Ramadhan: Perspektif Ekonomi

Meski irasional, sebagian masyarakat berharap seluruh bulan menjadi seperti bulan suci Ramadhan. Mengapa? Itu karena selama Ramadhan terkucur nikmat yang relatif tak terbatas. Bagi kalangan agamis, mereka melihat kelipatan hitungan yang sangat fantastis jika beramal saleh, terdapat peluang besar untuk meraih ampunan Allah dan keberkahan yang tak terhingga. Di sanalah peluang sangat terbuka untuk mendapatkan surga-Nya jika dia menunaikan puasa (saum) dengan penuh keimanan dan keihtisaban.


Yang cukup memukau, karunia yang tergelar di tengah Ramadhan tidak hanya hal-hal yang berdimensi ukhrawi, tapi aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar. Dan fakta menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadhan. Tak sedikit di antara umat manusia-yang berpuasa ataupun tidak, dari barisan Muslim ataupun umat lainnya-merasakan manfaat besar dari kehadiran Ramadhan yang tersirkulasi atau terdistribusi secara menyeluruh, mulai dari wilayah perkotaan hingga pedesaan.


Tak dapat disangkal, roda ekonomi benar-benar tampak hidup selama bulan suci ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian umat manusia mengharapkan seluruh bulan (sepanjang tahun) menjadi Ramadhan, meski hal ini tidaklah mungkin. Keinginan ini sebagai implikasi positif atas tingkat pendapatan yang menaik tajam dan hal ini berbeda bila diperbandingkan bulan-bulan lainnya.


Sesungguhnya, peningkatan pendapatan atau keuntungan merupakan konsekuensi logis dari tingkat permintaan barang yang naik tajam. Yang perlu kita kritisi, bagaimana perkembangan ekonomi itu tidak menjadi beban, terutama bagi kaum konsumen? Dalam hal ini, mentalitas pedagang-termasuk mereka yang Muslim-diuji, apakah akan menerapkan sistem ekonomi syariah yang mengedepankan nilai keadilan, saling rela ('an taradlin) antara pembeli dan penjual, atau justru kapitalistik, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan posisi keterpojokan konsumen?


Tak dapat disangkal, nilai-nilai atau prinsip kesyariahan para pelaku ekonomi sering diabaikan. Dengan dalih perkembangan harga yang terus bergerak naik dari sumbernya (produsen dan atau mata rantainya) dan agar bisa berbelanja lagi, barang dagangannya pun dilepas dengan harga yang kadang tidak wajar. Sering terjadi kenaikannya mencapai dua atau tiga kali lipat dari harga sebelumnya. Dalam hal ini terjadi eksploitasi sebesar-besarnya atas kebutuhan objektif para konsumen. Implikasinya, masyarakat konsumen, terutama yang terbatas daya belinya, benar-benar digebung kepentingannya tanpa perlindungan yang berarti dari pihak lain seperti pemerintah.


Pemerintah haruslah bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan, bukan membiarkan. Di satu sisi, ia harus memberikan stimulus atau memfasilitasi perkembangan ekonomi yang tumbuh di berbagai sentra, dan hal ini merupakan harapan untuk perbaikan pendapatan masyarakat. Tapi, konsumen pun harus diperhatikan hak-hak ekonominya. Di sinilah sejatinya peran pemerintah harusnya mampu mendamaikan dua kutub (pelaku ekonomi versus konsumen).


Jika tidak, tidak hanya kalangan konsumen yang tergebuk kepentingannya, tapi pemerintah itu sendiri ikut merasakan dampak destruktifnya. Bagaimanapun peningkatan jumlah uang edar dan turun nilainya dibanding harga barang menjadi persoalan serius bagi makhluk inflasi. Persoalan makro ini akan memperlemah posisi ekonomi nasional. Dan, inilah kecenderungan yang terus terjadi hampir di setiap Ramadhan.


Haruskah menyalahkan bulan suci Ramadhan? Persoalannya sangat bergantung pada perilaku umat manusia itu sendiri yang memang menerapkan karakter budaya aji mumpung (carpedium). Nafsu keserakahan-memburu rente sebesar-besarnya yang menjadi ideologi kapitalisme-demikian merasuk sehingga ia tidak mampu membedakan antara perilaku ekonomi yang Islami dan prinsip ekonomi tagut yang eksploitatif itu.


Kini, pemerintah dituntut untuk menormalkan perkembangan harga. Jika mengedepankan pendekatan perimbangan supply-demand, kita harus mampu memantau posisi kedua pihak itu. Operasi pasar menjadi langkah yang wajib dilakukan jika terindikasi adanya keterbatasan pasok. Namun, jika posisi permintaan dan penawaran seimbang tapi harga tetap melambung, sudah seharusnya pemerintah bersikap tegas untuk memberikan sanksi tertentu terhadap para spekulan.


Pendek kata, pemerintah tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Inilah bentuk tanggung jawabnya selaku pengendali kekuasaan, termasuk sektor ekonomi. Jika kita cermati perkembangan harga yang hiperbolis setiap Ramadhan, kita dapat menggarisbawahi bahwa pemerintah seperti tak berdaya menghadapi kecenderungan yang terus terjadi di setiap tahun. Sebuah renungan, apakah ketidakberdayaannya murni ketidakmampuanya atau by design (tunduk pada kepentingan pihak lain)?


Apa pun faktornya, hal itu menunjukkan ironisme. Hal ini menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola aspek-aspek strategis sistem perekonomian. Bahkan bisa dinilai lebih jauh, yakni tidak mampu memimpin. Yang jauh lebih memprihatinkan adalah jika terdapat nuansa konspirasi dengan pihak tertentu (asing ataupun lokal). Di sinilah urgensinya potret pemimpin yang responsif terhadap seluruh dinamika yang terjadi, terutama yang mengancam kepentingan publik.


Lebih dari itu, sudah saatnya dibangun sistem perekonomian yang berkarakter manusiawi, bukan liberalis yang menghalalkan segala cara. Dalam hal ini, sistem ekonomi syariah menjadi alternatif yang harus diinternalisasikan kepada seluruh pihak, terutama yang berkiprah di aktivitas ekonomi, apa pun kelasnya. Prinsip atau karakter eksploitatif secara terencana harus dibangun menjadi pengetahuan, sekaligus menjadi kesadaran untuk dihindari oleh setiap pelaku ekonomi.


Yang menarik untuk kita analisis secara mikro adalah tingkat keuntungan kecil yang diterapkan tidak hanya menjadi alat marketing tersendiri yang bersifat promotif (menarik pelanggan), tapi hal ini juga menjadi faktor penting terjadinya akumulasi keuntungan. "Sedikit demi sedikit, tapi akhirnya besar hasilnya". Inilah pendekatan bisnis yang sering diberlakukan kalangan pebisnis Cina. Sebagian besar mereka bukan Muslim atau Muslimat, tapi menjalankan prinsip ekonomi Islam.


Kiranya, model dagang yang sudah mengempiris itu-juga jauh sebelumnya pernah dipraktikkan Muhammad sebelum menjadi rasul-perlu ditransformasikan lebih mendalam kepada seluruh elemen pedagang, dalam kategori apa pun. Perlu diyakini, penerapan sistem dagang (ekonomi) yang dicontohkan Rasulullah tidak hanya memberikan harapan besar untuk memosisikan pelaku ekonomi yang sukses, tapi juga memberikan perlindungan (tidak menggencet) kepentingan konsumen. Di sana terjadi perlakuan yang adil.


Oleh: MS Kaban, Mantan menteri kehutanan
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya