Salah satu keuntungan komparatif yang dimiliki Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah adanya pendekatan personal kepada debitur serta pelayanan yang cepat dengan prosedur yang sederhana. Tidak salah BPRS sering dikenal sebagai bank yang tumbuh berbasis komunitas dan sangat berperan dalam menciptakan kesempatan kerja melalui pengembangan usaha mikro serta meningkatkan produktivitas dan pendapatan orang miskin.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan bahwa pengaruh positif BPRS terhadap golongan di atas hanya akan dapat dipertahankan apabila BPRS itu memiliki kinerja keuangan dan jangkauan yang baik. Terkait kinerja keuangan bila kita mencermati statistik perbankan syariah Bank Indonesia terkini dapat dilihat bahwa terdapat dua risiko utama yang menghadang pertumbuhan BPRS di Indonesia. Risiko pertama adalah risiko kredit. Risiko kredit adalah risiko kerugian yang terkait dengan kemungkinan kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya atau risiko bahwa debitur tidak membayar kembali utangnya.
Tingginya risiko kredit tecermin dari posisi rasio pembiayaan bermasalah yang sering dikenal sebagai Non-Performing Financing (NPF) BPRS per akhir Maret 2011 sebesar 7,15 persen. Posisi NPF ini terlihat semakin memburuk dari posisi Januari 2011 sebesar 6,79 persen dan Februari 2011 sebesar 7,04 persen. Padahal, pada saat yang sama, posisi NPF Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) hanya 3,6 persen.
Bila kita cermati lebih dalam selama lima tahun terakhir, belum terlihat perbaikan yang signifikan karena rata-rata NPF BPRS adalah 7,66 persen. Angka ini tentu saja telah melebihi norma standar yang ditetapkan Bank Indonesia. Banyak faktor yang bisa menyebabkan tingginya NPF ini, baik itu faktor internal perbankan, faktor internal nasabah, faktor eksternal, kegagalan bisnis, maupun ketidakmampuan manajemen.
Kedua, tingginya risiko likuiditas. Tingginya risiko ini terlihat dari posisi Finance to Deposit Ratio (FDR) atau besarnya pembiayaan dibagi penghimpunan dana pihak ketiga pada akhir Maret 2011 adalah 129,40 persen. Posisi ini juga semakin memburuk dari bulan Januari 2011 sebesar 127,04 persen dan Februari 2011 sebesar 128,27 persen. Secara historis, sejak tahun 2005, terlihat bahwa selama lima tahun terakhir FDR memiliki rata-rata 125,26 persen per tahun. Padahal, BUS/UUS mampu memelihara posisi FDR 93,22 persen pada akhir Maret 2011.
Tingginya risiko likuiditas
Risiko likuiditas merupakan sebuah risiko yang muncul akibat ketidakmampuan BPRS untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangannya. Sumber risiko likuiditas adalah aktivitas BPRS yang dapat memengaruhi sumber dan penggunaan dananya atau barangkali muncul dari risiko lain yang dapat meningkatkan risiko likuiditas, misalnya, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Melihat dari fakta di atas, menjadi jelas bahwa tingginya risiko kredit yang tecermin dari tingginya NPF memiliki kontribusi terhadap tingginya risiko likuiditas BPRS karena risiko likuiditas dapat terjadi karena ketidakmampuan BPRS menghasilkan arus kas dari aset produktif. Bila tidak segera diatasi, risiko likuiditas akan dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat dan mengancam kelangsungan usaha BPRS.
Mengingat permasalahan ini bisa menimbulkan dampak signifikan, salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan manajemen risiko likuiditas secara efektif. Penerapan manajemen risiko likuiditas ini untuk memastikan kecukupan dana BPRS secara harian, baik pada saat kondisi normal maupun kondisi krisis dalam pemenuhan kewajiban secara tepat waktu dari berbagai sumber dana yang tersedia.
Pengendalian risiko likuiditas harus senantiasa dilakukan BPRS, baik dengan strategi pendanaan, pengelolaan posisi likuiditas, pengelolaan aset likuid berkualitas tinggi, maupun rencana pendanaan darurat.
Salah satu opsi terbaik untuk mengatasi risiko likuiditas di atas adalah melalui pembentukan APEX BPRS. Sebagaimana dimaklumi bahwa BPRS-BPRS memiliki keterbatasan dalam variasi produk, pelayanan, serta ketersediaan sarana dan prasarana pendukung operasional untuk mampu bersaing. BPRS memiliki keterbatasan pula dalam memenuhi kebutuhan nasabah dalam memindahkan dananya pada bank lain.
Untuk itulah perlunya APEX BPRS. APEX berasal dari bahasa Yunani, yaitu pengayom. APEX BPRS berarti perlunya lembaga pengayom BPRS yang dapat mendukung penguatan operasional BPRS dalam upaya pengembangan UMKM, masyarakat, dan ekonomi lokal. Penulis mengusulkan peran ini dapat dimainkan oleh 15 Bank Pembangunan Daerah Syariah (BPDS) yang dapat diharapkan menjadi APEX BPRS. Mengapa?
Di samping karena ke depan jumlah BPDS diprediksi akan segera bertambah seiring dengan sedang menggeliatnya BPD Regional Champion (BRC), hal lain yang lebih penting bahwa fungsi BPD ini sejalan dengan BPRS untuk mendorong terciptanya tingkat pertumbuhan perekonomian daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Dengan demikian, keberadaan BPDS sebagai induk atau bank sentral yang akan membantu mendukung aktivitas BPRS sangat memungkinkan dalam membantu pengembangan UMKM di daerah.
Beberapa manfaat APEX bagi BPRS ini adalah terciptanya efisiensi biaya melalui penyelenggaraan produk dan jasa bersama, peningkatan kebersamaan dalam mengatasi kesulitan bersama, mengurangi saving and lending gap antara BPRS dan bank umum, serta menyehatkan industri BPRS sehingga akan menambah kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya di BPRS.
Bambang Rianto Rustam, Dosen Magister Manajemen Universitas Riau. Praktisi Perbankan
Republika