Sinergi Zakat dan Pajak

Di negara dengan mayoritas Muslim seperti di Indonesia, pengumpulan zakat memiliki potensi yang besar, tapi hingga saat ini zakat belum mempunyai peran yang cukup besar dalam menangani masalah sosial, ekonomi, dan fakir miskin. Bagi umat Islam yang telah memenuhi persyaratan sebagai wajib zakat, salah satu kewajibannya (rukun Islam) adalah membayar zakat. Peruntukan zakat juga telah ditetapkan dalam syariat Islam, yakni tujuh golongan penerima (mustahik). Zakat dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) di berbagai tingkat kewilayahan dari kecamatan hingga nasional. Pemerintah juga mengukuhkan pengumpulan zakat oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat.


Menurut informasi, tahun lalu nilai zakat yang dikumpulkan melalui BAZ dan LAZ di Tanah Air secara nasional tidak lebih dari Rp 1,5 triliun. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan potensi penghasilan nasional yang dimiliki. Jika dilihat dari pendapatan per kapita 2010, yakni 26 juta rupiah per tahun ataupun dari nilai penghasilan orang pribadi kena pajak, paling tidak bisa terkumpul lebih dari dua kali lipat dari nilai zakat yang ada sekarang. Itu pun hanya dari zakat yang berasal dari penghasilan orang pribadi dan belum termasuk penghasilan dari badan usaha, penghasilan pribadi yang berasal dari kekayaan, dan aset yang meningkat nilainya.


Langkah maju
Meskipun pajak dan zakat memiliki titik singgung yang sama, yaitu kewajiban yang mengikat dan kekuasaan yang menekan, di antara dua hal itu terdapat perbedaan penting. Pertama, zakat adalah ibadah yang merupakan kewajiban kepada Tuhan sedangkan pajak merupakan kewajiban kepada negara. Kedua, nisab dan persentase zakat ditetapkan oleh syariat, sedangkan pajak ditentukan oleh UU yang merupakan produk DPR dan pemerintah. Lalu, ketiga, sasaran pajak terbatas, hanya target materi. Sedangkan zakat merupakan ibadah yang sekaligus pungutan.


Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No 25 Tahun 2010 disebutkan, untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, boleh dikurangkan terhadap zakat atas penghasilan, yang nyata-nyata dibayar wajib pajak pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam kepada BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan pemerintah. Meskipun sudah dituangkan dalam UU PPh terhadap pajak sebagai pengurang penghasilan bruto, yakni unsur yang dapat dibiayakan (deductible items), banyak kalangan yang menghendaki zakat menjadi faktor pengurang kewajiban pajak orang pribadi/badan usaha atau tax credit yang disetorkan ke kas negara.


Ide pembayaran zakat sebagai pengurang setoran pajak diusung Kementerian Agama dan beberapa organisasi massa Islam untuk dimasukkan ke amendemen RUU Zakat. Di Indonesia, dengan rumusan tersebut, bisa jadi potensi zakat mencapai triliun rupiah lebih banyak dari yang sekarang ada. Namun, jika ide itu diterapkan, penerimaan pajak negara berkurang dalam jumlah yang hampir sama dan menimbulkan implikasi potensi restitusi (pengembalian pajak). Belum lagi pemotongan penerimaan pajak harus masuk keuangan negara dan ditetapkan dalam UU APBN dengan alokasi belanja tertentu dengan sistem dan administrasi yang kompleks. UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat memang telah menampung masalah hubungan antara zakat, pajak, dan keuangan negara.


UU tersebut merupakan langkah maju sebab sejak republik ini berdiri, sejak itu pula zakat terabaikan dalam konstitusi kenegaraan. Sebagai lembaga yang paling sah dan resmi mengelola zakat, pemerintah sadar bahwa selama ini telah menyia-nyiakan kesempatan. Zakat memiliki potensi yang begitu besar, tapi hingga saat ini belum memiliki kekuatan apa pun dalam menangani masalah kemiskinan di negeri ini. Karena itu, sebagian kalangan mengatakan bahwa klausul zakat mengurangi pajak begitu penting.


Disebutkan dalam UU itu, zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau LAZ dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sayangnya, meskipun telah sejak 1999, ketentuan pengumpukan zakat tersebut baru dapat dilaksanakan sejak UU Pajak Penghasilan ditetapkan dalam UU No 17 Tahun 2000 (sekarang telah diamendemen menjadi UU No 25 Tahun 2010) yang diberlakukan mulai 2001. Meskipun telah berjalan hingga sekarang, kalangan cendekiawan dan aktivis organisasi Islam mencita-citakan kenaikan pengumpulan zakat dari bagian pembayaran pajak penghasilan.


Pengurang penghasilan bruto
Mengurangkan zakat dari penghasilan bruto wajib pajak tidak dipermasalahkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, namun kewajiban pajak yang disetor dikurangi dengan zakat jelas-jelas mempunyai pengertian dasar dan fiskal yang sangat berbeda. Dari perspektif perpajakan, paling tidak terdapat dua alasan keberatan. Pertama, Undang-Undang Perpajakan sudah mengakomodasi kewajiban membayar zakat di kalangan umat Islam. Dalam UU tersebut, zakat digunakan sebagai faktor pengurang penghasilan bruto wajib pajak.


Nilai kewajiban pajak, lanjut dia, dihitung dari penghasilan bersih yang telah dikurangi dengan faktor pengurang, termasuk zakat. Alasan kedua, zakat dianggap sebagai kewajiban religius, bukan kewajiban bernegara. Implikasinya, zakat dan pajak merupakan dua entitas yang berbeda sehingga harus ditarik secara terpisah.


Pada prinsipnya, sudah selayaknya zakat menjadi pengurang penghasilan bruto orang pribadi dan badan usaha, bukan pengurang pajak. Alasan pertama, yang menjadi basis perhitungan zakat adalah penghasilan, bukan setoran pajak. Jadi, pembayaran zakat dihitung dari besarnya penghasilan bruto. Sementara itu, sisanya adalah pajak penghasilan bagi orang pribadi di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan pengusaha kena pajak (PKP) untuk badan usaha. Prinsipnya, zakat merupakan bagian dari penghasilan bruto (deductible items), bukan pembayaran pajak (tax credit). Kedua, pemberlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang setoran pajak jelas akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Ditambah lagi, apabila diterapkan, tax credit bisa menimbulkan restitusi, yang proses administrasinya cukup rumit dan rawan.


UU Zakat memang perlu disempurnakan dengan menegaskan lagi kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, seperti amanah UU PPh dan UU Zakat, pengelolaan zakat, khususnya RUU Zakat. Di samping itu, perlu juga ditampung  beberapa hal penting. Alasannya, pertama, UU No 25/2010 (eks UU 17/2000) dan UU No 38/ 1999 belum konsisten dalam menampung seluruh aspek zakat. Dalam UU No 25/2010, dinyatakan yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan. Padahal, pada saat yang sama, UU No 38/1999 menyebutkan bahwa zakat (tanpa embel-embel atas penghasilan) bisa dikurangkan atas penghasilan kena pajak.


Selain itu, sangat jelas, yang dimaksud zakat dalam UU No 38/ 1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum Muslimin sesuai dengan ketentuan agama. Antara lain, emas, perak, dan saham, obligasi perdagangan dan perusahaan juga wajib dizakati. Begitu pula hasil pertanian, perkebunan, pertambangan, dan peternakan. Belum lagi apabila pembayaran sedekah dan infak dikaitkan cara pengumpulan pengurang penghasilan bruto, potensinya juga akan besar.


Kedua, UU Zakat tidak menetapkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzaki. Dikatakan dalam UU No 3 8/1999, pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat secara tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30 juta. Idealnya, sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat, tapi juga muzaki yang tidak melaksanakan kewajiban. Pemerintah juga perlu tetap mengukuhkan dan mengawasi LAZ yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat. Tujuannya, pengelolaan dana zakat bisa lebih profesional.


Saya tetap yakin atas potensi zakat yang cukup besar, meskipun digunakan formula sebagai pengurang penghasilan bruto dan sumber harta yang disisihkan serta penerapan sanksi yang memadai. Ditambah dengan profesionalitas BAZ dan LAZ, potensi penerimaan zakat kita akan bisa membantu mengentaskan kemiskinan. Saya juga yakin bahwa penerimaan pajak bisa ikut naik karena pada saat yang bersamaan dihitung dengan zakat. Dengan begitu, dua hal itu, baik zakat maupun pajak, bakal memiliki sasaran rohaniah, akhlak, dan insaniah (kemanusiaan) sekaligus. Bulan Ramadhan adalah bulan solusi untuk merumuskan intensifikasi dan sinergi zakat serta pajak melalui silaturahim di antara para ahli dan pakar.


Oleh: Anggito Abimanyu
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya