Keluar sudah fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya bunga bank itu. Walau banyak reaksi negatif, fatwa itu tak lagi bisa dicabut. Sebab, jika dicabut, akan runtuhlah wibawa MUI. Dalam komentarnya, Wakil Presiden Hamzah Haz menyerukan agar masyarakat tidak mempersoalkannya. Namun ia mengakui bahwa kontroversi haram-halalnya bunga bank memang masih belum selesai.
Agaknya, kalangan perbankan syariah paling mendukung fatwa itu. Mereka berharap, dengan fatwa itu, masyarakat akan mengalihkan dana dari bank konvensional ke bank syariah. Tampaknya Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa karena desakan yang kuat dari kalangan perbankan syariah.
Peringatan dari luar agar MUI menahan diri untuk menunda fatwa sampai waktu yang tepat nanti, atau bahkan untuk sama sekali tidak mengeluarkannya, sebenarnya sudah banyak dilontarkan. Tapi Dewan Nasional Syari'ah (DNS) MUI sudah yakin bahwa fatwa harus dimaklumkan sekarang juga.
Bank Indonesia sendiri sebenarnya sudah mengeluarkan peringatan halus. Sambil menghindar menjawab pertanyaan tentang perlunya fatwa itu bagi perkembangan perbankan syariah, dengan mengatakan bahwa fatwa bunga bank adalah wewenang MUI, bank sentral mengatakan yang lebih penting adalah menyiapkan prasarana, misalnya perangkat hukum dan perundang-undangan, jaringan pelayanan, SDM, dan yang tak kurang pentingnya adalah kemampuan sektor riil sendiri. Sebab, jika terjadi pengalihan dana besar-besaran karena dampak fatwa itu, sudah siapkah sektor riil menyerap dana itu untuk keperluan produktif?
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Muslimin Nasution, juga mengatakan dana itu sebenarnya bukan persoalan, tapi mampukah perbankan syariah menyerap dan mengelolanya? Direktur Utama Bank Bumiputera, Winny E. Hassan, mengatakan sekarang masyarakat pun belum siap menabung di bank tanpa bunga.
Keterangan Winny itu menunjukkan informasi mengenai bank syariah belum mencukupi. Mengapa masyarakat belum siap menabung di bank tanpa bunga? Apakah persepsi masyarakat masih seperti yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa "orang lebih suka menanam pohon rambutan ketimbang menaruh uangnya di bank syariah"?
Penjelasannya masih kontradiktif. Di satu pihak, menyimpan uang di bank syariah memang mengandung risiko. Jika bank rugi, uang penabung ikut lenyap. Atau, kalau untungnya kecil, bagi hasilnya juga ikut kecil. Padahal motif utama menyimpan uang adalah agar uangnya selamat, tidak berkurang nilainya, termasuk karena inflasi. Namun, kenyataan sekarang, nilai bagi hasil dari bank syariah yang diterima penabung cukup tinggi. Sementara bank konvensional hanya bisa memberikan bunga deposito sekitar 7 persen, bank syariah bisa memberi imbalan bagi hasil ekuivalen bunga sekitar 12 persen.
Jadi, bagi pemilik modal, bank syariah memang menguntungkan. Itulah sebabnya bank-bank pemerintah dan swasta, bahkan swasta asing, membuka pelayanan syariah. Bank IFI, misalnya, mengakui cabang syariahnya memberikan keuntungan lebih besar dari cabang konvensionalnya. Maka, logis jika nanti banyak bank konvensional membuka cabang atau unit syariah. Hari depan bisnis perbankan syariah cukup cerah.
Tapi mengapa mereka mendesak Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa untuk mendongkrak kinerjanya? Hal ini menunjukkan kurangnya rasa percaya diri para pengelola bank syariah sendiri. Di lain pihak, sebagian dari mereka mengatakan bahwa, dengan atau tanpa fatwa, bank syariah akan terus berkembang.
Jika fatwa dikhawatirkan akan menimbulkan rush pada perbankan konvensional, kalangan terakhir ini justru tidak khawatir. Menurut mereka, tiap bank memiliki pangsanya sendiri-sendiri. Bank syariah tidak dianggap sebagai ancaman, tapi justru komplementer. Jika permintaan terhadap pelayanan syariah cukup besar dan dari segi bisnis menguntungkan, mereka akan segera mengubah posisi dengan melayani permintaan. No problem, kata mereka.
Karena itu, langkah yang lebih diperlukan dewasa ini adalah mempersiapkan segala prasarana. Apalagi kenyataannya belum semua produk perbankan syariah sudah dilaksanakan. Misalnya, 72,2 persen produk pembiayaan masih berbentuk murabahah (jual-beli dengan sistem mark-up). Bentuk mudharabah (bagi hasil antara bank dan nasabah), yang sebenarnya merupakan inti sistem pembiayaan, baru mencapai 14,3 persen, dan musyarakah (kerja sama dari berbagai pihak) hanya 2,9 persen. Dengan kata lain, tingkat sofistikasinya masih primitif.
Melihat cerahnya prospek bank syariah, perkembangannya memang perlu difasilitasi. Namun kita harus mengambil pelajaran dari Pakto '88, ketika pemerintah mendorong seluas-luasnya pendirian bank, nasional ataupun asing, tapi ternyata BI belum siap dengan prasarananya, baik regulasi maupun pengawasan. Belum ada pedoman kehati-hatian yang perlu ditaati. Akibatnya adalah krisis moneter dan perbankan tahun 1997 yang merontokkan hampir semua bank.
Jika perbankan syariah didorong sekuat-kuatnya untuk berkembang-sebagaimana dikehendaki fatwa ini-tanpa dilandasi oleh prasarana yang memadai, dampak Pakto '88 bukan tidak mungkin terjadi lagi, kali ini pada perbankan syariah. Sebabnya, jika bank syariah kebanjiran dana, baik dari investor maupun masyarakat penabung, bagaimana mereka akan menyalurkannya? Hal ini pasti akan mengurangi prinsip kehati-hatian.
Tapi apakah fatwa ini akan benar-benar menimbulkan rush dan sampai seberapa jauhkah dampaknya bagi perkembangan bank syariah? Dampak seperti itu agaknya sangat diragukan. Bahkan banyak yang menduga fatwa itu akan mandul. Fatwa itu akan bisa dikatakan efektif jika masyarakat, termasuk organisasi Islam seperti Muhammadiyah atau NU, akan mengalihkan dananya ke bank syariah. Hal ini tentu akan diikuti dengan pembukaan counter atau window syariah bank-bank konvensional dan pembukaan cabang atau unit bank syariah. Ini juga akan berarti masuknya para investor atau pemilik dana ke perbankan syariah.
Namun dampak itu diragukan akan terjadi. Kalangan perbankan syariah sendiri tidak memiliki perkiraan seperti itu. Ada yang mengatakan dampak fatwa itu memerlukan masa transisi 2-3 tahun. Perolehan dana pihak ketiga mungkin bisa naik dua kali lipat. Tapi daya penetrasi pasarnya berarti hanya bisa meningkat menjadi sekitar 1 persen. Berarti, pangsa pasar bank konvensional masih sekitar 99 persen. Artinya, sebagian besar karyawan muslim masih akan tetap bekerja di bank konvensional.
Jika "fatwa" itu memperkirakan iman para karyawan bank di Indonesia cukup kuat, fatwa haram itu justru akan menimbulkan siksaan batin. Mereka akan dianggap memakan uang haram hasil riba, sama artinya dengan memakan darah, bangkai, minuman keras, atau daging babi. Tapi mereka tidak mungkin keluar dari bank. Ke mana mereka akan bekerja? Apakah perbankan syariah, yang penetrasi pasarnya baru mencapai 1 persen, atau katakanlah secara optimistis 5 persen, mampu menampung mereka? Justru faktor keberagaman inilah yang sama sekali luput dari pertimbangan MUI, yang seharusnya menjadi pelindung batin umat.
Sungguhpun begitu, Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif, mengimbau agar kaum muslim jangan bingung. Ia merujuk pada pandangan ulama besar Persis, A. Hasan Bandung, Bangil, Jawa Timur, yang berpendapat bahwa bunga bank yang wajar tingkat suku bunganya itu halal. Masyarakat NU juga masih bisa mengikuti sikap Gus Dur. Tokoh ini berpendapat bahwa haramnya bunga bank masih kontroversial.
Tapi, yang "mengejutkan" sebenarnya adalah pandangan Quraish Shihab, ulama terkemuka lulusan Al-Azhar dan mantan Menteri Agama. Ia memang menghindar dari berpendapat langsung. Dengan cerdik dan diplomatis ia merujuk saja pada hasil rapat para ulama dalam Majma al-Buhust al-Islamiyah, salah satu badan tertinggi Al-Azhar, yang dipimpin langsung oleh Syeikh Al-Azhar, Syekh Muhammad Thanthawi, yang juga mufti Mesir dewasa ini, yang membahas masalah kontroversi bunga bank pada tahun 2002. Hasilnya: dari 14 ulama yang ikut dalam diskusi, hanya empat yang mengharamkan bunga bank, sedangkan sembilan lainnya menyatakan bunga bank itu halal tanpa subhat (ragu-ragu). Hanya seorang yang belum bisa mengemukakan pendapat.
Namun, memang masih banyak ulama yang menganggap bunga bank itu haram, dan itu sudah final. Misalnya saja Dr. Yusuf Qardhawi, yang disebut oleh Gus Dur secara keliru sebagai ulama yang menghalalkan bunga bank. Pandangan tentang keharaman bunga bank itu memang diperlukan. Sebab, tanpa itu, bank syariah tidak memiliki dasar eksistensinya. Eksperimen bank syariah juga perlu didukung karena proses perumusan konsep perbankan syariah telah melalui tahap-tahap yang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu setelah mengalami proses rasionalisasi dan obyektivasi.
Bahkan universitas terkemuka di dunia seperti Universitas Harvard, AS; Oxford, Inggris; dan Universitas Wolonggong, Australia; telah mengajarkan perbankan syariah. Setelah itu, tidak sebagaimana halnya penerapan sistem perbankan Islam di Pakistan, Sudan, dan Iran, yang dilakukan melalui dekrit konversi total; di Indonesia, perbankan syariah dikembangkan melalui penawaran produk-produk syariah ke pasar. Perangkat perundang-undangannya diperjuangkan melalui proses demokratis, lewat parlemen, antara lain menghasilkan amendemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Sebelum dibawa ke parlemen, konsep ketentuan hukum perbankan syariah terlebih dahulu digodok di BI. Menurut rencana, akan dikeluarkan Undang-Undang Perbankan Syariah secara terpisah dan khusus, dan ini pun harus melalui proses demokratis di DPR. Pengembangan perbankan syariah dapat dijadikan model penerapan syariat Islam secara demokratis dan melalui pasar.
Sebenarnya, proses ini jangan sampai "ternodai" oleh model fatwa Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan melalui proses yang kurang demokratis itu. Dalam perkembangannya kemudian, sebagai sistem perbankan alternatif, biarkan perbankan syariah berkembang secara wajar. Ada unsur "pemaksaan" dalam fatwa MUI. Memang, fatwa ini dimaksudkan untuk mendorong agar bank-bank konvensional bersedia mengkonversi diri menjadi bank syariah. Tapi dewasa ini keinginan bank-bank konvensional mengembangkan pe- layanan syariah terhalang oleh banyak faktor, antara lain kesulitan dalam kecukupan modal. Pemasukan modal asing adalah salah satu jalan. Tapi masuknya modal asing ini tidak bergantung pada "fatwa" itu.
Oleh: M. Dawam Rahardjo, Presiden International Institute of Islamic Thought (III-T) Indonesia
Sumber: Majalah Tempo