Akselerasi Lima Jalur Pembiayaan Syariah untuk Pertanian

Hingga saat ini, sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2010, BPS mencatat kontribusi sektor ini mencapai angka 15,3 persen, dan pada triwulan 1 tahun 2012 ini, kontribusi tersebut berada di kisaran 15,2 persen. Sektor ini pun menyerap proporsi tenaga kerja terbesar.

Namun demikian, minimnya akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya keuangan merupakan persoalan utama yang dihadapi oleh sektor ini. Ini terlihat antara lain dari rendahnya prosentase kredit perbankan nasional untuk pertanian, yang angkanya baru mencapai 5,33 persen per Februari 2012.

Diantara penyebab masih rendahnya volume kredit perbankan ini antara lain adalah persepsi industri perbankan yang menganggap sektor pertanian sebagai ‘high risk industry’, serta minimnya kualitas SDM perbankan yang memahami seluk beluk bisnis pertanian secara mendalam. Karena itu, komunikasi antara pelaku usaha pertanian dengan kalangan perbankan perlu untuk ditingkatkan. Permasalahan lainnya terletak pada nilai skala ekonomis sektor pertanian yang masih sangat rendah, akibat penguasaan lahan per kapita yang tergolong masih kecil.

Dengan melihat permasalahan yang ada, maka institusi ekonomi dan keuangan syariah diharapkan dapat memberikan solusi. Apalagi karakteristik ekonomi syariah, sangat cocok dengan budaya pertanian di tanah air. Bahkan beragam praktek yang ada, menunjukkan adanya semangat bagi hasil yang merupakan ciri utama dari ekonomi dan keuangan syariah.

Untuk itu, dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan pembiayaan syariah untuk pertanian, maka ada lima jalur kelembagaan yang dapat dioptimalkan. Kelima jalur tersebut adalah jalur BUS/UUS (Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah), jalur BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah), jalur BMT/koperasi syariah, jalur lembaga zakat (BAZNAS dan LAZ), dan jalur pemerintah, baik melalui program pembiayaan pertanian berbasis syariah secara langsung maupun melalui penerbitan sukuk. Akselerasi ini dapat dilihat dari dua indikator, yaitu peningkatan proporsi pembiayaan pertanian, dan ‘coverage’ atau daya jangkau pembiayaan terhadap sebanyak-banyaknya pelaku usaha pertanian, baik pelaku usaha skala mikro, kecil, menengah, maupun pelaku usaha skala besar.

Lima Jalur
Pada jalur yang pertama, proporsi pembiayaan pertanian yang disalurkan oleh BUS dan UUS masih terbilang sangat kecil. Bahkan proporsi tersebut mengalami tren yang menurun, dari 2,84 persen pada tahun 2009 menjadi 2,10 persen pada bulan Februari 2012, meskipun secara nominal angkanya menunjukkan kenaikan dari Rp 1,3 trilyun menjadi Rp 2,2 trilyun. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, dimana rata-rata pertumbuhannya mencapai angka 40-50 persen setiap tahunnya, tidak otomatis diikuti dengan kenaikan proporsi pembiayaan pertanian.

Aprianti dan Beik (2011) telah mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan pertanian pada perbankan syariah. Menurut penelitian yang mereka lakukan, peningkatan jumlah DPK tidak secara otomatis menaikkan pembiayaan pertanian, karena BUS/UUS lebih cenderung untuk menyalurkan kenaikan DPK ini pada pembiayaan di sektor lain yang dianggap lebih menguntungkan. Bahkan bonus SBIS-lah yang triggering factor untuk pembiayaan pertanian. Karena itu jika ingin diakselerasi, BUS/UUS harus menaikkan proporsi pembiayaan pertanian seiring dengan kenaikan DPK.

BUS/UUS dapat pula memanfaatkan dana qardhul hasan yang dimilikinya untuk membiayai pertanian. Pembiayaan berbasis akad ini mencapai angka 9,76 persen dari total pembiayaan, atau sekitar Rp 10,122 trilyun, per Februari 2012. Misalkan saja dari dana tersebut, sepertiganya disalurkan untuk pertanian, dengan target petani skala mikro dan kecil, maka volume pembiayaan syariah akan naik signifikan.

Jalur BPRS dan BMT
Pada jalur yang kedua, berbeda dengan BUS dan UUS, tren pembiayaan BPRS untuk pertanian justru mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan asetnya. Semakin besar aset BPRS, maka akan semakin tinggi pula proporsi pembiayaan pertanian. Pada tahun 2009, proporsi pembiayaan pertanian mencapai angka 3,43 persen. Angka ini kemudian naik menjadi 8,70 persen pada bulan Februari 2012. Suatu kenaikan yang sangat luar biasa.

Penulis berharap bahwa BUS/UUS dapat meningkatkan volume line financing dengan BPRS, dimana BPRS dijadikan sebagai ujung tombak pembiayaan, yang berhadapan langsung dengan pelaku usaha pertanian terutama skala UMKM. Selain itu, sebagaimana halnya BUS/UUS, BPRS pun dapat memanfaatkan pembiayaan qardhul hasan, yang nilainya mencapai angka 2,72 persen dari keseluruhan pembiayaan per Februari 2012, untuk membiayai sektor pertanian.

Selanjutnya BMT, sebagai jalur ketiga pembiayaan syariah untuk pertanian, diharapkan dapat meningkatkan perannya. Apalagi pertumbuhannya saat ini luar biasa. Berdasarkan data PINBUK, saat ini terdapat sekitar 168 BMT yang memiliki aset di atas Rp 1 milyar. Bahkan diantaranya memiliki aset hingga ratusan milyar rupiah. Mayoritas BMT (80 persen) memiliki aset antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. Hanya sekitar 9,32 persen BMT yang memiliki aset di bawah Rp 50 juta. Yang menarik, BMT seluruh Indonesia telah mengelola aset hingga mendekati angka Rp 4 trilyun dan mengelola lebih dari 3 juta UMKM (Beik, 2012).

Dengan karakteristik sebagai LKMS, maka keberadaan BMT dapat dimanfaatkan sebagai media untuk membiayai petani dengan skala mikro dan kecil. Pengalaman sejumlah BMT, seperti BMT Al Barokah Bantul, menunjukkan bahwa membiayai usaha pertanian juga bisa memberikan keuntungan yang memadai bagi BMT, sehingga BMT dapat terus berkembang secara kelembagaan (Suraya, 2012).

Jalur BAZNAS/LAZ dan Pemerintah
Jalur keempat yang dapat dimanfaatkan dalam akselerasi pembiayaan syariah pertanian adalah BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat), dimana potensi zakat ini sangat besar, yaitu mencapai angka Rp 217 trilyun atau 3,4 persen dari PDB. Angka ini akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Sesuai dengan karakteristik zakat yang memiliki kekhususan pada kelompok penerimanya, maka jalur keempat ini sepenuhnya bisa dimanfaatkan untuk membiayai petani dengan skala usaha mikro dan kecil. Biasanya pola pembiayaan yang digunakan adalah qardhul hasan.

Pengalaman menunjukkan bahwa penyaluran zakat bagi kalangan petani, sebagaimana yang terjadi pada program Zakat Community Development BAZNAS di Yogyakarta, bisa memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap upaya pengurangan jumlah kemiskinan mustahik. Tinggal sekarang bagaimana meningkatkan volume pembiayaan zakat produktif yang baru mencapai angka 29 persen.

Selanjutnya, jalur yang terakhir adalah jalur pemerintah, dimana hal ini terkait dengan program Kementerian Pertanian. Sudah saatnya sebagian dana program, seperti PUAP maupun kredit usaha rakyat, disalurkan dalam bentuk pembiayaan syariah, dengan melibatkan empat jalur lainnya. Karena itu, penulis berharap, mulai APBN 2013, Kementan bisa mengalokasikan, misalnya 30 persen dari dana program yang ada, dalam bentuk pembiayaan syariah. Ini adalah bentuk kebijakan yang secara kongkrit akan mendongkrak pembiayaan syariah untuk pertanian. Wallahu a’lam.

Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB


Klik suka di bawah ini ya