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Dewan Komisaris dan Dewan Direksi.
Untuk menjalankan fungsinya dengan baik, auditor tata kelola harus mendapat dukungan dan kerjasama dari manajemen bank syariah, mengingat rentang tugas yang dijalankannya cukup luas. Hal tersebut antara lain mencakup pertama, mereview kelayakan mekanisme corporate governance untuk memastikan kepatuhan bank syariah atas prinsip-prinsip syariah. Kedua, mereview kewajaran dari kebijakan akuntansi yang diambil. Ketiga, mereview kewajaran kebijakan disclosure dan transparansi dari penyajian laporan keuangan bank syariah. Keempat, memeriksa kewajaran atas perubahan kepemilikan dan cross-holding dari sebuah bank syariah.
Selanjutnya yang keenam, mereview etika bisnis dan kode etik atas praktik corporate governance. Ketujuh, mengevaluasi kewajaran atas kebijakan risk management dan risiko usaha yang dihadapi oleh bank syariah. Kedelapan, mengevaluasi kewajaran atas penanganan kasus-kasus hukum yang dihadapi bank syariah.
Penting untuk disadari bahwa pelaksanaan governance audit tidak ditujukan untuk menemukan fraud (kecurangan) dalam manajemen bank syariah, tapi lebih dari itu fungsi audit ini akan menguatkan perusahaan dalam posisi strategis dalam bisnisnya (KoU, 1998). Yang pada gilirannya akan menjadi pilar utama terciptanya perlakuan yang adil bagi seluruh stakeholder bank syariah melalui perbaikan transparansi dan akuntabilitas bisnis svariah.
Sigit Pramono, Ketua SEBI School of Islamic Economics dan Peneliti Tamu FEM IPB