Ketika kecil dulu, saya ingat betapa guru mengaji di kampung membekali pelajaran fiqh yang terpaku pada satu mazhab saja, Syafii. Bershalat dengan cara bukan sebagaimana diajarkan oleh Imam Syafii seolah tidak sah.
Kami diajarkan untuk bangga bahwa kami adalah pengikut mazhab Syafii. Saya teringat betul bagaimana saya menandang aneh ketika seorang tamu di rumah orang tua saya salat tanpa membaca doa Qunut dan juga ketika melayat ke rumah teman yang keluarganya merupakan anggotanya Muhammadiyah dan ketika meninggal, suasana rumahnya sepi tanpa suara orang membaca Alquran, tanpa tahlil.
Buku pelajaran fiqh pun sudah dibatasi. Saya ingat diajari membaca kitab kuning yang selalu membahas thaharah (bersuci) pada bab pertama, sholat, puasa, zakat dan haji pada bab berikutnya. Pelajaran muamalah yang saya dapat hanya sampai bab nikah. Mungkin juga tidak sampai tamat.
Bab muamalah dalam artian praktik dagang dan ekonomi, rasanya tidak kami kenal sama sekali. Kami mendengar ada kitabul buyu' (bab jual beli) pada kitab fiqh aliran mazhab Syafii. Jangankan membaca, menyentuhnya pun rasanya belum. Fiqh muamalah amat jauh dari jangkauan kami, anak-anak yang besar di lingkungan pesantren.
Apa itu murabahah, ijarah, mudharabah, musyarakah dan bahkan definisi tentang riba pun nyaris tidak kami pelajari. Istilah itu baru saya kenal sekarang setelah meliput berita tentang ekonomi Islam. Padahal untuk ukuran anak yang lama di pesantren, bekal kitab fiqh saya cukup banyak dan mulai mempelajari kitab fiqh tingkat tinggi.
Perbandingan mazhab dan logika juga kami dapat di lingkunan pesantren. Dua ilmu itu menjadi bekal untuk mempelajari mazhab lain. Saya mengenal fiqh mazhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki di luar Syafii. Tapi seputar bab-bab tentang ibadah mahdhah tadi. Ibadah yang berkaitan dengan transaksi bisnis menurut mazhab lain, tentu saya tidak tahu.
Ajaran mazhab Syafii tentang transaksi perdagangan saja saya tak tahu. Apalagi mazhab lain. Makin besar, pandangan saya berubah. Terlebih sekarang setelah sadar bahwa kitab fiqh yang saya pelajari rupanya timpang. Ketika kecil dulu, kami mengenal mazhab Daud Az Zahiri, di luar empat mazhab yang ada.
Mazhab tersebut merupakan mazhab minoritas. Pandangannya menurut kajian kami di pesantren dulu, termasuk bertolak belakang dengan pandangan empat mazhab lain. Misalnya soal pernikahan. Daud az Zahiri termasuk yang membolehkan pernikahan tanpa wali. Sementara mazhab lain mensyaratkannya. Banyak lagi pendapatnya yang dulu kami pelajari amat sedikit. Sebab, pendapat itu tidak kami jadikan sebagai acuan dalam praktik ibadah sehari-hari.
Saat ini, sejalan dengan meluasnya praktik ekonomi Islam di Indonesia, sekat antarmazhab menghilang. Banyak transaksi ekonomi yang didasari pada mazhab Hanafi, yang banyak menggunakan rasio dalam mengambil dasar hukum. Fiqh mazhab Hanafi lebih fleksibel dan bisa diterapkan untuk transaksi keuangan.
Bahkan di Indonesia yang sebagian besar Muslimnya menganut mazhab Syafii, untuk fiqh muamalah menggunakan mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan juga Daud Az Zahiri. Praktik keuangan Islam makin luas.
Transaksi perbankan, asuransi dan pasar modal syariah menuntut ulama harus membongkar lagi kitab-kitab rujukan yang mungkin lembarannya mulai usang dan lapuk dimakan usia dan mungkin belum pernah disentuh atau dibaca sebelumnya. Bagaimana bisa menggali hukum Islam bila tidak ada rujukannya.
Bila tidak ada dalam kitabul buyu' Imam Syafii, pendapat mazhab lain pun bisa dijadikan acuan. Ayat-ayat Alquran yang berisikan landasan ekonomi Islam dikumpulkan. Ulama saat ini bukan saja harus pandai tapi juga kreatif memadukan fiqh lintas mazhab. Dahulu merupakan hal tidak lazim bila memadukan fiqh dari mazhab yang berbeda.
Kami diajarkan untuk bangga bahwa kami adalah pengikut mazhab Syafii. Saya teringat betul bagaimana saya menandang aneh ketika seorang tamu di rumah orang tua saya salat tanpa membaca doa Qunut dan juga ketika melayat ke rumah teman yang keluarganya merupakan anggotanya Muhammadiyah dan ketika meninggal, suasana rumahnya sepi tanpa suara orang membaca Alquran, tanpa tahlil.
Buku pelajaran fiqh pun sudah dibatasi. Saya ingat diajari membaca kitab kuning yang selalu membahas thaharah (bersuci) pada bab pertama, sholat, puasa, zakat dan haji pada bab berikutnya. Pelajaran muamalah yang saya dapat hanya sampai bab nikah. Mungkin juga tidak sampai tamat.
Bab muamalah dalam artian praktik dagang dan ekonomi, rasanya tidak kami kenal sama sekali. Kami mendengar ada kitabul buyu' (bab jual beli) pada kitab fiqh aliran mazhab Syafii. Jangankan membaca, menyentuhnya pun rasanya belum. Fiqh muamalah amat jauh dari jangkauan kami, anak-anak yang besar di lingkungan pesantren.
Apa itu murabahah, ijarah, mudharabah, musyarakah dan bahkan definisi tentang riba pun nyaris tidak kami pelajari. Istilah itu baru saya kenal sekarang setelah meliput berita tentang ekonomi Islam. Padahal untuk ukuran anak yang lama di pesantren, bekal kitab fiqh saya cukup banyak dan mulai mempelajari kitab fiqh tingkat tinggi.
Perbandingan mazhab dan logika juga kami dapat di lingkunan pesantren. Dua ilmu itu menjadi bekal untuk mempelajari mazhab lain. Saya mengenal fiqh mazhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki di luar Syafii. Tapi seputar bab-bab tentang ibadah mahdhah tadi. Ibadah yang berkaitan dengan transaksi bisnis menurut mazhab lain, tentu saya tidak tahu.
Ajaran mazhab Syafii tentang transaksi perdagangan saja saya tak tahu. Apalagi mazhab lain. Makin besar, pandangan saya berubah. Terlebih sekarang setelah sadar bahwa kitab fiqh yang saya pelajari rupanya timpang. Ketika kecil dulu, kami mengenal mazhab Daud Az Zahiri, di luar empat mazhab yang ada.
Mazhab tersebut merupakan mazhab minoritas. Pandangannya menurut kajian kami di pesantren dulu, termasuk bertolak belakang dengan pandangan empat mazhab lain. Misalnya soal pernikahan. Daud az Zahiri termasuk yang membolehkan pernikahan tanpa wali. Sementara mazhab lain mensyaratkannya. Banyak lagi pendapatnya yang dulu kami pelajari amat sedikit. Sebab, pendapat itu tidak kami jadikan sebagai acuan dalam praktik ibadah sehari-hari.
Saat ini, sejalan dengan meluasnya praktik ekonomi Islam di Indonesia, sekat antarmazhab menghilang. Banyak transaksi ekonomi yang didasari pada mazhab Hanafi, yang banyak menggunakan rasio dalam mengambil dasar hukum. Fiqh mazhab Hanafi lebih fleksibel dan bisa diterapkan untuk transaksi keuangan.
Bahkan di Indonesia yang sebagian besar Muslimnya menganut mazhab Syafii, untuk fiqh muamalah menggunakan mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan juga Daud Az Zahiri. Praktik keuangan Islam makin luas.
Transaksi perbankan, asuransi dan pasar modal syariah menuntut ulama harus membongkar lagi kitab-kitab rujukan yang mungkin lembarannya mulai usang dan lapuk dimakan usia dan mungkin belum pernah disentuh atau dibaca sebelumnya. Bagaimana bisa menggali hukum Islam bila tidak ada rujukannya.
Bila tidak ada dalam kitabul buyu' Imam Syafii, pendapat mazhab lain pun bisa dijadikan acuan. Ayat-ayat Alquran yang berisikan landasan ekonomi Islam dikumpulkan. Ulama saat ini bukan saja harus pandai tapi juga kreatif memadukan fiqh lintas mazhab. Dahulu merupakan hal tidak lazim bila memadukan fiqh dari mazhab yang berbeda.
Saya teringat ajaran bahwa berpindah mazhab ketika satu kegaitan sudah dilakukan bisa mengakibatkan batal. Setelah melalui masa sekolah menengah, saya sudah tidak lagi memandang aneh pada orang yang berbeda mazhab dalam ibadah mahdhah. Saya belajar pada guru mengaji yang dari Persis, Muhammadiyah dan juga kelompok lain. Belakangan saya pelajari juga fiqh mazhab Ja'fariyah.
Tak ada kata terlambat untuk belajar. Tapi andai, sejak dulu kyai tradisional dan modern membekali umat dengan landasan fiqh muamalah, mungkin perkembangan industri keuangan syariah jauh lebih dahsyat. Karena dengan bekal lebih banyak, pemahaman pun akan lebih baik. Sehingga, program sosialisasi bukan lagi pada menyadarkan umat Islam tentang haramnya bunga bank melainkan pada inovasi produk. Intinya, saya melihat bahwa transaksi keuangan atau teori ekonomi Islam yang kini berkembang adalah fiqh muamalah lintas mazhab.
Pendapat ulama minoritas pun bisa menjadi rujukan. Toh, dasar hukumnya Alquran dan Hadis. Dan terlebih ada kaidah ushul fiqh yang amat berperan dalam mengembangkan transaki keuangan berprinsip Islam. Asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Al Ashlu fi al asyyaa al ibaahah. Ah, andai sejak dulu kitab-kitab itu dibaca semuanya.
Oleh : Siti Darojah SW