Penataan Zakat Nasional di Masa Transisi

Tidak terasa bahwa UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat telah memasuki bulan kedelapan pasca diundangkan sejak tanggal 25 November 2011 lalu. Sampai saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari UU tersebut masih dalam pembahasan. Tentu harapannya adalah, PP yang nantinya akan disahkan dan diberlakukan, dapat menyerap aspirasi pemangku kepentingan zakat nasional, sehingga optimalisasi potensi instrumen zakat ini dapat berjalan maksimal. Secara kelembagaan dan SDM, diharapkan akan ada dukungan dan penguatan, yang nantinya dapat berdampak secara positif terhadap kinerja pengelolaan zakat nasional.

Sambil menunggu keluarnya PP tersebut, maka Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tetap memfokuskan kegiatan pengelolaan zakat nasional pada lima hal pokok. Pertama, melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melaksanakan ibadah zakat. Kedua, melaksanakan pengumpulan zakat, infak dan sedekah, terutama untuk zakat profesi dan zakat perusahaan serta penataan UPZ BAZNAS di lingkungan kementerian, lembaga negara, BUMN/perusahaan swasta dan Perwakilan RI di luar negeri.

Ketiga, melaksanakan pendistribusian dan pendayagunaan ZIS yang dihimpun BAZNAS. Program penyaluran ZIS yang bersifat karitatif dan produktif dilakukan dalam porsi yang berimbang sesuai kebutuhan mustahik. Berdasarkan data yang ada, jumlah mustahik yang dikelola oleh BAZNAS Pusat pada tahun 2011 lalu mencapai angka 187.376 orang.

Keempat, melakukan perbaikan secara berkesinambungan terhadap manajemen dan kinerja organisasi BAZNAS baik di pusat maupun daerah dalam melayani muzaki dan mustahik. Kelima, menghimpun perolehan data penerimaan ZIS secara nasional yang terkumpul dan dikelola oleh BAZNAS daerah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional.

Sampai saat ini, tren penghimpunan zakat nasional masih sangat positif, dimana total ZIS yang terhimpun tahun 2011 lalu mencapai angka Rp 1,729 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 15,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan naik 25 kali lipat jika dibandingkan dengan data pada tahun 2002 lalu. Ini menunjukkan bahwa tren kepercayaan berzakat masyarakat melalui institusi amil terus mengalami peningkatan. Data juga menunjukkan bahwa dana zakat yang dibayarkan oleh seorang muzakki, ternyata mampu membantu 12 orang mustahik, sehingga rasio muzakki terhadap mustahik adalah 1 : 12.

Namun demikian, dengan potensi zakat yang sangat besar (Rp 217 triliun), penghimpunan melalui institusi zakat ini masih jauh dari ideal. Menurut penelitian Beik dan Alhasanah (2012), faktor-faktor yang memengaruhi kualitas kesadaran masyarakat untuk berzakat itu ada lima, yaitu keimanan, penghargaan, altruisme, organisasi dan pendapatan. Faktor keimanan erat kaitannya dengan keyakinan dan pemahaman tentang hakikat dan hikmah ibadah zakat. Dengan kata lain, mensosialisasikan konsep maqashid az zakah (tujuan disyariatkannya zakat) menjadi hal yang sangat fundamental, karena ia bisa menjadi pemberi stimulus yang efektif dalam menggerakkan kesadaran masyarakat.

Adapun penghargaan sangat erat kaitannya dengan kualitas layanan, mulai dari proses penerimaan hingga apresiasi terhadap zakat yang mereka bayarkan, termasuk mendoakan para muzakki. Riset menunjukkan bahwa doa amil yang disampaikan secara langsung di hadapan muzakki ternyata memberikan efek psikologis yang mendalam. Sedangkan altruisme merefleksikan jiwa kepedulian sosial terhadap nasib sesama, dan memunculkan perasaan “bersalah” ketika tidak membayar zakat. Membangkitkan jiwa altruisme ini, menurut Beik dan Alhasanah, dapat mengakselerasi “willingness to pay” zakat dan infak/sedekah.

Selanjutnya, faktor organisasi sangat erat kaitannya dengan transparansi dan akuntabilitas OPZ, dimana hal tersebut bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Kepercayaan merupakan syarat mutlak bagi peningkatan dukungan masyarakat dalam menunaikan kewajiban zakat melalui lembaga. Adapun tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan besaran jumlah zakat yang dibayarkan. Kelima faktor ini harus mendapat perhatian yang cukup dari BAZNAS dan LAZ, jika ingin mengurangi kesenjangan antara potensi dan realisasi penghimpunan.

Posisi BAZNAS ke depan

Dengan UU yang baru, maka tugas dan tanggung jawab BAZNAS mengalami perluasan. BAZNAS memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai operator (pengelola zakat), sebagai pusat pelaporan zakat dari semua lembaga pengelola, baik BAZNAS daerah maupun LAZ, serta sebagai pemberi rekomendasi bagi pengangkatan kepengurusan BAZNAS daerah dan pendirian LAZ.

Sejalan dengan itu, maka proyeksi pengembangan fungsi BAZNAS selama lima tahun ke depan dibagi menjadi lima tahapan utama, yaitu tahun pertama (fondasi), tahun kedua (konsolidasi), tahun ketiga (pertumbuhan), tahun keempat (percepatan) dan tahun kelima (pemantapan), beserta indikatornya. Hal ini sejalan dengan dokumen yang telah disampaikan oleh BAZNAS dalam hearing dengan Komisi VIII DPR beberapa waktu lalu.

Tahun pertama, sebagai tahun fondasi, memiliki indikator antara lain : tersusunnya Peraturan BAZNAS yang mengacu pada UU dan PP, terbentuknya visi dan agenda bersama perzakatan nasional, terlaksananya standarisasi sistem manajemen OPZ dan pelayanan bagi muzakki dan mustahik. Proyeksi penerimaan zakat nasional tahun pertama ini mencapai angka Rp 2,6 triliun.

Tahun kedua, sebagai tahun konsolidasi, memiliki indikator antara lain: terealisasikannya sistem pelaporan dan pertanggungjawaban pengelolaan zakat nasional yang akuntabel, terukurnya indeks kepercayaan kepada OPZ, pertumbuhan zakat 50 persen per tahun, dan akses pelayanan mustahik menjangkau 40 persen wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Proyeksi penerimaan zakat nasional pada tahun kedua ini mencapai angka Rp 3,9 triliun.

Tahun ketiga, sebagai tahun pertumbuhan, memiliki indikator antara lain : pertumbuhan penghimpunan zakat 100 persen per tahun, akses pelayanan mustahik menjangkau 75 persen wilayah kabupaten/kota, dan meningkatnya indeks kepercayaan terhadap OPZ. Proyeksi penerimaan zakat nasional tahun ketiga ini sebesar Rp 6,83 triliun.

Tahun keempat, sebagai tahun percepatan, memiliki indikator antara lain : pertumbuhan penghimpunan zakat 100 persen per tahun, akses pelayanan mustahik menjangkau 75 persen wilayah kabupaten/kota, dan meningkatnya indeks kepercayaan terhadap OPZ. Proyeksi penerimaan zakat nasional pada tahun ketiga ini mencapai angka Rp 13,66 triliun.

Tahun kelima, sebagai tahun pemantapan, memiliki indikator antara lain : pertumbuhan penghimpunan zakat 100 persen per tahun, akses pelayanan mustahik menjangkau 100 persen wilayah kabupaten/kota, zakat tertuang sebagai instrumen pembiayaan pembangunan nasional non-APBN dalam RPJM, terukurnya kontribusi zakat dalam solidaritas kemanusiaan, dan meningkatnya indeks kepercayaan terhadap OPZ. Proyeksi penerimaan zakat tahun kelima ini mencapai angka Rp 27,32 triliun.

Dengan proyeksi seperti ini, maka penghimpunan zakat diharapkan dapat meningkat, dari Rp 1,729 triliun pada 2011 menjadi Rp 27,32 triliun pada tahun 2017. Ini bisa terjadi dengan syarat dukungan regulasi berupa PP yang efektif dan aspiratif, serta dukungan APBN dalam pembiayaan BAZNAS, bisa berjalan optimal. Jika prasyarat ini tidak terpenuhi, maka akan sulit mencapai target tersebut. Wallahu a’lam.

Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA dan Ketua Umum BAZNAS

Dr Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM dan Program MM Syariah IPB

Klik suka di bawah ini ya