Efek Kebijakan Impor Gula

Salah satu komoditi yang dapat menjaga kestabilan politik dan sosial sebuah bangsa adalah ketersediaan dan fluktuasi harga komoditas pangan yang terjaga oleh rezim pemerintah yang mengaturnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, demi menjaga ketersediaan pasokan dan fluktuasi harga yang tetapa terjaga dengan baik, pemerintah terkadang melakukan pasokan komoditi pangan, terutama komoditi sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) dengan cara mengimpor. Di antara komoditas sembako yang sangat strategis ini adalah gula.

Dalam hal ini syariat Islam membolehkan transaksi kerjasama termasuk jual-beli (ekspor-impor) suatu komoditi, termasuk gula, sepanjang kegiatan kerjasama ekspor-impor tersebut dapat membawa ketaatan kepada Allah SWT dan kemaslahan antarsesama masyarakat (QS 5: 2). Bahkan profil masyarakat Quraisy yang terbiasa melakukan ekspor impor dan perdagangan internasional pun terekam dengan baik pada QS Al Quraisy.

Sejarah industri gula
Industri gula pasir nasional merupakan sebuah industri yang telah hadir sejak zaman penjajahan Belanda. Hingga saat ini eksistensinya semakin penting di Indonesia, meskipun sebagian besar Pabrik Gula (PG) yang ada di pulau Jawa dianggap kurang efisien. Hal ini ditengarai oleh keterbatasan lahan tebu dan buruknya barang-barang modal (capital goods) berupa mesin pengolahan yang sudah berumur tua. Pabrik-pabrik gula yang ada di pulau Jawa, pada awalnya merupakan sebuah industri yang ditujukan untuk memenuhi permintaan kalangan rumah tangga. Namun, seiring dengan perkembangan industri pangan nasional, terutama industri makanan dan minuman, tangggungjawab industri gula nasional menjadi lebih luas dalam hal cakupan penyediaan (supply) atau pasarnya.

Pada awal keemasan industri gula nasional tahun 1930-an, eksistensi industri gula nasional sangat disokong oleh ke beradaan lahan-lahan tebu yang luas dan PG-PG berskala besar yang tersebar di pulau Jawa, terutama di Jawa Timur seperti Surabaya dan Madiun, di Jawa Tengah seperti Pekalongan dan Brebes. Sedangkan di Jawa Barat PG tersebar di wilayah Cirebon. Saat ini PG di Indonesia berjumlah 61 (enam puluh satu), dengan perincian 51 berstatus BUMN dan 10 berstatus perusahaan swasta nasional.

Berdasarkan kekuatan empat perusahaan terbesar yang menguasai pangsa pasar penjualan (CR4/Four-Firm Sales Consentration Ratio) industri gula lokal, PTPN (Perseroan Terbatas Perkebun an Nusantara) XI menguasai 19,56 persen, disusul PTPN X sebesar 16,53 persen, PT Sugar Group 11,38 persen, dan terakhir PTPN IX 8,06 persen. Sedangkan perusahaan-perusahaaan lain, baik BUMN maupun perusahaan swasta nasional, pangsa pasarnya tersebar merata di kisaran 1-7 persen.

Politik deregulasi liberalisasi
Rendahnya produktivitas pengolahan gula, semakin diperparah dengan deregulasi pemerintah yang cenderung menjadikan industri gula sebagai sebuah pasar terbuka bagi masuknya gula impor. Salah satu deregulasi penting yang merubah struktur pasar industri gula menjadi sebuah struktur pasar yang terbuka (oligopoli atau juga persaingan monopolistik) adalah dengan dikeluarkannya Keppres No. 19/1998 tentang Perubahan Status Bulog atau yang lebih dikenal sebagai Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Pangan Nasional.

Menjelang akhir kekuasaan rezim Orde Baru, desakan campur tangan IMF terhadap pemerintah, akhirnya telah merubah struktur industri gula di Indonesia. Politik deregulasi sektor pangan ini, pada intinya mengatur bahwa peran Bulog terbatas hanya mengelola pengadaan beras saja. Sementara pengadaan komoditas-komoditas pangan di luar beras seperti tepung terigu, jagung, gula pasir, kacang kedelai, minyak goreng dan komoditas pangan lainnya, diserahkan kepada mekanisme pasar atau perdagangan bebas.

Akibatnya, sejak tahun 1998, PG-PG yang tersebar di seluruh pelosok tanah air tidak mendapat dukungan penjualan yang dilakukan oleh Bulog. PG-PG yang ada harus mengolah sendiri dan memasarkan ke pasar domestik secara mandiri dan bersaing dengan gula impor yang harga dan kualitasnya lebih kompetitif.

Problem berikutnya adalah rendahnya nilai rendemen pengolahan tebu men jadi gula. Berdasarkan data dari Dewan Gula Indonesia (DGI), selama periode 2004-2009, rendemen produksi gula pasir nasional per tahun rata-rata hanya mencapai 7,4 persen, turun dari rata-rata 12,4 persen per tahun pada masa keemasan PG (tahun1930-an s/d akhir tahun 1990-an).

Optimisme masa depan
Salah satu cirimuslim yang baik adalah tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah (QS 12 : 87). Dengan kata lain, diperlukan adanya semangat dan optimisme dalam menatap masa depan. Hal yang dapat dijadikan rujukan untuk membangkitkan rasa optimisme industri gula adalah tingkat pergerakan konsumsi nasional yang terus meningkat. Berdasarkan data yang ada, rata-rata konsumsi gula nasional/domestik sebesar 3,4 juta ton, sedangkan rata-rata produksinya hanya 2,1 juta ton. Dari sisi makroekonomi, apabila seluruh PG yang ada di Indonesia mampu menyerap seluruh permintaan domestik, dengan rata-rata harga selama periode yang sama di tingkat konsumen diasumsikan Rp 5.200, maka nilai penjualan akhir atau kontribusi sektor industri pengolahan gula terhadap PDB rata-rata mencapai Rp 17,7 triliun/tahun.

Tetapi, karena kemampuan produksi PG-PG hanya sebesar 2,1 juta ton, maka selama kurun waktu lima tahun tersebut, industri gula nasional gagal menyerap permintaan rata-rata sebesar 1,3 juta ton/tahun. Kondisi ini secara logis telah memaksa pemerintah melakukan impor gula dengan nilai capital outflow sebesar Rp 6,7 triliun/tahun. Impor gula secara permanen ini dikhawatirkan akan memperburuk neraca perdagangan kita. Kegagalan industri gula nasional dalam meyerap permintaan gula ini, sama artinya dengan melepas kesempatan industri nasional untuk memberikan sumbangan terhadap PDB sebesar Rp 6,7 triliun/tahun.

Ketidakmampuan penyerapan demand ini, jelas merupakan kerugian bagi industri gula nasional, karena telah menekan pertumbuhan ekonomi nasional, yang sebenarnya dapat naik ke level yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan stimulus yang tepat bagi pengembangan industri gula dalam negeri. Tingginya konsumsi ini harus dijadikan sebagai peluang untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Ingatlah, Allah SWT berfirman dalam QS Ar Ra’du : 11, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan nasib suatu kaum, sehingga kaum itu yang mengubah nasibnya sendiri”. Wallahu a’lam.

Oleh: Dr Muhammad Findi A, Kadiv Kebijakan Publik Syariah Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB
Sumber: REPUBLIKA, 27 SEPTEMBER 2012

Klik suka di bawah ini ya