Ekonomi Islam dan Bahaya Neoliberalisme

Pembangunan ekonomi menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik. Tujuan pembangunan ekonomi merupakan proses menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai mukadimah UUD 1945. Namun, pada kenyataannya, teori ekonomi yang digunakan bangsa ini tampaknya belum mampu mewujudkan tujuan dari pembangunan ekonomi. Gambaran itu bisa kita lihat dari ketimpangan ekonomi antara daerah satu dan daerah lainnya.


Untuk mengatasi akar persoalan utama ekonomi diperlukan sebuah sistem yang benar-benar mampu memberikan kenyamanan dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam hal ini, ekonomi Islam sangatlah cocok untuk menjawab permasalahan di sektor ekonomi mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan menggunakan pendekatan sistem ekonomi yang Islami.


Pada dasarnya setiap manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebahagiaan. Sebagian besar teori ekonomi yang ada menafsirkan kebahagiaan hanya terbatas pada aspek materi. Berbeda dengan ekonomi Islam yang memaknai kebahagiaan dengan kata falah  yang memiliki makna kebahagiaan atau kesejahteraan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.


Solusi ekonomi Islam
Penulis sangat mengapresiasi tulisan Ahmad Ifham Sholihin, "Sandaran Ekonomi Islam" (Republika, 19 Maret 2011), yang mengatakan sistem ekonomi Islam telah diposisikan oleh penggagas dan penggiatnya sebagai solusi (bukan alternatif) atas gurita krisis yang menggerogoti kejayaan rezim ekonomi global yang dianggap lekat dengan nilai kapitalisme, sosialisme, neoliberalisme dan/atau nilai-nilai lain yang dianggap melenceng dari ajaran agama Islam.


Pada prinsipnya ekonomi Islam memiliki sifat transendental yang mendasarkan konsep tauhid yang sangat mutlak. Dengan konsep ini, peranan Allah sangatlah penting dalam segala aspek ekonomi. Kemudian, nilai dasar keadilan dalam ekonomi Islam harus ditegakkan karena merupakan misi terbesar ajaran Islam dan mesti menjadi pegangan dalam segala kegiatan ekonomi.


Dalam kepemilikan sumber daya ekonomi, Allah menjadi pemilik mutlak atau absolut, sedangkan manusia hanya sebagai pengelola yang nantinya akan diminta pertanggungjawaban dihadapan-Nya. Sedangkan, ekonomi neoliberalisme menganggap kepemilikan sumber daya ekonomi sebagai milik individu atau lembaga swasta yang di dalamnya menggunakan persaingan bebas dalam mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.


Ekonomi Islam memiliki tujuan yang sama dengan tujuan syariat Islam (maqasyid asy-syariah). Tujuan itu tidak lain adalah mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat (falah). Kebahagiaan di dunia dan akhirat merupakan keinginan setiap manusia. Kesejahteraan yang ditawarkan ekonomi Islam adalah kesejahteraan yang sebenarnya. Berbeda dengan ekonomi neoliberalisme yang hanya berdimensi pada aspek materi dan mengabaikan aspek ukhrawi.


Ekonomi Islam memiliki nilai yang tidak dimiliki oleh ekonomi lainnya, yaitu nilai agama. Nilai religius dalam ekonomi Islam terletak pada pengharaman riba. Islam sebagai agama universal (rahmatan lil alamin) tidak menoleransi segala bentuk praktik riba. Islam menganggap riba sebagai satu unsur buruk yang dapat merusak masyarakat ekonomi, sosial, maupun moral. Bahkan, Nabi melaknat semua praktik riba. "Rasulullah melaknat (mengutuk) orang yang memakan riba, orang yang berwakil kepadanya, penulisnya, dan kedua saksinya." (HR Muslim).


Bahaya Neoliberalisme
Menurut Revrison Baswer (2010), kelemahan utama neoliberalisme terletak pada kecenderungannya untuk melaksanakan pelaksanaan cara produksi atas dasar kapitalisme dan mekanisme alokasi atas dasar mekanisme pasar. Padahal, menurut Stiglitz, pasar hanyalah salah satu alat, bukan satu-satunya alat untuk mencapai tujuan ekonomi. Menjadikan pasar sebagai satu-satunya alat, lebih-lebih menjadikannya seabagai tujuan itu sendiri, sama artinya dengan memorakporandakan fondasi integrasi sosial dan menjerumuskan perekonomian negara-negara miskin ke lembah kehancuran.


Dengan demikian, jelaslah bahwa neoliberalisme hanya memberikan keuntungan pada pihak yang memiliki modal saja tanpa melihat dampak buruknya bagi negara-negara miskin. Di samping itu, ekonomi neoliberalisme menjadikan faktor-faktor produksi, seperti SDA, modal, dan tenaga kerja sebagai milik pribadi. Pelaku ekonomi liberal juga menjadikan mekanisme pasar sebagai alat untuk mencapai keuntungan maksimum sehingga untuk mencapai itu semua mereka menghalalkan segala cara, termasuk penghalalan riba.


Sistem ekonomi Islam telah menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi guncangan krisis ekonomi yang terjadi pada 1998, sedangkan ekonomi konvensional tidak mampu membendung hantaman krisis tersebut. Kemampuan ekonomi Islam bertahan dari guncangan krisis ekonomi karena menjunjung prinsip keadilan yang merupakan ajaran utama dalam Islam. Islam sebagai agama universal tidak hanya memuat ajaran yang bersifat spiritual,  tetapi mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi.


Sistem-sistem ekonomi yang ada saat ini tidak mampu memberikan kontribusi dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat luas. Sistem ekonomi yang diadopsi dari Barat hanya melahirkan jurang (gap) antara individu, masyarakat, dan negara.


Selain itu, sistem ekonomi yang ada tidak mampu menyelesaikan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Neoliberalisme membawa dampak negatif bagi negara-negara miskin, terutama dalam bentuk meningkatnya polarisasi sosial dan ekonomi antara golongan kaya dan miskin serta meningkatnya dominasi para pemilik modal terhadap faktor-faktor produksi di negara miskin.


Ekonomi Islam hadir untuk memberikan jawaban atas ketidakadilan yang ditimbulkan oleh ekonomi konvensional, seperti neoliberalisme. Ekonomi Islam menjunjung keadilan dan melarang dengan keras praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, dengan prinsip tersebut, kita lebih optimis untuk mencapai tujuan ekonomi yang sebenarnya, yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat (falah).


Oleh: Herman (Mahasiswa FAI UMJ, Aktif di Basic Syariah Economic Campus)


Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya