Krisis Ekonomi dalam Perspektif Ekonomi Islam

1. Pendahuluan
Dalam menganalisis penyebab utama timbulnya krisis moneter, banyak para pakar ekonomi berkesimpulan bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut:
"Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi".

Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak--terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien (inefficient investment), dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.

Sementara itu kita melihat bahwa sungguh sangat langka ataupun boleh dikatakan tidak ada sama sekali tulisan-tulisan yang menyoroti faktor-faktor penyebab krisis ekonomi dari aspek-aspek keagamaan (religious aspect), aspek etika ekonomi (economic ethical aspects), aspek tingkah laku para pelaku ekonomi (economic behavioral agents), dan aspek-aspek kualitatif lainnya. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat mengisi kokosongan tersebut dengan menganalisa sebab-sebab timbulnya krisis ekonomi ditinjau dari kacamata ekonomi Islam.

2. Islam dan Ekonomi
Sebenarnya, terjadinya krisis ekonomi dalam Islam tidak terlepas dari praktek-praktek atau aktivitas ekonomi yang dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, seperti tindakan mengkonsumsi riba, monopoli, korupsi, dan tindakan malpraktek lainnya. Bila pelaku ekonomi telah terbiasa bertindak di luar tuntunan ekonomi Ilahiah, maka tidaklah berlebihan bila krisis ekonomi yang melanda kita adalah suatu malapetaka yang sengaja diundang kehadirannya akibat ulah tangan jahil manusia sendiri.

Hal ini seperti disinyalir Allah SWT dalam Surat Ar-Rum ayat 40: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mareka kembali (ke jalan yang benar)".

Kejahilan manusia ini terjadi tidaklah terlepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kemaslahatan umat sehingga mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi, seperti disebutkan dalam dua ayat berikut ini: "...Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi Allah dengan berbuat kerusakan" (Q.S. Al-Baqarah: 60)."....dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan"(Q.S. Asy-Syu'ara: 183) ".

Melakukan praktek ekonomi yang bertentangan dengan syari'at Islam seperti disebutkan dalam ayat-ayat di atas adalah merupakan suatu tindakan yang tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga akan merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi umat. Karena setiap aturan Ilahiah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi umat baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Sebaliknya, pelanggaran syari'at Islam baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak, pasti akan mengundang malapetaka (ganjaran setimpal) langsung atau tidak langsung dari Allah swt. Krisis ekonomi adalah merupakan salah satu contoh malapetaka atau cobaan Tuhan terhadap makhluk-Nya yang telah terlalu jauh melaksanakan aktivitas ekonomi melenceng dari rel al-Qur'an dan Sunnah, seperti melegalkan riba merajelala berlaku di tengah-tengah ekonomi umat[1].

3. Perbedaan Sistem Moneter Islam dan Konvensional (Faktor Ekonomi)
Sistem ekonomi Islam tidak mengenal adanya dikotomi sejajar antara sektor riil dan sektor moneter. Sektor moneter secara terbatas hanya didefinisikan sebagai sektor yang terkait dengan arus uang di aktivitas investasi baik oleh swasta maupun pemerintah, dimana aktivitas investasi ini juga pada dasarnya sangat tergantung dengan aktivitas riil di pasar.
Tabel 1. Perbandingan Sistem Moneter Islam dan Konvensional
No
Konvensional
Islam
1
Fiat Money
Full Backed Money
2
Fractional Reserve Banking System
100 Percent Reserve Banking
3
Interest Rate
Profit Loss Sharing
Karakteristik utama sistem moneter Islam yang dapat dibedakan dari sistem moneter konvensional adalah: Fiat Money vs Islamic Money, Fractional dan Fully Reserve Banking serta Bunga dengan bagi hasil[2]. Ketiga karakteristik utama sistem moneter konvensional tersebut sangat mendasar dalam proses penciptaan uang oleh sektor perbankan. Bunga mempunyai sejumlah efek negatif terhadap ekonomi.

a. Fiat Money vs Islamic Money
Fiat money adalah sesuatu (biasanya dalam bentuk kertas atau koin) yang diakui sebagai alat tukar yang sah di suatu negara karena ditetapkan oleh pemerintahnya yang tidak memiliki nilai atau back up sesuai nilai nominalnya. Penciptaan (penerbitan) fiat money memunculkan daya beli baru dari sesuatu yang tidak ada. Dengan demikian, fiat money memberikan keuntungan yang tidak adil, yang biasa disebut seigniorage, bagi pihak yang diberi kuasa untuk menerbitkannya. Penciptaan keuntungan tanpa adanya ‘iwad (countervalue) berupa ownership risk (ghurmi), value added (ikhtiyar), atau liability (daman) dikategorikan sebagai riba oleh Ibnu Arabi.

Dalam sistem ekonomi yang menggunakan fiat money, otoritas negara yang diberi kewenangan untuk menerbitkan uang (biasanya bank sentral, otoritas moneter, departemen keuangan, atau institusi lain yang ditunjuk) mendapatkan keuntungan seigniorage ini. Akibatnya, daya beli uang secara agregat akan turun (atau terjadi inflasi) sesuai dengan persentase uang yang ditambahkan dalam perekonomian. Pihak yang dirugikan oleh penerbitan fiat money baru adalah seluruh rakyat yang memegang uang. Sebagai contoh, apabila ongkos mencetak uang Rp100.000 adalah Rp2.000, maka seigniorage yang tercipta adalah Rp98.000.

Sementara itu, uang dalam Islam adalah full bodied money, atau uang (biasanya dalam bentuk logam emas dan perak) yang mempunyai nilai intrinsik sama dengan nilai nominalnya, dan fully backed money, atau uang (biasanya dalam bentuk kertas atau koin) yang nilai nominalnya di back up 100 persen dengan emas yang disimpan oleh otoritas yang menerbitkannya. Dalam penerbitan uang baru ini tidak ada daya beli baru yang diciptakan (tidak ada seigniorage), sehingga tidak mengandung unsur riba. Lebih jauh lagi, dalam penerbitan uang baru, biaya pencetakan menjadi tanggungan pemerintah, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan karenanya.

Dalam sistem ekonomi Islam yang menggunakan uang jenis ini, otoritas negara yang diberi kewenangan untuk menerbitkan uang tidak mendapatkan keuntungan seigniorage, malahan harus mengeluarkan biaya untuk pencetakannya. Jumlah uang yang diterbitkan dan ditambahkan dalam perekonomian disesuaikan dengan pertumbuhan value added-nya, sehingga secara umum dalam ekonomi Islam tidak bersifat inflatoir dan cenderung stabil.

Oleh karena itu, nilai dinar dan dirham dari dulu tidak pernah berubah. Harga seekor kambing dari dulu setara dengan 1-2 dinar, dan harga seekor ayam dari dulu juga hanya satu dirham. Dengan uang jenis ini masyarakat tidak dirugikan dengan adanya inflasi seperti yang ditimbulkan oleh penerbitan fiat money. Penggunaan fiat money hanya menguntungkan negara besar, seperti Amerika Serikat dengan US dollar-nya dan Uni Eropa dengan euro-nya, dimana mata uangnya dipergunakan secara luas diseluruh dunia. Mereka menyedot kekayaan negara lain, terutama negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, dan menukarkannya hanya dengan kertas. Sebagai contoh, dengan hanya mengeluarkan uang untuk mencetak sebesar US$1 untuk US$100, dapat dibayangkan berapa keuntungan atau seigniorage yang diperoleh oleh Amerika dari setiap lembar dollar yang dicetak. Dengan dinar dan dirham, transaksi menjadi lebih adil, dan semua negara berkedudukan seimbang.

Mahmud Abu Saud dalam bukunya “Interest Free Banking” (1976) menyatakan bahwa “kecuali kita menstandarisasi uang kita dan menstabilkan nilainya, dengan membiarkan nilai obyek yang kita ukur berfluktuasi, perekonomian tidak akan dapat dipertahankan dalam keadaan baik dan sehat”. Hanya dengan standar uang emas (dinar) dan perak (dirham) nilai mata uang bisa stabil.

b. Fractional vs 100 Percent Reserve Banking System
Fractional reserve banking system artinya bahwa bank hanya diwajibkan untuk menyimpan cadangan dalam persentase tertentu dari dana simpanan yang dihimpun. Cadangan wajib minimum perbankan bervariasi yang umumnya berada di sekitar 5% - 20%. Dengan sistem ini perbankan memiliki kemampuan menciptakan jenis lain dari fiat money, yaitu uang bank (demand deposits, termasuk uang elektronik), melalui penciptaan simpanan berlipat (multiple deposit creation). Dalam hal ini uang diciptakan ketika bank memberikan pinjaman. Sebagai ilustrasi, jika cadangan wajib ditetapkan 10%, simpanan Rp1 juta, pertama-tama dibukukan sebagai Simpanan di sisi liability dan cadangan tunai di sisi asset. Karena cadangan wajib ditetapkan 10%, maka bank dapat memberikan pinjaman sebesar Rp9 juta, sehingga total simpanan menjadi Rp10 juta.

Meera (2004) memformulasi penciptaan simpanan berlipat sebagai berikut ini:
D = 1/r xR,
Dimana,          D: perubahan dalam total simpanan
                        r: Rasio cadangan wajib, R: Perubahan dalam cadangan
Dengan angka contoh tersebut, simpanan Rp1 juta dapat menciptakan uang (simpanan) baru sembilan kali simpanan awal sebesar Rp9 juta, sehingga total simpanan menjadi Rp10 juta. Dengan demikian, fractional reserve banking system juga memberikan keuntungan seigniorage yang tidak adil bagi pihak bank yang melalui sistem ini diberi kuasa untuk menciptakan uang baru. Sekali lagi, penciptaan keuntungan tanpa adanya ‘iwad dikategorikan sebagai riba oleh Ibnu Arabi. Hal ini juga mengakibatkan daya beli uang secara agregat akan turun (atau terjadi inflasi) sesuai dengan persentase uang yang ditambahkan dalam perekonomian. Pihak yang dirugikan oleh penerbitan fiat money baru oleh bank adalah juga seluruh rakyat yang memegang uang.

Sementara itu, 100 percent reserve banking system tidak memberikan peluang bagi bank untuk menciptakan uang baru, karena 100 persen cadangan harus disimpan/dikembalikan ke bank sentral. Bank maksimum hanya dapat menyalurkan pembiayaan sampai sebesar simpanan awal saja. Dengan demikian, tidak ada daya beli baru yang diciptakan (tidak ada seigniorage), sehingga tidak mengandung unsur riba, tidak menimbulkan efek inflasi, dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Sebagai ilustrasi, simpanan Rp1 juta, pertama-tama dibukukan sebagai simpanan di sisi liability dan cadangan tunai di sisi asset. Karena cadangan wajib ditetapkan 100%, maka bank hanya dapat memberikan pinjaman sebesar Rp1 juta juga, sehingga di sisi asset cadangan berubah menjadi pinjaman Rp1 juta.

c. Sistem Bunga vs Sistem Bagi Hasil
Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), ketika pemilik modal (surplus spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila menghasilkan keuntungan dibagi berdua, apabila menderita kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi (didzalimi).

Sistem bagi hasil dapat berbentuk musyarakah atau mudharabah dengan berbagai variasinya. Ryandono (2006) memberikan ilustrasi, perbedaan prinsip yang dengan mudah dapat dikenali untuk membedakan sistem bagi hasil pada sistem ekonomi syari’ah dan sistem bunga pada sistem ekonomi konvensional adalah pada sistem return bagi nasabahnya. Bank konvensional, sistem return-nya adalah sistem bunga yaitu persentase terhadap dana yang disimpan ataupun dipinjamkan dan ditetapkan diawal transakasi sehingga berapa nilai nominal rupiahnya akan dapat diketahui besarnya dan kapan akan diperoleh dapat dipastikan tanpa melihat laba rugi yang akan terjadi nanti. Bank syari’ah sistem return-nya adalah sistem bagi hasil (profit loss sharing) yaitu nisbah (persentase bagi hasil) yang besarnya ditetapkan diawal transaksi yang bersifat fixed tetapi nilai nominal rupiahnya belum dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi nanti.
Gambar 1. Implikasi Bagi Hasil terhadap Perekonomian
Sumber: Sakti (2007)

Pada bank konvensional, nasabah akan menerima atau membayar return bersifat fixed yang disebut bunga. Bagi nasabah penabung akan mendapatan bunga yaitu persentase terhadap dana yang ditabung sedangkan bagi nasabah peminjam (debitur) akan membayar bunga yaitu persentase terhadap dana yang dipinjam oleh nasabah. Bank syari’ah, nasabah akan menerima atau membayar return bersifat tidak fixed yang disebut bagi hasil. Bagi penabung akan menerima bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari dana yang ditabung oleh nasabah yang kemudian dikelola oleh pihak bank. Peminjam (debitur) akan membayar bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh dari dana yang dipinjam oleh nasabah yang kemudian dikelolanya.

Bunga yang diterapkan pada sistem ekonomi konvensional harus tetap dibayarkan oleh pihak bank kepada nasabah walaupun bank tidak mendapatkan keuntungan atau dalam keadaan yang bagaimanapun bunga harus dibayarkan tidak melihat apakah laba atau rugi. Bagi debitur juga harus membayar tingkat bunga yang telah disepakati baik dalam kondisi laba maupun rugi. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem perbankan syari’ah yang menerapkan sistem bagi hasil, pada kondisi terjadi laba maka akan membayar tingkat persentase bagi hasil yang telah disepakati, dalam kondisi impas tidak ada pembayaran dan pada kondisi mengalami kerugian maka kerugian tersebut juga dibagi bersama antara nasabah dengan pihak bank. Dalam perbankan syari’ah hubungan antara nasabah dengan bank adalah dalam bentuk kemitraan.

Sistem syari’ah tidak ada yang dieksplotasi dan tidak ada yang mengeksploitasi, risiko yang merupakan kondisi yang tidak pasti dimasa akan datang ditanggung bersama dan apabila mendapat keuntungan yang tinggi juga dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan diawal. Mengapa demikian? Karena, ekonomi syari’ah melarang sesuatu (misalnya laba atau rugi) yang tidak pasti dimasa akan datang dibuat pasti dan ditentukan pada saat sekarang. Disi lain juga melarang sesuatu yang sudah pasti dibuat menjadi tidak pasti agar dapat melakukan spekulasi atau mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan atau merusak perekonomian secara umum.

Pada sistem perbankan konvensional seperti telah diterangkan sebelumnya dapat terjadi eksploitatori, predatori dan intimidasi. Kapan terjadi eksloitasi, predatori dan intimidasi? Eksploitasi dapat terjadi pada saat tingkat bunga tinggi dan tingkat bunga rendah. Pada saat suku bunga tinggi yang dieksploitasi adalah debitur dan ini umumnya terjadi pada kondisi ekonomi sedang berkinerja buruk.

Pada kondisi ini debitur mendapat keuntungan yang rendah atau bahkan mengalami kerugian tetapi tetap diharuskan membayar bunga yang tinggi. Pada kondisi buruk ini dapat terjadi proses predatori (yang kuat memakan yang lemah) dan intimidasi (memaksa membayar bunga walaupun tidak memungkinkan) kepada debitur. Pada kondisi kinerja ekonomi membaik umumnya suku bunga rendah maka pada kondisi ini pihak krediturlah yang dieksploitasi, debitur mendapat keuntungan yang tinggi tetapi krediur hanya mendapat bagian (bunga) yang rendah.

Praktek sistem bunga baik pada kondisi ekonomi baik maupun buruk telah terjadi ketidak adilan dalam pembagian hasil atau dengan kata lain terjadi eksploitatori, predatori dan intimidasi, ketiga karakteristik inilah yang merupakan sifat dasar dari ribawi. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah ribawi itu dihapuskan dari sistem perekonomian karena hanya akan menciptakan inefisiensi dan instabilitas dalam perekonomian.
Gambar 2. Dampak Bunga bagi Perekonomian
Sumber: Sakti (2007)
 
4. Dampak Sistem Ribawi terhadap Perekonomian
Islam telah mengharamkan riba untuk dipraktekkan dalam sistim ekonomi umatnya. Inilah yang menjadi pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Pelarangan riba dalam ekonomi Islam bukanlah tidak beralasan. Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh; Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.

Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?

Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.

Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.

Ketiga, sistem ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.

Terakhir, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Kehadiran krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.

Bagaimana skenario sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi umat, secara detail dapat disebutkan sebagai berikut. Dalam dunia perbankan yang menganut sistim ribawi tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mahu tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.

Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat.

Sikap bank seperti ini yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat. 

5. Faktor-Faktor non-Ekonomi  
Mengutip perkataan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, “Crisis for Capitalism or liberalism is, what have we seen, if that comprehensive barrier of extreme capitalism, extreme capitalism which now turn government to prevent systemic failure.” 

Krisis ekonomi, sebenarnya, tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi yang disebutkan di atas saja. Tetapi sistim pemerintahan yang berkeadilan, sistim politik, dan juga kejujuran pelaku ekonomi adalah diantara faktor lain yang sangat memainkan peranan penting dalam menstabilkan ekonomi umat. 

Sistim pemerintahan Indonesia yang sentralis, ditambah pula dengan luas wilayah negara yang besar, jelas akan mempersulit pengontrolan dan pendistribusian hasil alam secara berkeadilan. Begitu juga keadaan politik yang tidak stabil akan memperparah krisis ekonomi. Karena kedua sistim politik dan ekonomi adalah suatu sistim yang integral yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Ini tidak ubahnya seperti mata uang yang bersisi ganda, sisi gambar dan nilai. Satu sisi adalah sistim ekonomi dan sisi lain adalah sistim politik. Bila sisi ekonominya rusak, maka sisi politikpun akan hancur, begitu juga sebaliknya. 

Jadi jelas terlihat bahwa keadaan krisis politik yang tidak menentu yang dialami Indonesia sekarang telah mengakibatkan krisis ekonomi semakin sukar dipulihkan. Namun, menurut hemat penulis, ini hanya berlaku di negara-negara berkembang dan negara terbelakang saja yang, pada umumnya, tidak memiliki fundamental ekonomi yang kukuh. Seperti kita lihat di Jepang yang hampir tiap waktu terjadi pergantian Perdana Menteri serta diekori dengan krisis politik, namun keadaan ekonomi mereka tidak mengalami kegoyahan yang berarti. 

Akhirnya, krisis ekonomi Indonesia juga semakin diperparah oleh ketidakjujuran pemerintah dan pelaku bisnis lainnya yang hampir saban hari melakukan praktek KKN. Kegiatan penyeludupan (smuggling), perjudian (gambling), dan prilaku moral hazards lainnya semakin memperparah krisis ekonomi Indonesia. Begitu juga praktek monopoli yang semakin sukar diberantaskan telah menggerogoti fundamental ekonomi Indonesia. 

Melihat perkembangan ekonomi akhir-akhir ini, ternyata praktek monopoli ini terus dibiarkan pemerintah namun dalam bentuk dan komoditas yang berlainan. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengkontrol malpraktek ini, dan sikap mereka yang lebih cenderung membiarkan malpraktek ini dilakukan secara merajelala, kiranya, menjadi faktor penghalang utama proses pemulihan krisis ekonomi Indonesia.

Secara sederhana, faktor non-Ekonomi terangkum ke dalam tiga hal. Semua ini terkait dengan masalah moral, yaitu greediness, consumerism dan speculation. Ketiga hal ini sejatinya yang menimbulkan krisis keuangan global. Regulation memegang peranan peranan penting, namun ada juga unsur manusia, yaitu consumerism dan speculation. Consumerism dan speculation ini menimbulkan greediness.
a. Regulation,
Akibat kebijakan penurunan suku bunga rendah dari tahun 2001 menimbulkan peningkatan kredit tanpa dibarengi dengan pendapatan yang tinggi. 
b.      Spekulasi dan Konsumerisme
Data statististk menunjukan bahwa data M3, M2, M1 semakin menurun. Ini menggambarkan bahwa transaksi-transaksi riil semakin lemah dan transaksi yang yang sifatnya spekulatif dan bubble meningkat. Dari sisi konsumerisme, pada saat saving rate mereka turun, kredit (konsumerisme) mereka yang naik. 
c.       Greediness
Greediness adalah keserakahan yang ditimbulkan akibat dari kelemahan moral manusia yang semakin materialis.   

Jadi secara gamblang kita paham bahwa ada beberapa pangkal/sumber terjadinya krisis moneter global. Ada yang berasal dari masalah sistem (systemic problem), seperti: berakarnya bunga, unsur fiat money dan sistem cadangan sebagian bank, ada pula yang bermula dari akibat kesalahan manusia (human error) seperti: ketamakan, keserakahan, spekulasi dan konsumerisme. Jika kedua akar masalah tersebut bertemu, maka sempurna sudah dampak krisis yang terjadi. 

6. Kesimpulan  
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi terbaik untuk menghindarkan krisis ekonomi berlaku. Ekonomi Islam yang terbebas dari nilai-nilai bunga (riba), tenyata terbukti merupakan sebagai rahmat Allah swt yang sering terlupakan dalam mengatasi krisis ekonomi. Di samping bahaya bunga (riba) dan hutang luar negeri terhadap perjalanan ekonomi sesebuah negara, ternyata nilai-nilai akhlaqul karimah pemerintah dan pelaku bisnis sangat memainkan peranan penting dalam usahanya untuk menghindari dan mengatasi krisis ekonomi umat. Wallahu'alam bissawab.
 
 
Referensi
Amin, A. Riawan, (2007), Satanic Finance. Jakarta: Celestial Publishing.
Ascarya, (2007), Sistem Keuangan dan Moneter Islam, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia.
Chapra, M. Umer, (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, Terjemahan. Jakarta: Gema Insani Press.
________________­_, (2000), Sistem Moneter Islam, Terjemahan. Jakarta: Gema Insani Press.
Majid, Shabri, (2006), “Krisis Ekonomi dan Solusi Ekonomi Islam”. Paper.
Proceeding Seminar Akhir Tahun Perbankan Syariah 2008. Bank Indonesia.
Sakti, Ali, (2007), Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing.
Siregar, Mulya, E., 2001, “Manajemen Moneter Alternatif dan Penerapannya di Indonesia”, Dalam: Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter, Jakarta: SEM Institute




[1] Shabri Madjid, 2006.
[2] Ascarya, Kertas kerja PPSK Bank Indonesia, “Optimalisasi Sistem Moneter Ganda di Indonesia”, 2007.


Klik suka di bawah ini ya