Tidak seorang pun yang bisa menyangkal bahwa perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sejak kelahirannya di sebuah desa kecil di Mesir pada kurun waktu tahun 1960-an. Walaupun sebenarnya kemunculan bank syariah secara terang-terangan baru terjadi pada pertengahan 1970-an ketika pemerintah dan pihak swasta sama-sama mendukung pendirian bank syariah di kawasan Timur Tengah terutama di Pakistan yang kemudian disusul Iran dan terus berlanjut ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, Kehadiran bank syariah ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992.
Bank syariah sering digembar-gemborkan sebagai bank yang berpraktek berdasarkan sistem bagi hasil atau populer disebut sistem profit and loss sharing (PLS). Inilah motif utama para ekonom muslim yang selalu mendorong bank syariah untuk memenuhi kepatuhan terhadap prinsip bagi hasil yang jelas berbeda dengan praktek pada perbankan konvensional yang berdasarkan bunga. Telah banyak penelitian dan karya ilmiah diterbitkan dalam bahasa Arab, Inggris, Indonesia maupun bahasa lainnya yang secara khusus membahas tentang kemajuan terus-menerus yang dialami perbankan syariah dari hari ke hari. Bahkan kajian perbankan syariah telah terintegrasi sebagai sebuah program studi dalam program master di beberapa perguruan tinggi ternama baik di dalam maupun luar negeri. Akan tetapi, setelah bank syariah berpraktek selama hampir tiga dasawarsa, pelajaran apa yang dapat kita petik dari salah satu bagian spesifik dari ekonomi islam ini?
Ulasan kembali kiprah pengalaman bank syariah telah dilakukan banyak dikerjakan oleh penulis-penulis sebelumnya. Namun, lebih dari itu, bagian ini hadir guna menyajikan kekurangan bila tidak mau disebut kegagalan bank syariah dalam usahanya memenuhi penyediaan solusi alternatif terhadap praktek perbankan berbasis bunga. Sudah seharusnya kita bersama-sama memikirkan sebuah cara baru untuk memecahkan problem ini. Dengan demikian, catatan kecil ini merupakan sebuah usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan di atas yang mencakup aspek teori maupun praktek dari perbankan syariah.
Sebagian besar ekonom muslim sepakat bahwa perbankan syariah telah sukses melewati fase awal dan pertumbuhan atau yang oleh para akademisi disebut sebagai fase mark-up. Sekarang telah tiba saatnya bagi industri perbankan syariah untuk melewati tahap selanjutnya yaitu fase PLS dimana akad mudharabah, musyarakah atau skim penyertaan sejenisnya dapat secara lebih luas disalurkan oleh bank syariah. Namun, tampaknya bank syariah seperti ”enggan” melangkah ke fase kedua ini dengan alasan mereka menemui banyak kesulitan dalam mengimplementasikan prinsip bagi hasil.
Kesukaran dalam menembus tahapan kedua ini membuat akademisi dan praktisi bank syariah berpikir keras untuk mengatasi ketidaksempurnaan aplikasi prinsip bagi hasil ini. Sebagian dari mereka mempunyai keyakinan untuk memurnikan teori perbankan syariah yang telah dipraktekkan oleh lembaga keuangan syariah itu selama lebih dari sepertiga abad. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan dan perlakuan baru terhadap perbankan syariah dengan membedakannya dari bank komersial biasa.
Selama ini, bank syariah hanya diartikan sebagai lembaga keuangan moneter yang mengumpulkan dana dari pihak yang berlebih (surplus units), kemudian mengalokasikannya ke sektor-sektor ekonomi melalui penyediaan pembiayaan bagi sejumlah pihak yang yang kekurangan (deficit units). Padahal sebetulnya, penggunaan pembiayaan model penyertaan seperti musyarakah membutuhkan setting lembaga lain yaitu lembaga keuangan non-moneter yang dibentuk untuk memobilisasi sumber dana jangka panjang. Dana ini akan disalurkan kembali sebagai pembiayaan jangka panjang kepada sejumlah perusahaan bisnis yang memungkinkan penggunaan model PLS. Dalam hal ini, diharapkan kritik terhadap bank syariah yang pada dasarnya tetap berpraktek sebagai bank komersial akan berkurang.
Hal yang juga mendesak untuk dilakukan adalah membedakan atau mengklasifikasikan antara pembiayaan aktiva lancar dengan pembiayaan aktiva produktif. Sebagai bank komersial, bank syariah tentu akan tetap menggunakan jenis pembiayaan mark-up seperti murabahah, salam, istishna, ijarah karena paling cocok dengan fungsinya sebagai penyedia pembiayaan jangka pendek. Bank tidak perlu menunggu sampai laporan keuangan nasabah dipublikasikan untuk menghitung bagian mereka atas keuntungan yang diperoleh. Jadi kedua aktivitas pembiayaan ini memungkinkan dijalankan jika bank syariah juga diperlakukan sebagai lembaga keuangan non moneter yang mengkhususkan diri pada penyediaan pembiayaan jangka panjang.