Meskipun Indonesia terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain dalam memulai praktik keuangan syariah, namun perlahan tapi pasti Indonesia menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Dalam industri perbankan syariah, misalnya, secara kualitatif maupun kuantitatif menggambarkan performa yang lebih baik. Jumlah bank umum yang menawarkan layanan syariah di Indonesia melebihi Malaysia.
Namun demikian, harus diakui, dalam hal tertentu masih terdapat beberapa kendala fundamental yang dihadapi para praktisi ekonomi syariah dalam aplikasi teori dan konsep fikih muamalah yang menjadi landasan hukum Islam atas produk dan transaksi yang ada. Hal ini berbeda sangat jauh dibandingkan dengan rumusan hukum fikih muamalah yang digunakan oleh Malaysia dalam mendukung dan mempromosikan lembaga keuangan syariah. Bahkan, dalam kadar tertentu, rumusan hukum yang dikeluarkan sangat "liberal" dibandingkan dengan putusan hukum yang dikeluarkan oleh ulama Timur Tengah.
Tampaknya, Malaysia mencoba menyinergikan antara aspek pragmatis-ekonomis dan idealis-normatif. Artinya, aplikasi teori fikih muamalah disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat di lapangan. Oleh karena itu, tawaran kerangka dasar fikih muamalah ala Indonesia mendesak untuk segera dirumuskan.
Satu hal yang menjadi pertimbangan serius dalam kerangka perumusan fikih muamalah ala Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan teks atau nash yang berkaitan dengan muamalah.
Berbeda dengan nash yang berhubungan dengan keluarga, misalnya, di mana nash yang tersedia relatif cukup rinci. Dalam masalah muamalat, sangat sedikit nash yang membicarakannya. Hal ini menjadi indikasi bahwa dalam muamalat dibutuhkan fleksibilitas, sesuai dengan perkembangan, zaman, kondisi, situasi, ruang, dan waktu.
Dengan demikian, tidak berlebihan kalau disebut bahwa dalam muamalat, sumber ijtihadlah yang paling banyak diperlukan. Bahkan, nabi pun sesungguhnya mengisyaratkan bahwa muamalat sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi manusia.
Harus diakui bahwa perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan
mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti mortgage, leasing, mutual
fund, capital market, pasar uang, sampai pada instrumen pengendalian moneter oleh bank sentral.
Produk-produk perbankan syariah juga harus dikembangkan secara inovatif agar bisa memenuhi kebutuhan pasar. Dalam konteks Indonesia, hasil pemikiran dalam menghasilkan fatwa produk dan jasa perbankan syariah sejatinya berasal dari hasil ijtihad para ulama dan pakar ekonomi syariah yang tergabung dalam institusi resmi bernama Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia atau DSN-MUI.
Analisis pengembangan produk perbankan syariah yang berasal dari ijtihad DSN-MUI masih relatif sedikit. Di antara yang sedikit itu terdapat penelitian yang dilakukan oleh Rahmani Timorita Yulianti pada 2005 lalu yang berjudul "Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI tentang Produk Perbankan Syariah".
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola-pola ijtihad yang dipergunakan dalam menetapkan fatwa DSN-MUI tentang produk perbankan syariah. Sehingga, melalui penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan jenis-jenis produk dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memusatkan perhatian pola ijtihad DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang produk perbankan syariah mulai tahun 1999 sampai 2003.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pola ijtihad yang dipergunakan oleh Dewan Syariah Nasional adalah pola qiyasi (ta'lili) dan pola istislahi. Dalam konteks ini, DSN-MUI menggunakan pola ijtihad istislahi untuk menetapkan fatwa produk jasa perbankan syariah, dengan mengumpulkan ayat-ayat umum guna menemukan prinsip-prinsip umum yang dipakai untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan.
Selain itu, pertimbangan penetapan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang
produk perbankan syariah, pertama, adalah untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilisasi dana masyarakat dapat dilakukan lebih optimal, terutama dari segmen masyarakat yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional. Kondisi tersebut lebih berkembang dengan respons pemerintah dan Bank Indonesia melalui dukungan peraturan perundang-undangan tentang perbankan syariah.
Kedua, sebagai peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Ketiga, kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki keunggulan yang unik dan berdasarkan pada nilai-nilai moral. Keunggulan ini, antara lain, berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan, pembiayaan ditujukan pada usaha yang mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan kerusakan moral.
Alhasil, berpijak pada realitas perubahan sosial dalam bidang muamalah yang terus berkembang cepat akibat dari akselerasi globalisasi, ijtihad dalam menghasilkan produk dan jasa perbankan syariah tidaklah cukup secara apriori bersandar pada kitab-kitab klasik semata. Sebab, formulasi fikih muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan tersebut harus diformulasi kembali agar menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.
Konsep dan formulasi fikih klasik dalam merespons tantangan ekonomi modern yang ada perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zamannya, tempat, dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.
Ke depan, kita berharap, DSN-MUI lebih kreatif dan progresif dalam mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan pengembangan jasa dan produk perbankan syariah yang tentunya senapas dan kontekstual dengan kebutuhan rill masyarakat Indonesia.
Faizi, Mahasiswa Magister Studi Islam UII Yogyakarta
Sumber: Republika