Meningkatkan Kesesuaian Syariah Sukuk

Pertumbuhan sukuk dunia saat ini sangatlah pesat. Hal ini berdasarkan data dari Islamic Finance Information Services (IFIS) bahwa total penerbitan sukuk seluruh dunia pada kuartal 3 tahun 2010 telah mencapai USD 175,5 miliar. Walaupun pertumbuhan sukuk di dunia yang sangat pesat ini, dalam realitasnya kesesuaian produk yang ada dengan aspek syariah harus ditingkatkan. Hal ini berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Sheikh Taqi Usmani di tahun 2008 yang sangat mengejutkan industri keuangan syariah bahwa 85 persen sukuk yang diterbitkan seluruh dunia tidak memenuhi nilai-nilai syariah.


Berdasarkan kritik Sheikh Taqi, paling tidak ada dua aspek yang sangat penting untuk diperhatikan oleh stakeholders industri keuangan syariah. Yaitu, hak kepemilikan aset (asset ownership) dan proteksi kapital (capital guarantee) dalam purchase undertaking. Oleh karena itu, artikel ini membahas kedua aspek utama tersebut dan melihat implikasinya bagi pengembangan sukuk di Indonesia agar Indonesia tetap menjaga aun-tensitas nya sebagai negara yang menjaga keutuhan nilai-nilai syariah dalam memajukan keuangan syariah di dunia.


Kepemilikan aset
Dalam perspektif syariah, sukuk essen-sinya merupakan representasi hak kepemilikan aset sepenuhnya (legal ownership) yang ditransfer oleh penerbit sukuk (issuer) kepada pemegang sukuk melalui intermediasi yang dinamakan Special Purpose Vehicle (SPV). Oleh karena itu, pemegang sukuk mempunyai hak penuh (milkiyyah kamilah) atas nilai jual komersial atau keuntungan terhadap aset tersebut, dan jika terjadi kerugian pada underlying asset yang dialami oleh penerbit sukuk, pemegang sukuk harus bersedia untuk menanggung risiko kerugian tersebut. Hal ini berlAndaskan Sharia legal maxims yang mengatakan bahwa al-ghorm bi al-ghonm (tiada keuntungan tanpa risiko) dan al-kharaj bi al-dhaman (liabilitas yang menentukan keuntungan).


Namun dalam realitas operasi sukuk, tidak ada perpindahan aset yang riil dari penerbit sukuk kepada pemegang sukuk. Perpindahan aset hanyalah sebagai formalitas dalam kontrak sukuk sebagaimana dicantumkan dalam term sheet sukuk. Ada 3 indikator yang membuktikan tidak ada nya transfer kepemilikan aset dari issuer kepada pemegang sukuk, yaitu dilihat dari tipe aset, SPV dan referensi nilai underlying asset.


Pertama, tipe aset. Ada 2 tipe aset yang biasanya digunakan oleh issuer sebagai underlying asset, yaitu aset pemerintah, yangbiasanya untuk sovereign sukuk, dan aset swasta, yang biasanya untuk corporate sukuk. Aset pemerintah tidak bisa diperjualbelikan di pasar bebas sedangkan aset swasta bisa diperjualbelikan. Berdasarkan observasi Al-Jarhi dan Abozaid (2010), aset sukuk yang efektifnya tidak bisa diperjualbelikan, di klaim bisa diperjualbelikan pada kebanyakan kasus penerbitan sovereign sukuk. Observasi ini sungguh mempertanyakan keaslian transaksi penjualan aset pada penerbitan sukuk, terutama sovereign sukuk.


Kedua, soal SPV. Pada beberapa kasus penerbitan sukuk, independensi SPV sangat dipertanyakan, dikarenakan adanya perbedaan tipis antara penerbit sukuk dan SPV. Transaksi jual-beli underlying asset antara penerbit sukuk dan SPV adalah sebuah pretensi untuk memindahkan aset tersebut kepada pemegang sukuk. Independensi SPV sebagai agen (wakeel) pemegang sukuk sangatlah penting agar kontrak tersebut memenuhi nilai syariah.


Ketiga, terkait dengan referensi nilai underlying asset. Berdasarkan observasi yang juga dilakukan oleh Al-Jarhi and Abozaid (2010), nilai aset yang dijual dari hampir seluruh penerbitan sukuk tidak sesuai dengan harga pasar, melainkan lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar, yang disesuaikan dengan jumlah dana yang diinginkan oleh penerbit sukuk. Jika penerbitan sukuk benar-benar adanya transaksi jual-beli kepemilikan aset, pada saat eksekusi penjualan aset, nilai aset (boofc value) harus sesuai dengan harga pasar. Oleh karena itu, observasi ini menunjukkan bahwa sukuk yang diterbitkan tidak didukung oleh asset riil melainkan hanyalah sebagai alat untuk meminjam uang seperti surat obligasi lainnya.


Ketiga indikator tersebut membuktikan bahwa kontrak jual-beli dan sewa pada kontrak sukuk adalah samaran, bukan kontrak yang berbasis aset riil dikarenakan tidak adanya perpindahan aset. Akibat dari tidak adanya perpindahan aset tersebut, menurut Dusuki dan Moktar (2010). pada saat terjadi sukuk defaults, pemegang sukuk hanya mendapatkan sisa jumlah jaminan yang dijanjikan oleh penerbit sukuk, dan jika ada surplus dari nilai aset, pemegang sukuk tidak mendapatkan surplus dari aset sukuk tersebut.


Di samping itu, pemegang sukuk merujuk kepada penerbit sukuk melainkan kepada aset untuk mengklaim hak finansial mereka. Hal ini bisa disaksikan pada kasus gagal bayar sukuk Kuwait Investment House dan sukuk Nakheel. Pemegang sukuk merasa ketidakpastian dengan hak kepemilikan aset sukuk sehingga mereka menuntut penerbit sukuk untuk memberikan sejumlah uang dan keuntungan seperti yang dijanjikan pada awal kontrak, bukan menuntut aset merekayang bisa dicairkan sesuai dengan harga pasar pada saat itu. Oleh karena itu, transfer kepemilikan mutlak sangatlah penting dalam penerbitan sukuk karena inilah ciri khas yang membedakan sukuk dengan surat obligasi lainnya.


Proteksi kapital
Problem proteksi kapital ini muncul ke permukaan pada saat penerbit sukuk memberikan jaminan kepada pemegang sukuk pada awal kontrak. Idealnya, menurut stAndar syariah Accounting and Auditing Organisations for Islamic Financial Institutions (AAOQT), jaminan bisa dieksekusi pada awal kontrak jikalau penjamin memiliki kapasitas yang independen atau netral terhadap penerbit sukuk dengan tujuan yang baik dalam memberikan jaminan kepada penerbit sukuk. Namun dalam realitasnya, penjamin sukuk adalah penerbit sukuk juga, sehingga tidak ada kapasitas independen pada penjamin sukuk.


Menurut Al-Amine (2008), ada 2 pandangan syariah yang berbeda terhadap proteksi kapital dalam struktur sukuk sekarang ini. PAndangan yang pertama, proteksi kapital pada sukuk ijarah, musyarakah, dan mudharabah adalah riba. Terlebih lagi, seluruh mahzab syariah melarang proteksi kapital yang mana bertolak belakang dari esensi kontrak mudharabah, dan bahkan kontrak ijarah. PAndangan yang kedua, proteksi kapital dalam sukuk ijarah tidak ada masalah selama penjamin mempunyai kapasitas hukum dan finansial yang independen. Hal ini berdasarkan prinsip syariah “semua diperbolehkan kecuali ada pelarangan yang jelas”, dan tidak ada pelarangan untuk jaminan dari pihak ketiga.


Tetapi, pandangan yang kedua masih menentang jaminan samaran dalam struktur sukuk secara transaksi tersebut mengandung riba al-dayn karena pada akhir kontrak, sukuk ditebus dengan jumlah rental payment yang tersisa berupa jaminan, bukan berdasarkan nilai aset pada akhir kontrak. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya 100 persen proteksi kapital atau jaminan terhadap pemegang sukuk melalui jaminan samaran di dalam kontrak sukuk. Terlebihlagi, pemegang sukuk mendapatkan distribusi keuntungan yang dikalkulasikan berdasarkan suku bunga, bukan terhadap nilai pasar underlying asset sukuk. Oleh karena itu, kedua pAndangan tersebut pada dasarnya setuju bahwa proteksi kapital tersebut dapat menghasilkan riba, khusus nya riba al-day.n yang mana membuat kontrak tersebut void dalam pAndangan syariah.


Implikasi bagi indonesia
Pemerintah dan bank syariah harus berhati-hati dalam menerbitkan sukuk ritel, jangan sampai struktur dan tujuan kontraknya sama dengan surat obligasi konvensional. Dalam menstruktur sukuk ritel, sukuk harus ditopang dengan pengembangan sektor riil karena hak kepemilikan aset sangatlah penting untuk penerbitan sukuk yang memenuhi persyaratan syariah. Oleh karena itu, identifikasi proyek atau aset yang produktif, dan due diligence sangat diperlukan yang disesuaikan dengan tujuan dari pendanaan sukuk tersebut.


Sebagai contoh, jika tujuan dari pendanaan sukuk adalah untuk konstruksi bangunan, maka identifikasi lokasi dan prospek dari kontruksi bangunan tersebut diperlukan, sehingga full legal ownership bisa ditransfer kepada pemegang sukuk dengan menggunakan sukuk istisna atau ijarah. Konsekuensinya, pada awal kontrak pemegang sukuk tertarik dengan proyek atau aset untuk membeli sukuk tersebut, bukan tertarik dengan penerbit sukuk yang dinilai kelayakan kreditnya sehingga tidak ada proteksi kapital dari penerbit sukuk kepada pemegang sukuk, dan sukuk bisa dicairkan sesuai dengan nilai proyek atau aset jika terjadi sukuk defaults.


Di samping itu, sukuk disarankan untuk mempunyai nilai keuntungan berdasarkan cash flow dari proyek atau aset sukuk. Tentu saja ini membutuhkan diskusi lebih dalam diantara regulator, DSN MUI dan pelaku pasar. Jikalau sukuk yang distrukturisasi ini benar-benar menggunakan underlying asset produktif yang ditopang dengan pengembangan sektor riil di Indonesia, tentunya akan sangat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Jhordy Kashoogie Nazar, Alumni Durham University Inggris dan Peneliti Tamu FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya