Soal Zakat Pengurang Pajak

Pada Republika, 4/4/2011, KH Didin Hafidhuddin dan Beik mendorong agar ketentuan zakat sebagai pengurang pajak masuk dalam amendemen UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berbekal perspektif makro, mereka berargumen bahwa penerapan zakat sebagai pengurang pajak akan berdampak positif bagi kinerja zakat, pajak, dan perekonomian nasional secara keseluruhan. Tulisan ini akan memberi argumen berbeda dari perspektif mikro dan historis, yang memberi kesimpulan berbeda dari Hafidhuddin dan Beik.


Relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan UU No 38/1999 sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak (tax deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.


Namun, terlihat jelas bahwa masuknya insentif pajak dalam UU Zakat ini tidak melibatkan Otoritas Pajak. Ketika Departemen Keuangan setahun kemudian mengajukan draf revisi RUU PPh, sama sekali tidak ada ketentuan yang mendukung zakat sebagai tax deduction. Ketentuan ini baru diakomodasi dalam RUU PPh.


UU No 17/2000 mengukuhkan UU No 38/1999, yaitu zakat yang diterima Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan mustahik, tidak termasuk sebagai objek pajak, serta zakat penghasilan yang dibayarkan WP orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau WP badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam ke BAZ/LAZ, menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak.


Namun, zakat sebagai tax deduction ini baru dapat diimplementasikan tiga tahun kemudian setelah keluarnya keputusan Dirjen Pajak No KEP-163/PJ/2003. Dalam praktiknya, meminta zakat sebagai tax deduction ini juga tidak mudah jika muzaki gagal mendapatkan bukti setor zakat dari BAZNAS sebagaimana diminta aparat pajak.


Eksperimen menarik terjadi di Aceh. Melalui UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat menjadi salah satu sumber PAD pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan dikelola secara terpisah oleh baitulmal Aceh dan baitulmal kabupaten/kota, serta zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak. Dengan kata lain, zakat telah menjadi tax credit di Aceh. Namun, hingga kini ketentuan ini tampak belum diakomodasi Dirjen Pajak sehingga tidak dapat diimplementasikan.


Lemahnya koordinasi antara otoritas zakat dan otoritas pajak kembali terulang ketika Departemen Keuangan dan DPR mengukuhkan ketentuan lama terkait zakat sebagai tax deduction pada UU No 17/2000 ke dalam UU No 36/2008 tentang PPh. Departemen Agama yang sejak 2008 telah memiliki wacana zakat sebagai tax credit dalam draf amendemen UU No 38/1999, terlihat sama sekali tidak dilibatkan.


Yang terjadi adalah Departemen Agama kembali "potong jalur" dengan memasukkan ketentuan zakat sebagai tax credit dalam RUU Zakat yang menjadi RUU Prioritas 2009 namun gagal diselesaikan oleh DPR periode 2004-2009 dan kini kembali dibahas DPR periode 2009-2014.


Semua pengalaman ini secara jelas memperlihatkan lemahnya koordinasi otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah. Harmonisasi regulasi zakat dan pajak juga tidak berjalan dengan baik. Relasi pajak-zakat dibangun pada rezim UU nonperpajakan dan tanpa melibatkan otoritas pajak. Hal ini diganjar dengan lemahnya penegakan relasi zakat dan pajak di lapangan.


Kegagalan eksperimen zakat sebagai tax credit di Aceh dan keluarnya PP No 60 Tahun 2010 di tengah proses pembahasan RUU Zakat, secara jelas memperlihatkan resistensi otoritas pajak terhadap wacana zakat sebagai //tax credit. Untuk mencegah terulangnya upaya "fait accompli", pemerintah juga kini menyertakan otoritas pajak sebagai mitra DPR dalam pembahasan RUU Zakat.


Kelemahan kerangka regulasi dan institusional zakat nasional, semakin memperburuk relasi zakat-pajak ini. Hingga kini terdapat ketidakjelasan otoritas zakat. Dunia zakat nasional juga tidak memiliki tata kelola yang baik. Posisi tawar dunia zakat pun menjadi lemah di depan otoritas pajak.


Pelaksanaan zakat sebagai tax de duction sendiri terlihat banyak kelemahan, seperti zakat sebagai tax deduction hanya berlaku pada zakat atas penghasilan, BAZ/LAZ yang diakui oleh aparat pajak di tingkat teknis-operasional umumnya hanya BAZNAS, serta dugaan bahwa WP cenderung tidak meng-exercise fasilitas ini karena tidak seimbang antara benefit dan cost.


Zakat sebagai tax credit diperkirakan akan menjadi insentif yang memadai bagi muzaki untuk menunaikan kewajibannya. Fasilitas ini juga dianggap akan memberi dampak positif terhadap kepatuhan membayar pajak. Namun, proposal ini tidak dipersiapkan dengan baik.


Dalam semua draf RUU Zakat yang ada, tidak ada satu pun pasal yang berbicara tentang otoritas pajak terkait zakat menjadi pengurang pajak. Padahal, wacana zakat sebagai tax credit mensyaratkan adanya koordinasi yang kuat antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga terbawah.


Zakat sebagai tax credit juga diperkirakan akan berdampak signifikan pada penerimaan perpajakan. Diterimanya wacana zakat sebagai tax credit , dan di saat yang sama juga dilakukan equal treatment terhadap sumbangan keagamaan wajib lainnya, akan menurunkan penerimaan perpajakan dalam negeri, yaitu penerimaan PPh Nonmigas, sebesar penerimaan zakat nasional dan sumbangan keagamaan wajib lainnya.


Selain itu, implementasi zakat sebagai tax credit akan menimbulkan restitusi pajak yang proses administrasinya rumit dan potensial untuk disalahgunakan. Dengan kelemah an tata kelola dunia zakat nasional saat ini, zakat sebagai tax credit akan menjadi eksperimen yang terlalu berisiko bagi dunia zakat nasional yang kini sedang berkembang pesat.


Kedepan, wacana yang harus lebih dikedepankan adalah menata ulang hubungan koordinasi otoritas pajak-zakat nasional dengan tujuan jangka pendek untuk memperbaiki secara mendasar pelaksanaan zakat sebagai tax deduction. Di saat yang sama, dunia zakat nasional sebaiknya berkonsentrasi pada perbaikan tata kelola yang baik (good governance) di internal dunia zakat nasional dengan membentuk otoritas zakat yang kuat dan kredibel. Upaya penting lain di sini, konsolidasi BAZ/LAZ yang saat ini jumlahnya terlalu banyak, dalam rangka mendorong transparansi dan kredibilitas dunia zakat nasional.


Kemitraan pemerintah-BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah ataupun kontrak penyediaan jasa sosial.


Oleh: Yusuf Wibisono, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya