Setelah 10 tahun sejak survei segmentasi pasar perbankan syariah kami lakukan pertama kali pada 2002, beberapa perubahan signifikan mulai tampak. Menggunakan pendekatan valuegrafis yang mengelompokkan pasar berdasarkan nilai yang diyakininya, pasar perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga segmen besar.
Pertama, pasar yang loyal terhadap perbankan syariah (loyalis syariah). Kedua, pasar mengambang, yaitu yang dapat menerima kedua sistem perbankan konvensional dan perbankan syariah (floating mass). Ketiga, pasar yang loyal terhadap perbankan konvensional (loyalis konvensional).
Selama 10 tahun ini telah terjadi peningkatan jumlah nasabah perbankan syariah secara signifikan dari hanya ratusan ribu menjadi enam juta pemegang rekening. Kenaikan ini didorong oleh pertumbuhan organik masing-masing bank syariah dan pertumbuhan nonorganik dengan bermunculannya bank-bank syariah baru. Enam juta nasabah merupakan jumlah yang fantastis bila dibandingkan jumlah nasabah perbankan syariah di Singapura, Malaysia, dan negara-negara Timur Tengah. Namun, bila dibandingkan jumlah nasabah perbankan di Indonesia, jumlah tersebut baru enam persen dari total nasabah. Bila dibandingkan jumlah nasabah Bank Mandiri, sebagai bank terbesar di Indonesia, yang mempunyai10 juta nasabah, jumlah itu baru 60 persennya.
Yang menarik adalah kenaikan jumlah nasabah tersebut bukan disebabkan bertambah besarnya pangsa pasar segmen loyalis syariah, namun disebabkan bertambah banyaknya segmen floating mass yang menjadi nasabah perbankan syariah.
Nilai yang mereka yakini masih sama, dapat menerima bank konvensional dan bank syariah, namun setelah 10 tahun, lebih banyak mereka dari segmen ini yang menjadi nasabah bank syariah tanpa meninggalkan bank konvensional.
Perilaku segmen floating mass yang menjadi nasabah bank syariah tanpa meninggalkan bank konvensional ini menarik untuk dilihat lebih lanjut. Lima puluh persen dari seluruh nasabah bank syariah ternyata memiliki rekening di dua bank konvensional terbesar, yaitu Bank Mandiri dan Bank BCA.
Dua puluh lima persen memiliki rekening di Bank BNI dan Bank BRI. Lima belas persen memiliki rekening di berbagai bank konvensional lainnya. Hanya 10 persen yang memiliki rekening di bank syariah lain.
Yang lebih menarik adalah nasabah segmen floating mass ini, tetap menjadikan bank konvensional sebagai bank utama mereka, sebagian besar dengan alasan kemudahan transaksi di bank konvensional. Meskipun saldo rata-rata mereka di bank syariah jauh lebih kecil daripada rekening mereka di bank konvensional, saldo rata-rata mereka di bank syariah secara signifikan lebih besar daripada saldo rata-rata nasabah loyalis syariah yang hanya memiliki rekening di bank syariah.
Yang juga menarik dicermati adalah sebagian besar nasabah di segmen loyalis syariah menempatkan dananya di satu bank umum syariah tertentu. Sedangkan sebagian besar nasabah floating mass, cenderung menempatkan dananya di unit usaha syariah bank konvensional ataupun bank syariah yang mempunyai induk bank konvensional.
Adanya kantor layanan syariah di cabang-cabang bank konvensional secara nyata mendorong pertumbuhan nasabah perbankan syariah di unit usaha syariah bank tersebut. Empat puluh persen nasabah yang datang ke cabang konvensional yang ada kantor layanan syariah merasa tertarik dengan sistem perbankan syariah. Sayangnya, hanya dua persen dari mereka yang datang benar-benar membuka rekening syariah.
Temuan ini menjadi penting dengan program spin-off yang membuat unit usaha syariah yang selama ini dapat memanfaatkan kantor layanan syariah di cabang-cabang konvensional, tidak lagi dapat melakukannya ketika telah berubah menjadi bank umum syariah.
Tampaknya perlu ada regulasi baru yang mengatur tentang bank syariah boleh menawarkan produk dan layanannya di bank konvensional yang menjadi induknya, misalnya melalui kerja sama keagenan penjual di antara dua bank dalam satu grup tersebut.
Rendahnya mereka yang benar-benar membuka rekening syariah juga patut dicermati. Kualifikasi pegawai yang ditempatkan pada kantor layanan syariah menjadi faktor penting untuk dapat mengonversi 40 persen nasabah konvensional yang tertarik menjadi nasabah bank syariah. Rendahnya angka mereka yang benar-benar membuka rekening syariah diduga akibat kualifikasi pegawai yang kurang berorientasi pada pemasaran dan penjualan.
Nasabah dari segmen floating mass tak kalah uniknya. Sebagian besar nasabah unit usaha syariah atau bank umum syariah merasa cukup memiliki rekening di satu bank syariah saja, dan tidak tertarik untuk menjadi nasabah bank syariah lain. Padahal, mereka tetap tertarik untuk membuka rekening lain dan menjadi nasabah bank konvensional lain.
Pada sisi aset, segmen loyalis syariah juga menunjukkan keunikan. Seluruh nasabah pembiayaan pada segmen ini masuk pada kategori pembiayaan ritel, baik untuk keperluan konsumtif maupun produktif. Ternyata tingkat pembiayaan bermasalah dari nasabah-nasabah loyalis syariah secara signifikan lebih rendah dibandingkan nasabah dari segmen floating mass pada bank yang sama. Sayangnya, survei ini tidak dapat menjelaskan apakah rendahnya pembiayaan bermasalah pada segmen loyalis syariah disebabkan oleh jenis pembiayaannya, yaitu pembiayaan ritel atau memang disebabkan nilai yang diyakini para loyalis syariah.
Relatif tingginya pembiayaan bermasalah pada segmen floating mass juga patut dicermati lebih lanjut penyebabnya. Pertama, apakah disebabkan oleh jenis pembiayaannya yang korporasi, dan segmen korporasi memang mempunyai pembiayaan bermasalah yang relatif lebih tinggi.
Kedua, apakah disebabkan oleh kualifikasi tenaga perbankan syariah yang kurang tepat untuk menangani pembiayaan korporasi. Ketiga, apakah memang disebabkan nilai yang diyakini para nasabah floating mass berbeda dengan para loyalis syariah.
Kemungkinan pertama ada benarnya karena secara nasional pun tingkat kredit bermasalah korporasi lebih tinggi. Kemungkinan kedua pun ada benarnya karena dengan modalnya yang relatif masih kecil, bank syariah secara regulasi dibatasi untuk hanya memberikan pembiayaan yang relatif kecil sesuai dengan modalnya.
Dengan demikian, kecakapan untuk memberikan pembiayaan korporasi tidak sebagus kecakapan ketika memberikan pembiayaan ritel. Untuk kemungkinan ketiga, sayangnya survei ini tidak dapat memberikan opini karena memang tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Satu hal yang pasti, utang wajib dibayar. Namun, bank syariah tidak dapat menjadikannya alasan untuk bertindak zalim kepada mereka yang kesulitan membayar.
Oleh: Adiwarman A Karim
Sumber: Republika