Kapitalisme dan Ekonomi Hatta

Harus diakui bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negara-negara Barat telah mengalami kegagalan. Negara-negara kapitalis, misalnya, Amerika Serikat, telah mengalami kehancuran ekonomi karena sifat liberalis-individualistisnya.

Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme tampaknya kini tidak mampu menjamin para penganutnya berekonomi secara sehat dan berkelanjutan karena sistem ini lebih mementingkan diri dan pemilik modal. Sehingga, orang-orang atau negara-negara yang lemah secara ekonomi menjadi 'tumbal' atau korban orang-orang kuat dan negara-negara maju.  Akibatnya, kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial semakin menganga. Oleh karena itu, kita perlu banyak belajar pemikiran Bung Hatta yang kalau kita kaji secara cerdas dan mendalam mengandung nilai-nilai Islam.

Memang, kalau kita mencermati secara saksama karya-karya Bung Hatta, terutama yang berkenaan dengan ekonomi, tidak satu pun yang pernah mengulas secara spesifik ekonomi Islam Bung Hatta. Namun, kalau kita meluangkan pikiran untuk menelaah secara lebih kritis dan tajam, di sana  terlihat substansi, nilai, dan norma Islam yang terinternalisasi dari berbagai karya beliau, terutama ekonomi. Ditambah lagi sikap atau perilaku hidup Bung Hatta yang disiplin, jujur, kritis, ulet, telaten, cerdas, dan futuristik yang turut mewarnai aktivitas kesehariannya.

Secara kategoris, Hatta adalah penganut Islam-religius, tanpa terlalu menonjolkan aspek simbolisme, dalam hal ini Islam. Dalam aspek sosiologis, Hatta dikategorisasikan sebagai penganut sosialisme-religius. Bahkan, secara akademis, Hatta adalah sosok yang religius dan bukan sekuler seperti yang disangka beberapa orang.

Pada aspek filosofis dan teologis, Hatta memandang bahwa perilaku ekonomi manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan kemanusiaan (khalifatullah fil ardh) dengan mengaplikasikan nilai-nilai dasar keadilan, persaudaraan, dan kebersamaan ke dalam kehidupan dan aktivitas ekonomi yang mereka jalankan.

Di samping itu, diperlukan nilai lain berupa nilai-nilai instrumental untuk mendukungnya, seperti nilai kerja sama ekonomi, khususnya koperasi dan nilai instrumental demokrasi ekonomi serta peran pemerintah bagi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi semua orang.

Arah pemikiran Hatta bisa kita lacak dari cita-cita dan harapannya untuk menegakkan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Untuk mencapai arah itu, menurut Hatta, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi: pertama, harus ada jiwa dan semangat tolong menolong antara anggota dan warga masyarakat. Kedua, negara (politik) harus bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ekonomi kepada mekanisme pasar, yaitu swasta dan koperasi. Kondisi ini diharapkan bisa menciptakan efisiensi yang tinggi sehingga mampu mengantarkan masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang diharapkannya.

Hatta menganggap bahwa untuk membangun sistem ekonomi harus beranjak dari sistem keyakinan agama yang dianutnya, yaitu sistem keyakinan Islam. Satu hal yang perlu dicatat, meskipun dalam kaitan ini, Hatta tidak menggunakan simbol-simbol keislaman, baik dalam tataran terminologi (misalnya konsep mudharabah, musyarakah, dan sebagainya) maupun kelembagaannya (bank syariah, BMT, dan sebagainya). Hatta hanya ingin memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam kegiatan ekonomi, bukan simbol-simbol Islam karena beliau percaya bahwa nilai-nilai Islam bersifat universal dan dapat diterima oleh semua kalangan.

Dalam tataran falsafah ekonomi yang dimilikinya, beliau melihat bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, yaitu Allah SWT, Dzat Yang Maha Tunggal bukan milik manusia, melainkan milik Tuhan. Manusia sebagai khalifah-Nya hanya dititipi dan diberi amanat untuk mengelola dan mengambil manfaat darinya. Sebagai konsekuensi logis dari cara pandang demikian, tindakan ekonomi manusia haruslah bisa dipertanggungjawabkan.

Jadi, di sini terlihat bahwa sistem ekonomi yang hendak dikembangkan Hatta adalah sistem ekonomi yang berketuhanan, bukan ekonomi yang mengandalkan kebebasan pasar secara mutlak atau memberikan peran yang terlalu besar kepada negara sehingga menghilangkan dan merampas kebebasan pribadi dan seseorang untuk berusaha.

Dalam hal ini, jelas Bung Hatta tidak tertarik dan bahkan sinis dengan sistem ekonomi liberalisme-kapi talisme karena sistem ini lebih mengutamakan kebebasan, tetapi dengan membiarkan orang mencari sendiri apa yang baik untuk dirinya seakan berkembang pendapat bah wa seseorang itu lebih tahu apa yang baik untuk dirinya. Akibatnya, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin karena kebuasan singa sudah menjadi semangat persaingan.

Pemikiran ekonomi Hatta itu jika dilihat dari perspektif Islam secara substansial sangat sesuai dengan ajaran Islam dengan tidak menampilkan simbol-simbol Islam, misalnya, keterlibatan ne gara dalam akitivitas eko nomi yang tentu sesuai dengan prin sip ekonomi Islam.

Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa Magister Studi Islam UII Yogyakarta
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya