Banyak orang mengira mengelola zakat itu mudah, tidak perlu strategi dan perencanaan yang matang, apalagi sampai membandingkan dengan manajemen dan model pengelolaan dana di sebuah perusahaan karena karakter zakat tidak lebih dari sebuah kegiatan sosial yang dikumpulkan dari orang kaya lalu dibagikan kepada orang yang membutuhkan.
Anggapan seperti itu jika diterapkan di masa lampau mungkin benar. Namun, jika ditarik pada masa sekarang, ini jelas tidak tepat. Karena pengelolaan zakat di Indonesia, terutama sejak lahirnya UU No 38 Tahun 1999, mengalami perubahan yang sangat signifikan. Jika sebelumnya zakat hanya dikelola oleh kepanitiaan di masjid dan mushala, atau oleh sebagian muzaki (orang yang sudah berkewajiban zakat) yang di kelola (dibagikan) sendiri, sekarang sudah dikelola secara modern dan profesional melalui pendirian badan hukum dan organisasi tersendiri.
Jika dulu zakat tidak menjadi sesuatu yang menarik untuk dilirik, kini zakat seperti gadis cantik yang hampir semua orang terpikat ingin mengelolanya. Hal ini terbukti semakin hari semakin banyak jumlah organisasi pengelola zakat (OPZ) yang lahir (jumlah OPZ tahun 2009 sebanyak 402 buah, Arsitektur Zakat Indonesia: 2009). Belum lagi lembaga lain yang juga mendirikan banyak OPZ.
Maraknya pertumbuhan organisasi pengelola zakat bisa jadi sebuah indikasi positif. Karena jika dilihat antara potensi zakat dan realisasi penghimpunan zakat di Indonesia, masih terjadi gap yang sangat jauh. Potensi zakat yang diduga mencapai Rp 100 triliun per tahun (Didin Hafidhuddin, Republika, Jumat, 8/1), baru terkumpul Rp 1,3 triliun (data FOZ 2009). Artinya, masih besar 'kue' potensi zakat yang belum tergali. Masih tersimpan kekuatan hebat zakat yang apabila terhimpun dengan baik, dapat membantu kemiskinan di Indonesia yang jumlahnya mencapai 31 juta lebih.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan banyaknya jumlah OPZ di Indonesia akan menjadi solusi untuk mendongkrak pengumpulan zakat? Apa syarat untuk menjadi organisasi zakat yang benar sudah dipenuhi sehingga berjalan sesuai rel syariat dan manajemen (organisasi dan keuangan) yang berlaku? Ataukah sekadar euphoria mendirikan lembaga zakat. Yang harus diperhatikan, syarat utama mendirikan lembaga zakat adalah amanah dan profesional.
Mana yang lebih baik; apakah sedikit OPZ tapi berkualitas atau banyak tapi tidak berkualitas, atau banyak tapi berkualitas? Pilihan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengamendemen UU No 38 Tahun 1999 dan memicu polemik antara memunculkan hanya satu organ penghimpun, yaitu LAZ (Lembaga Amil Zakat), sebagaimana draf RUU yang dikeluarkan Komisi VIII DPR RI, atau hanya memunculkan satu organ penghimpun, yaitu BAZ (Badan Amil Zakat), sebagaimana usulan Depag. Ataukah tetap memunculkan kedua organ penghimpun zakat, sebagaimana yang diusulkan Forum Zakat (FOZ) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional).
Mengukur Kualitas OPZ
Bagaimana mengukur kualitas kinerja organisasi pengelola zakat. Barometer apa yang bisa dijadikan ukuran bahwa sebuah OPZ sudah amanah dan tidak melakukan penyelewengan dalam mengelola zakat, profesional dalam manajemen kinerja, dan transparan dalam penggunaan dana? Sampai saat ini belum ada konsep standardisasi mutu yang digunakan untuk mengukur kinerja sebuah organisasi pengelola zakat. Kalaupun ada, sifatnya masih parsial dan belum mengcakup keseluruhan kinerja organisasi.
Dalam hal keuangan, misalnya, beberapa OPZ sudah menerapkan keharusan audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP), meskipun dasar audit yang digunakan belum mengacu pada PSAK yang sesuai dengan zakat. Karena memang PSAK Zakat 109 sampai sekarang masih belum selesai. Lalu, dalam hal manajemen mutu, beberapa OPZ juga sudah mendapatkan sertifikat ISO (International Standardization for Organization). Namun lagi-lagi, hal itu belum menyeluruh. Di sinilah arti pentingnya sebuah standardisasi mutu dalam kerangka perbaikan kualitas manajemen dan penataan zakat di Indonesia.
Selama ini, meskipun setiap OPZ berusaha untuk memperbaiki manajemen organisasinya, acuan dari perbaikan itu masih sangat beragam dan belum ada pedoman yang spesifik menjadi rujukan utama. Akhirnya tidak sedikit yang kemudian merujuk kepada standar manajemen mutu organisasi bisnis atau pemerintah.
Dalam penyusunan standardisasi mutu bagi OPZ, landasan nilai yang digunakan harus mengacu pada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam karakteristik zakat itu sendiri (baca: landasan syariah), seperti prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan sesuai syariah. Di samping itu, landasan manajemen konvensional, seperti kepemimpinan visioner, pembelajaran organisasi, tanggung jawab kepada publik, juga harus menjadi acuan dalam penyusunan konsep standardisasi tersebut.
Pedoman kinerja unggul
Sebagai upaya menjawab atas permasalahan dan kebutuhan di atas, kiranya kita patut bersyukur dan mendukung atas upaya Forum Zakat (FOZ) dalam menyusun buku pedoman standardisasi mutu bagi organisasi pengelola zakat yang diberi nama Zakah Criteria for Performance Excellent (Kriteria Zakat untuk Kinerja Unggul).
Dengan mengacu pada buku pedoman tersebut, sebuah organisasi pengelola zakat dapat meningkatkan praktik-praktik kinerja organisasi, kemampuan, dan hasil-hasil yang dikerjakan oleh OPZ. Juga berfungsi sebagai alat manajemen untuk memahami dan mengelola kinerja, serta sebagai pedoman perencanaan dan kesempatan untuk pembelajaran.
Buku pedoman ini akan menuntun sebuah organisasi pengelola zakat agar dapat mengidentifikasi kekuatan dan kesempatan untuk perbaikan dari berbagai area dalam organisasi, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan visioner, perencanaan strategis, fokus pada muzaki dan mustahik, pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan, fokus pada tenaga kerja (amilin), serta manajemen proses dan hasil-hasil.
Jika dibandingkan dengan pedoman standardisasi mutu yang lain, pedoman standardisasi mutu yang disusun dalam buku ini sangat lengkap. Ibaratnya, isi buku pedoman yang ada di dalamnya sama seperti payung atau istana, sedangkan ruang-ruang dalam istana tersebut dapat diisi dengan berbagai teknik-teknik yang bervariasi, seperti bagaimana teknik kepemimpinan visioner dan teknik perencanaan strategis. Pada gilirannya, OPZ dapat mendesain agar mereka mampu memperoleh hasil yang optimal dan mampu meningkatkan kinerjanya, serta dapat memberikan nilai atau value yang tinggi bagi muzaki dan mustahik.
Oleh: Kuntarno Noor Aflah, Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Republika