Zakat dan Pajak

Zakat yang dimaknai secara lughawi berarti tumbuh berkembang dan kemudian dimaknai sebagai suatu kesucian terhadap diri atau harta, merupakan kewajiban Islam yang amat banyak tercantum dalam Alquran dan hadis. Zakat adalah rukun Islam yang kelima, dan orang yang tidak mengeluarkannya dicela dan akan mendapat siksa yang keras di akhirat.


Objek zakat sekarang amat banyak sesuai pertumbuhan ekonomi sehingga tidak terbatas, sebagaimana yang tercantum eksplisit dalam Alquran dan hadis Rasulullah SAW. Sumber zakat yang banyak disebutkan dalam Alquran dan selanjutnya dalam hadis Rasulullah bahkan disebutkan ukurannya dan kepantasannya. Dalam telaah kontemporer, sumber zakat makin berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi saat ini.


Dalam telaah fikih zakat kontemporer, umpamanya, pencermatan metodologis menjadi perhatian para ulama fikih kontemporer. Syaikh Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Majelis Fatwa di Saudi, Sudan, Kuwait, dan lain-lain memberikan alternatif dan solusi-solusi dalam menyelesaikan zakat barang-barang masa kini yang dianggap pada masa silam baru merupakan isyarat-isyarat atau masalah lain sama sekali. MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahstul-Masail NU, Dewan Hisbah Persis, dan lain-lain berperan besar dalam menentukan objek yang harus dizakati. Di sinilah peran fukaha dalam mengembangkan pemikirannya.


Untuk itu, tak akan lepas suatu masa pun dari hukum yang harus dipedomani. Hukum tersebut harus memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga tidak ada yang merasa diuntungkan dan atau dirugikan. Maka hukum, apa pun produknya, tidak lepas dari karakter hukum itu sendiri. Pelaksanaan kewajiban zakat tak hanya mengacu pada tuntunan Alquran dan sunah, tetapi terhadap produk Undang-Undang No 38 Tahun 1999, Kepmen Agama RI No 373 Tahun 2003, dan Fatwa MUI 03 Tahun 2003.


Jadi, masalah zakat dan hukumnya secara syari dan perundang-undangan sudah amat jelas, sehingga memudahkan umat untuk melaksanakan kewajiban ini secara benar, konsisten, dan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Negara sudah melaksanakan syariat zakat ini, dan diperbolehkan bagi ormas dan atau LSM yang akan mendirikan lembaga zakat dengan syarat diharuskan ada izin dari negara, sehingga muncul yang disebut LAZ. Walaupun adakalanya menjadi bias adanya lembaga-lembaga penarik zakat secara khusus tanpa memiliki umat yang jelas, seolah-olah masyarakat dieksploitasi dengannya.


Memang banyak perbedaan antara pajak dan zakat. Contoh yang jelas bahwa zakat itu harus harta yang tumbuh berkembang, sementara harta diam yang tidak berkembang ditarik pajaknya. Rumah, tanah, kendaraan, dan lain-lain yang tidak menghasilkan tidak ada zakat. Sementara dalam pajak, nanti ada yang disebut PBB (pajak bumi dan bangunan), pajak kendaraan, pajak pembelian, penjualan, bahkan makan di rumah makan pun ada pajaknya.


Kewajiban pajak bagi penduduk adalah bagian dari maslahah mursalah dalam konteks fikih Islam asal tidak ada kezaliman dan mencekik wajib pajak. Artinya, negara boleh menariknya terhadap umat Islam asalkan diterapkan prinsip-prisnsip syariah, yaitu amanah (kejujuran), 'adalah (keadilan), musawah (kesamaan), tasamuh (toleransi), ta'awun (saling membantu), takaful ijtima (tanggung jawab bersama), dan 'adamul masyaqqah (tidak memberatkan).


Bila pajak dinilai memberatkan wajib pajak bahkan kezaliman, maka agama melarang kezaliman itu, yang ada harus adil. Prinsip-prinsip yang dimaksud dalam konteks pajak di atas ialah sebagai berikut: Amanah yang dimaksud dalam konteks pajak tentu saja berkaitan dengan para penarik dan pengelolanya. Adalah merupakan kewajiban para penarik pajak menyetorkan kepada negara sesuai dengan yang dihasilkannya.


Demikian pula pengelolaannya harus jelas ke mana, berapa besaranya, dan untuk apa. Bila tidak, kasus perpajakan sebagaimana terjadi akhir-akhir ini akan terus terjadi. Permainan antara pemberi wajib pajak dan pengelola, bahkan dengan para pemungut, menjadi problem yang tak henti-hentinya. Kasus di suatu daerah tentang upah pungut kemungkinan ada kesenjangan mekanisme dan implementasi antara pemerintah pusat dan daerah. Prinsip-prinsip amat jelas, sebagaimana dipahami selama ini.


Kasus mafia pajak yang selama ini menggerogoti uang negara, uang rakyat pembayar pajak, diakibatkan oleh para pelaksananya bukan orang yang jujur (amanah), bahkan dari sini muncul para mafia hukum yang berkaitan dengan pembebasan para narapidana pajak.


Prinsip keadilan merupakan sisi lain yang perlu diperhatikan negara dalam penarikan pajak. Bukan hanya keadilan dalam menetapkan besarnya pajak, melainkan adil dalam distribusi dan menetapkan para pelanggar pajak. Di sinilah tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan pajak yang semula rakyat, walaupun berat dan telat, tetap pajak itu dibayar sesuai dengan perundangan yang berlaku.


Namun, bila dalam perpajakan ada kezaliman terhadap wajib pajak atau pajak digunakan terhadap sesuatu yang diharamkan agama, itu adalah suatu bentuk kezaliman. Pajak harus digunakan untuk kemaslahatan negara, umat, dan bangsa. Sehubungan dengan kezaliman, Rasul pernah bersabda, "Tidak akan masuk surga pengambil usyr (sepersepuluh) penghasilan dengan khianat". (HR Ahmad). Bila kezaliman terjadi dalam pajak, bahkan zakat sekalipun, maka hukumnya haram. Dan bahkan Imam az-Zahabi menyatakan bahwa itu dosa besar.


Dalam konteks perundangan di Indonesia, diwacanakan bahwa zakat akan mengurangi pembayaran pajak. Hal ini dapat dibenarkan dan patut disambut dengan hati terbuka dan disyukuri agar tidak memberatkan kaum Muslim yang sudah wajib zakat dan pajak. Sebagaimana di negara Muslim lain, ada yang sudah menerapkan model pajak dan zakat, sehingga zakat sudah dipisahkan langsung oleh negara.


Kasus Sudan, misalnya, ada kantor yang disebut dengan Maslahah Zakah wa Dhara'ib (Kantor Zakat dan Pajak), sehingga negara berperan menetapkan pajak dan zakat setiap warga negara. Ini artinya negara harus membangun citra kejujuran dalam segala aspek dengan model yang disebut clean government. Memang, pembiayaan negara dan pembangunan ini sebenarnya dapat di-cover dengan hasil tambang, hasil hutan, serta kekayaan alam lainnya, sekiranya dikelola secara transparan dan jujur. Sayangnya, segala hasil bumi sudah dikuasai perusahaan asing sehingga negara harus mengambil pajak kepada masyarakatnya.


Oleh: Prof. M Abdurrahman, Dosen Fakultas Syariah Unisba
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya