Abstraksi
Potensi zakat Indonesia sangatlah luar biasa. Namun pada kenyataannya, saat ini baru terkumpul lebih kurang Rp 830 milyar per tahun atau hanya 3% dari nilai potensialnya. Di sisi lain, angka kemiskinan dari hari ke hari grafiknya semakin naik. Menurut data yang ada, angkanya saat ini sudah hampir mencapai 40 juta orang. Masalah kemiskinan memang merupakan tanggung jawab negara. Namun melihat kondisi tersebut, setidaknya dana zakat dengan potensinya yang demikian besar tadi dapat berperan dalam membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai problem sosial masyarakat terutama kemiskinan dan pengangguran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara komprehensif problematika pengelolaan zakat di Indonesia yang kemudian menentukan urutan prioritas masalahnya sehingga diharapkan pemerintah sebagai ‘policy taker’ dapat memiliki tahapan langkah yang tepat dan terukur dalam pengambilan solusi kebijakan.
JEL Classification: C14, E62, H27
Keywords: Pengelolaan Zakat, Lembaga Zakat
I. PENDAHULUAN
Potensi zakat Indonesia di atas kertas luar biasa besar. Secara matematis, minimal akan kita dapatkan angka sebesar Rp 19 trilyun per tahun. Belum lagi jika ditambah infaq, shadaqah, serta wakaf. Akan kita peroleh angka yang cukup bombastis. Angka-angka di atas barulah potensi, belum menjadi kenyataan. Kenyataannya, saat ini baru terkumpul lebih kurang Rp 830 milyar per tahun (ini menurut data pengumpulan zakat oleh lembaga, baik BAZ maupun LAZ). Itu artinya hanya 1,3%. Apa masalahnya? Salah satunya adalah faktor kepercayaan muzakki yang rendah terhadap organisasi pengelola zakat yang ada.
Di sisi lain, angka kemiskinan dari hari ke hari grafiknya semakin naik. Menurut data yang ada, angkanya saat ini sudah mencapai 150 juta orang. Apalagi nampaknya krisis multi dimensi ini masih akan terus berlanjut. Memang masalah kemiskinan merupakan tanggung jawab negara. Namun melihat kondisi tersebut, setidaknya dana zakat (beserta infaq, shadaqah, wakaf, dan sejenisnya) dengan potensinya yang demikian besar tadi dapat berperan dalam membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai problem sosial tadi.
Berbicara zakat, yang terpenting dan tidak boleh dilupakan adalah peran para amil zakat selaku pengemban amanah pengelolaan dana-dana itu. Jika amil zakat baik, maka tujuh asnaf mustahik lainnya insya Allah akan menjadi baik. Tapi jika amil zakat-nya tidak baik, maka jangan diharap tujuh asnaf mustahik yang lain akan menjadi baik. Itulah nilai strategisnya amil zakat. Dengan kata lain, hal terpenting dari zakat adalah bagaimana mengelolanya (manajemennya).
Hal-hal itulah yang menjadi latar belakang perlu dibuatnya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat. Saat ini telah ada berbagai peraturan yang mengatur masalah ini, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
- Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
- Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Tentunya dengan adanya aturan-aturan tersebut, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ), diharapkan bisa lebih baik. Sehingga kepercayaan masyarakat muzakki kepada organisasi pengelola zakat dapat meningkat.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi hal-hal yang menjadi masalah dalam pengelolaan zakat di Indonesia, kemudian untuk dapat dipakai sebagai landasan dalam memberikan berbagai alternatif pemecahan dan strategi kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan masukan-masukan kepada stakeholder terkait seperti organisasi pengelola zakat, ataupun bagi Departemen Agama sebagai wakil pemerintah yang mengurusi ihwal zakat untuk dapat mengambil policy action yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
II. TEORI
II.1. Definisi Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun dalam Islam, sehingga sudah sangat dikenal oleh para kaum muslimin. Zakat dikeluarkan hanya bagi mereka yang telah tercukupi kebutuhan pokoknya. Orang yang membayar zakat dalam Islam disebut muzakki, dan orang yang berhak menerimanya disebut dengan mustahik. Ditinjau dari segi bahasa, dalam Mu’jam Wasith[1] disebutkan bahwa kata zakat merupakan kata dasar (mashdar) dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik.
Secara bahasa (lughat) berarti: tumbuh, berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah: 103). Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman: Artinya : "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka....". (QS. At-Taubah: 103). Ayat ini juga mengandung arti lain seperti yang diungkapkan oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Hukum Zakat ”..... ayat ini juga berarti bahwa arti ”tumbuh” dan ”Suci” tidak dipakai hanya buat kekayaan, tetapi lebih dari itu, tetapi juga buat jiwa yang menzakatkannya”.[2]
Sedangkan menurut terminologi syariah (istilah syara'), zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak dengan mengeluarkan jumlah tertentu tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[3] disebutkan bahwa zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya -fakir miskin dan sebagainya menurut yang telah ditetapkan oleh syara.
Dijelaskan juga oleh Yusuf Qardhawi[4] bahwa kata zakat dalam bentuk ma’rifah (definisi) disebut 30 kali di dalam Al-Qur’an. Semuanya disebutkan bersamaan dengan penyebutan sholat dan hanya satu kali yang tidak bersamaan dengan kata shalat, namun masih dalam konteks yang sama, yaitu firman-Nya; Artinya : ”Dan Orang – orang yang giat menunaikan zakat”, setelah ayat: ”orang-orang yang khusu’ dalam bershalat”.(QS. Al-Mu’minuun: 2 dan 4).
Di samping sebagai kewajiban agama, zakat juga merupakan bentuk ibadah yang memiliki dua dimensi sekaligus. Yaitu vertikal (bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal (sebagai income transfer bagi kaum dhu’afa). Dalam perekonomian Islam, zakat merupakan ciri yang tidak terdapat pada sistem ekonomi lainnya, karena zakat merupakan aturan yang berasal dari Al-Qur’an dan telah ditetapkan kepada siapa harus didistribusikan. Dalam ekonomi Islam, zakat merupakan implementasi dari sisi azas keadilan.
II.2. Karakteristik Zakat.
Zakat memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari jenis pungutan lain,[5] yaitu: Pertama, zakat merupakan kewajiban religius yang dikenakan pada individual maupun korporasi atau perusahaan. Zakah rate telah ditentukan pada flat basis. Berkaitan dengan hal ini zakat tidak dapat digunakan sebagai alat politik layaknya pajak di negara-negara maju. Kedua, pengumpulan zakat tidak begitu saja diserahkan pada individu, pemerintah bertanggungjawab atas pengumpulannya. Sehingga zakat bukanlah sedekah (charity), dan harus dikelola dengan terorganisir.
Ketiga, Zakat dikenakan secara luas terhadap seluruh aktivitas usaha mulai dari peternakan, pertanian, aktivitas komersial, pertambangan, hingga aset tidak bergerak. Zakah rate bagi setiap unit usaha berbeda sesuai dengan tingkat kesulitan dalam proses produksi. Contohnya, 5% untuk produk pertanian dengan sistem irigasi dan 10% untuk tadah hujan; 5% untuk madu dari lebah bukit dan 10% untuk lebah peternakan. Termasuk perbedaan bagi aset diam dan aset yang dipakai usaha, sehingga dalam ekspektasi rasional memberi motif agar tidak melakukan penimbunan. Keempat, Penerima zakat (mustahik ) telah ditentukan dalam Al-Quran, yang berupa delapan golongan. Ini menegaskan fungsi utama zakat adalah sebagai alat pengentasan kemiskinan, dan merupakan alasan rasional bahwa zakat tidak dapat digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara.
Kelima, Zakat dikenakan pada individu yang telah terkena nishab (batas) atau minimum wealth. Individu yang berada di atas limit tersebut wajib membayar zakat sedangkan yang berada di bawah limit tidak terkena kewajiban bahkan mereka menjadi penerima (mustakhik) zakat. Ini merupakan konsep awal minimum exemption limit dari pemikiran fiskal modern yang kemudian dikenal dengan nama negative income taxes.
Menurut Mannan[6] zakat memiliki beberapa fungsi. Pertama, merupakan keyakinan keagamaan, dimana muslim yang membayar zakat merupakan manifestasi dari keimanannya. Kedua, merupakan bentuk pemerataan dan keadilan, karena dengan adanya zakat maka kekayaan yang telah diberikan Allah kepada seseoarang akan lebih merata. Ketiga, produktivitas, zakat akan menekankan bahwa produktivitas harus lebih digalakkan karena pemaksimalan zakat akan berjalan searah dengan pemaksimalan laba. Keempat, Nalar, sangat rasional bahwa zakat itu memang harus dikeluarkan. Kelima, Kebebasan, karena zakat hanya dibayar oleh mereka yang bebas (merdeka). Keenam, etika dan Kewajaran, yaitu bahwa zakat tidak dipungut secara semena-mena.
II.3. Profil Pengelolaan Zakat Di Indonesia
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat. Disusul dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 Tentang Pedoman Tekhnis Pengelolaan Zakat. Sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-Undang tersebut yaitu pada pasal 6 dan 7, pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dengan jumlah saat ini sebagai berikut[7]:
- 30 Badan Amil Zakat Provinsi, 282 Badan Amil Zakat Kabupaten/Kota dan 788 Badan Amil Zakat Kecamatan.
- 15 Lembaga Amil Zakat Nasional dan 170 Lembaga Amil Zakat Kabupaten / Kota;
- Terdapat sekitar 965 Unit Pengumpul Zakat.
Sesuai dengan yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tujuan dari pengelolaan zakat di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama Islam.
- Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
- Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Berikutnya, pada Bab VIII yang merupakan Bab yang menerangkan mengenai sanksi yang dijatuhkan bagi mereka yang melanggar disebutkan bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar mengenai zakat, infak, shedekah, hibah, waris dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12, dan pasal 11 dalam Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000. Hal ini tentunya dimaksudkan agar Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) baik yang bertarafkan nasional maupun daerah dapat menjadi lembaga yang kuat, melakukan tugasnya dengan profesional, amanah dalam mengelola zakat sehingga akan dipercaya oleh masyarakat luas. Dengan demikian diharapkan masyarakatpun akan tergerak hatinya untuk membayar dan menunaikan kewajiban zakatnya kepada badan/lembaga amil zakat tersebut.
Meskipun payung hukum yang ada berasal dari Undang-Undang hingga Keputusan Menteri Agama, perlu diakui bahwa sistem pengelolaan zakat di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini disebabkan karena peraturan yang ada memang masih mengatur hal-hal yang sangat mendasar. Tanpa mengurangi rasa syukur dengan adanya Undang-Undang tersebut, mengingat sulitnya menjadikan peraturan dalam bentuk Undang-Undang di Indonesia, masih terdapat hal-hal yang sangat dasar yang memang belum diatur dalam Undang-Undang tersebut. Sebagai contoh, belum adanya sanksi bagi para muzakki yang memang sengaja tidak membayar zakatnya. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia belum seluruhnya menunaikan zakatnya pada lembaga maupun badan yang mengelola dana zakat.
Dengan tidak adanya kebijakan mengenai kewajiban membayar zakat pada badan/lembaga amil zakat dan ketiadaannya sanksi bagi mereka yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya, realisasi penghimpunan dana zakatpun masih jauh dari potensi yang seharusnya dapat dicapai. Hal ini dikuatkan dengan hasil suvei PIRAC yang menyebutkan bahwa hanya 12,5% masyarakat muslim di Indonesia yang menyalurkan zakatnya pada badan/lembaga amil zakat. Potensi zakat di Indonesia menyentuh hampir 20 Trilliun rupiah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Ford Fondation, potensi zakat di Indonesia adalah sebesar 19,3 Trilliun rupiah pada tahun 2005. Jumlah tersebut terdiri dari Rp. 5.1 Trilliun berbentuk barang dan Rp. 14.2 Trilliun berbentuk uang.
Yang menarik dari penelitian ini adalah, bahwa dana sebesar Trilliun-an rupiah tersebut sepertiganya masih disumbangkan oleh zakat fitrah (Rp. 6.2 Trilliun) dan sisanya adalah zakat maal sebesar Rp. 13.1 Trilliun. Yang lebih menarik lagi adalah sebesar 61% dari zakat fitrah dan 93% zakat maal diberikan langsung kepada penerima/mustahik. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar adalah masjid-masjid sebesar 70% disusul Badan Amil Zakat (BAZ) yang notabenenya adalah bentukan pemerintah baik pusat maupun daerah hanya menerima sebesar 5% zakat fitrah dan 3% zakat maal. Serta Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) hanya menerima 4% zakat maal.
III. PEMBAHASAN
Terdapat beberapa masalah dalam hal pengelolaan zakat di Indonesia sehingga berimplikasi tidak maksimalnya proses pengelolaan, pengumpulan hingga penyaluran zakat. Berikut ini adalah problem-problem tersebut. Pertama adalah, lemahnya sosialisasi UU nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat beserta peraturan di bawahnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan, masih sangat banyak masyarakat yang belum mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat ini. Padahal UU no. 38/1999 sudah berjalan hampir 2 tahun.
Kedua, belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) atau Surat Keputusan Bersama (SKB) UU no. 38/1999 setidaknya melibatkan tiga departemen: Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Departemen Keuangan. Tanpa dipayungi oleh PP atau SKB, dapat diprediksi bahwa implementasi UU no. 38/1999 tersebut tidak akan dapat berjalan secara mulus. Ketiga yang menjadi masalah pengelolaan zakat Indonesia adalah perihal Standardisasi Mutu SDM Amil Zakat. Agar SDM yang menjadi amil zakat adalah orang-orang yang benar-benar memenuhi kualifikasi dan profesional, maka diperlukan suatu standar kualifikasi SDM Amil Zakat. Pada akhirnya, dibutuhkan suatu sistem sertifikasi dan uji kelayakan (fit and proper test) terhadap SDM yang akan berkiprah sebagai amil zakat.
Selain standardisasi SDM, diperlukan juga standardisasi lembaga OPZ. Hal ini berguna sebagai petunjuk bagi setiap pihak yang ingin mendirikan OPZ. Tujuannya agar lembaga OPZ ini benar-benar bisa berjalan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah masih lemahnya akuntabilitas publik dan Open Management, selain masih lemahnya kapasitas pengorganisasian dan manajerial. Pelembagaan mekanisme pertanggung jawaban publik dalam tingkat standar masih menjadi fenomena langka. Justru lembaga filantropi yang dikelola secara swadaya masyarakat yang nampaknya paling siap menerapkan asas transparansi dan akuntabilitas publik, terutama DD dan PKPU yang dalam hal ini telah memanfaatkan jasa akuntan publik.
Problem selanjutnya mengapa potensi zakat hanya menjadi sekedar potensi adalah kesadaran umat Islam untuk mengeluarkan ZIS masih terbilang rendah akibat pemahaman yang salah dengan menganggap membayar ZIS akan mengurangi hartanya. Padahal, apabila dana masyarakat terutama ZIS bisa dioptimalkan, jelas akan membuat Indonesia tidak perlu bergantung pada bantuan dari negara-negara lain, seperti saat ini hingga pemerintah tak bisa berkutik dengan "pesanan" negara-negara luar.
Tak kalah penting yang menjadi masalah pengelolaan zakat di Indonesia adalah paradigma umat yang keliru akan formalitas zakat. Artinya, zakat hanya dianggap sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang. Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subjektivitasnya sendiri. Memang tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.
Fiqh Zakat yang “Usang” dan tidak sesuai zaman, tentang Nishab, Objek Zakat, Penentuan Mustahiq, menjadi masalah lain. Di samping model pendistribusian dana yang tidak menyertakan pemetaan ekonomi dan sosial. Tidak sedikit muzakki yang langsung memberikan zakat kepada fakir miskin tanpa memperhatikan apakah dana zakat tersebut mampu meningkatkan level kesejahteraan mereka atau tidak. Di sinilah pentingnya amil dalam proses penyaluran zakat. Lembaga amil yang profesional sangat diperlukan agar proses pengumpulan dana (fundraising) serta pendistribusiannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu yang membuatnya efektif dan efisien adalah dengan melakukan pemetaan sosial dan ekonomi.
Masalah lainnya adalah bahwa pendayagunaan zakat hanya mengambil bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat (Temporary Relief). Tidak forward looking yang sifatnya lebih jangka panjang, melainkan hanya untuk manfaat jangka pendek semata. Termasuk juga kurangnya inovasi di bidang distribusi dan pemanfaatan dana zakat. Hanya terbatas pada masalah-masalah charity: pembangunan mesjid dan madrasah, penyantunan fakir-miskin, anak yatim dan bantuan korban bencana, dan bukan program-program yang sifatnya noncharity seperti: advokasi kebijakan publik, bantuan hukum, HAM, perlindungan anak, pelestarian lingkungan dan pemberdayaan perempuan.
Masyarakat yang mengeluarkan zakat (muzakki) lebih memilih dan fokus kepada “orang” dan bukan pada “lembaga”. Sehingga kurang tertatanya pendayagunaan zakat dan beberapa efek negatif lain seperti: hanya menampilkan parade kemiskinan, tidak memberdayakan, tidak mendidik, menghasilkan ketergantungan, salah sasaran hingga salah kelola. Ini menandakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap organisasi pengelola zakat masih terhitung rendah. Ini menjadi problem kesekian dari carut-marut perzakatan kita. Termasuk juga belum adanya lembaga independen yang mengatur dan mengawasi semua pengelola dan penyalur zakat secara maksimal, sehingga penggunaan dan manfaat zakat dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat (mustahiq).
Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah tidak lengkapnya mekanisme dalam sistem perzakatan nasional, baik dari pengelolaan, pengawasan dan perundang-undangan. Tiga unsur pokok inilah, yakni pengelolaan, pengawasan dan perundang-undangan, yang secara spesifik belum eksplisit termuat dalam UU No. 38 Tahun 1999. Juga terkait dengan belum tersedianya cetak biru (blue print) konstruksi perzakatan nasional sebagai bingkai dan acuan pengaturan dalam pelaksanaan pengelolaan zakat di Indonesia. Siapa yang operasional, siapa yang menjadi pengawas dan siapa yang mengupayakan perundang-undangan zakat sehingga sistem pengelolaan zakat terstruktur, operasi serta sasaran pencapaiannya menjadi terarah dan jelas.
IV. KESIMPULAN
Beberapa hal dapat ditarik menjadi kesimpulan dari tulisan ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
· Bahwa saat ini, dana zakat yang berhasil dihimpun oleh lembaga pengumpul zakat di Indonesia, masih amat jauh dari titik potensialnya. Dari potensi yang sebesar hampir 20 triliun rupiah, dana yang berhasil dihimpun baru hanya sekitar 800 miliar hingga 1.3 triliun saja (atau sekitar 3 hingga 5 persen).
· Ada banyak penyebab mengapa himpunan zakat Indonesia tidak mencapai titik potensial yang seharusnya. Diantaranya adalah: masalah regulasi, political will pemerintah, manajemen internal lembaga pengelola zakat, paradigma masyarakat yang masih belum sama, hingga masalah sosialisasi dan edukasi. Nampaknya jika melihat begitu banyaknya problematika dalam perzakatan di Indonesia ini menjadi rasional jika dana zakat yang terkumpul sangat jauh dari harapan.
· Jika dibandingkan dengan instrumen fiskal konvensional (baca: pajak), ternyata zakat sebagai instrumen fiskal Islam masih sangat jauh tertinggal. Jika pajak sudah terhimpun sekitar 800 hingga 900 triliun rupiah per tahun, zakat masih hanya dalam bilangan angka 1 hingga 2 triliun. Atau kira-kira 0.01 persen dari himpunan pajak. Hal ini tentunya menjadi cermin bahwa perjalanan perjuangan ekonomi Islam di Indonesia masih amat jauh dan berliku.
Selain beberapa simpulan di atas, berikut ini adalah beberapa usulan solusi masalah pengelolaan zakat di Indonesia yakni: (a) Memperluas sosialisasi zakat, (b) Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Zakat, (c) Peningkatan Pendayagunaan Zakat, (d) Membangun koordinasi yang erat di antara semua lembaga pengelola zakat, (e) Kebijakan pemerintah yang mendukung, seperti: Pertama, menyetarakan zakat dengan pajak. Kedua kebijakan zakat menjadi tax deductable. Ketiga dengan kebijakan, saatnya zakat dikendalikan Departemen Keuangan, (f) Pemahaman yang Benar dan Mendalam akan Esensi Zakat kepada umat, (g) Kontekstualisasi Fiqh Zakat, (h) Penguatan Posisi Amil sebagai salah satu mustahiq yang ditentukan Allah (QS. 9: 60). Penyebutan posisi ini dalam Alquran mengisyaratkan bahwa Tuhan menginginkan adanya pengelolaan dana zakat yang profesional oleh institusi atau kelompok orang tertentu yang disebut amil. Mereka inilah yang melakukan upaya fundraising, sekaligus mengelola dan mendistribusikannya untuk kepentingan tujuan zakat. Untuk kerja mereka inilah mereka berhak mendapat sebagian dana zakat, dan karena itu nama mereka disebut dalam Alquran dan (i) Model penyaluran dana zakat yang produktif harus lebih menjadi orientasi daripada pola-pola distribusi dana konsumtif.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Hamid (Ed), 2004, Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS, Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat Infak Sedekah, Jakarta: Piramedia.
Ali, Nuruddin Mhd, 2006, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Amma, Faris, dkk, 2004, ”Zakat Pilar Islamisasi Ekonomi di Indonesia”, Makalah.
Dalimunthe, Ritha F., 2007, ”Sejarah Perkembangan Ilmu Manajemen”, Makalah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta.
Ghozali, M. Suffi Imam, 2008, ”Dampak Instrumen Dana Zakat Nasional terhadap Pertumbuhan Konsumsi dan Investasi Agregat di Indonesia”, Skripsi pada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, tidak diterbitkan.
Hafidhuddin, Didin, 2002, Zakat dalam Perekonomian Modern, Gema Insani Press: Jakarta.
Hafidhuddin, Didin, 2006, ”Zakat sebagai Tiang Utama Ekonomi Syariah”, Makalah pada Seminar Bulanan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Jakarta, Aula Bank Mandiri Tower, 20 Nopember 2006.
Muhammad, M.Ag, 2002, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat: Jakarta.
Prianita, Anita, 2005, ”Peran Lembaga Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat”, Makalah pada Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam (LKTEI), Temilnas IV FoSSEI 2005, Mataram.
Qardhawi, Yusuf, 2007, Hukum Zakat, Pustaka Litera AntarNusa, cetakan kesepuluh, Jakarta.
Rachmawati, Erna, 2004, ”Analisis Fiskal dan Performa Zakat di Indonesia”, Paper.
Sudewo, Eri, 2004, Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar, Jakarta: Spora Internusa Prima.
Suharto, Edi, 2008, ”Islam dan Negara Kesejahteraan”, Makalah pada Perkaderan Darul Arqam Paripurna (DAP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Jakarta 18 Januari 2008.
Suharto, Ugi, 2004, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak, Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd, Pusat Studi Zakat STIS: Jogjakarta.
[1] Yusuf Qardhawi (2007), Hukum Zakat, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta. Hal 34.
[2] Yusuf Qardhawi (2007), Hukum Zakat, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta. Hal 35.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta. Hal. 1135.
[4] Yusuf Qardhawi (2007), Hukum Zakat, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta. Hal 39.
[5] Rachmawati, Erna (2004), Analisis Fiskal dan Performa Zakat di Indonesia. Paper. Hal 13.
[6] Hafidhuddin, Didin (2002), Zakat dalam Perekonomian Modern, Gema Insani Press: Jakarta.
[7] Ghozali, M. Suffi Imam (2008), ”Dampak Instrumen Dana Zakat Nasional terhadap Pertumbuhan Konsumsi dan Investasi Agregat di Indonesia”, Skripsi pada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia hal. 45.