Telaah Pemikiran Ekonomi Maqrizi tentang Inflasi


ABSTRACT

Salah satu problem penting yang dihadapi ekonomi dunia hingga kini adalah masalah inflasi. Secara sederhana inflasi berarti naiknya harga barang dari keadaan lazimnya. Ternyata, jauh sebelum pemikiran ekonomi para ahli layaknya Friedman, Fisher, Keynes, dan para ekonom dunia lain tentang inflasi dan perkara moneter lain, dunia Islam telah lebih awal mempunyai tokoh yang concern di bidang ini. Taqiyuddin Abul Abbas Al-Husaini dari Maqarizah, Kairo. Atau lebih dikenal dengan sebutan Al-Maqrizi. Maqrizi mengatakan di beberapa bagian bukunya bahwa inflasi secara umum terbagi dua, yakni Natural Inflation dan Human Error Inflation. Tulisan ini akan mencoba mengkomparasi beberapa pemikirannya –lebih spesial masalah inflasi- dengan pendapat dan konsep positivistik konvensional dalam bidang yang serupa.

Kata Kunci: Inflasi, Moneter, Al-Maqrizi
JEL: B15, B22, E31




A. Pendahuluan
Bahwa salah satu permasalahan ekonomi kontemporer yang ilmu ekonomi sendiri tak mampu menginterpretasikan secara jelas dan tepat, serta memberikan solusi yang tepat untuk mencegah terjadinya dampak negatif, adalah masalah inflasi mata uang. Bahkan ketidakmampuan ini telah diakui oleh pakar-pakar ekonomi Barat sendiri. Profesor Moris Elih mengatakan bahwa problem terbesar yang dihadapi oleh perekonomian pasar Barat yang tak terselesaikan hingga sekarang adalah pergolakan ekonomi dan perubahan-perubahan nilai harga asli mata uang. Fakta membuktikan bahwa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat datang dari perubahan dan perbedaan bentuk income yang timbul dari perubahan nilai harga asli mata uang.
Lebih jauh lagi dari hal tersebut, bencana yang paling ditakuti oleh para investor di pasar uang dan pasar modal adalah dua kondisi ekstrem pada kebijakan moneter, yaitu inflasi dan deflasi. Para pengamat memberikan definisi inflasi sebagai suatu kemerosotan nilai mata uang karena terlalu banyak uang beredar sehingga harga barang dan jasa menjadi naik. Dalam ekonomi, inflasi juga dapat didefinisikan sebagai peningkatan dari tingkat harga umum secara persisten dan terus-menerus. Nol atau inflasi sangat rendah disebut kestabilan harga. Dalam beberapa penggunaan, inflasi digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang, yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Beberapa ekonom (dari Austria) masih menggunakan arti ini, dan bukan peningkatan harga-harga.
Berbagai kajian dan penelitian tentang pemikiran ekonomi Al-Maqrizi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak pada umumnya lebih menyangkut pada aspek kesejarahan dan ide serta pemikirannya tentang kebijakan moneter secara umum. Sedangkan pada penelitian ini penulis mencoba menganalisis lebih jauh pemikiran ekonomi Taqiyuddin Al-Maqrizi khususnya tentang luar-dalam, kiri-kanan permasalahan inflasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan antara konsep dan teori inflasi seorang ekonom Muslim –dalam hal ini pemikiran ekonomi Al-Maqrizi- dengan konsep positivistik konvensional yang dipegang ahli ekonomi Barat tentang hal serupa. Tulisan yang merupakan penelitian sederhana ini adalah penelitian studi pustaka atau studi literatur dengan menggunakan data-data sekunder yang telah dipublikasikan, terdiri dari: buku referensi, artikel-artikel dan karya ilmiah lain. Tulisan ilmiah berupa paper ini pun mencoba menggunakan metoda komparasi.

B. Landasan Teori
1. Definisi dan Tipe Inflasi
            Inflasi adalah keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli. Inflasi sering pula diikuti menurunnya tingkat tabungan dan atau investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan hanya sedikit untuk tabungan jangka panjang. 
            Inflasi dapat digolongkan pada beberapa cara. Cara pertama, inflasi dapat digolongkan menurut besarnya. Budiono[1] mengelompokkan inflasi menjadi empat:
1.      Inflasi ringan (inflasi di bawah 10% per tahun)
2.      Inflasi sedang (antara 10%-30%)
3.      Inflasi berat (antara 30%-100%)
4.      Hiperinflasi (di atas 100% per tahun)
Samuelson dan Nordhaus dalam Djohanputro mengkategorikan inflasi menjadi tiga[2]:
1.      Low inflation, atau disebut juga inflasi satu digit (single digit inflation), yaitu inflasi di bawah 10%. Inflasi ini masih dianggap normal. Dalam rentang inflasi ini, orang masih percaya pada uang dan masih mau memegang uang.
2.      Galloping inflation atau double digit bahkan triple digit inflation, yang didefinisikan antara 20%-200% per tahun. Inflasi seperti ini terjadi karena pemerintahan yang lemah, perang, revolusi, atau kejadian lain yang menyebabkan barang tidak tersedia, sementara uang berlimpah sehingga orang tidak percaya pada uang.
3.      Hyper inflation, yaitu inflasi di atas 200% per tahun. Dalam keadaan seperti ini, orang tidak percaya pada uang. Lebih baik membelanjakan uang dan menyimpan dalam bentuk barang daripada menyimpan uang. Mengapa? Karena kebanyakan barang seperti emas, tanah, bangunan, mengalami kenaikan harga yang setara (bahkan bisa lebih tinggi) dari inflasi.
Pengelompokkan inflasi cara kedua adalah berdasarkan sumber inflasi. Dengan cara ini, inflasi dapat digolongkan menjadi dua jenis inflasi yang berbeda satu sama lain, yaitu[3]:
1.      Inflasi karena dorongan biaya (cost-push inflation), dan
2.      Inflasi karena meningkatnya permintaan (demand-pull inflation).
Dalam hal inflasi karena dorongan biaya, kenaikan upah memaksa industri untuk menaikkan harga guna menutup biaya upah dalam kontrak yang baru yang mengakibatkan adanya pola siklus upah dan harga yang lebih tinggi yang disebut spiral harga upah (wage price spiral). Dalam hal inflasi karena meningkatnya permintaan, permintaan yang tinggi atas kredit merangsang pertumbuhan produk nasional bruto yang selanjutnya menarik harga lebih lanjut ke atas. Beberapa ahli percaya bahwa inflasi yang demand-pull ini, dapat dikendalikan melalui kombinasi kebijakan bank sentral dan kebijakan Departemen Keuangan, misalnya kebijakan uang ketat oleh bank sentral dan pengendalian pengeluaran oleh pemerintah. Inflasi karena dorongan biaya (cost-push) diduga dapat lebih baik dikendalikan melalui pertambahan tingkat pertumbuhan perekonomian daripada via kebijakan moneter atau fiskal.
            Pengelompokan inflasi ketiga berdasarkan asal inflasi, dapat dibagi menjadi dua:
1.      Inflasi bersumber domestik (domestic inflation), yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Misalnya, permintaan meningkat untuk barang, maka terjadi demand-pull inflation yang bersumber dari dalam negeri.
2.      Inflasi bersumber luar negeri (foreign/imported inflation), yaitu inflasi yang bersumber dari luar negeri. Misalnya terjadi lonjakan permintaan ekspor secara terus-menerus, maka terjadi demand-pull inflation yang bersumber dari luar negeri.
Pengelompokkan inflasi cara keempat adalah berdasarkan harapan masyarakat, yang dapat dikategorikan menjadi dua:
1.      Inflasi harapan (expected inflation), yaitu besar inflasi yang diharapkan atau diperkirakan akan terjadi.
2.      Inflasi bukan harapan (unexpected inflation), yaitu inflasi yang tidak diperkirakan akan terjadi.
Ada juga sebagian ahli yang melihat dan membagi inflasi dari segi keparahannya. Dari segi ini, inflasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu:
1.      Inflasi moderat, jika laju inflasi di bawah 10% per tahun.
2.      Inflasi ganas, jika laju inflasi berkisar antara 10%-99% per tahun.
3.      Inflasi hiper, apabila laju inflasi di atas 100%.
2. Dampak Inflasi
            Inflasi berdampak pada perekonomian. Menurut Samuelson dan Nordhaus[4], inflasi berdampak terhadap beberapa hal: redistribusi dan distorsi.
1.      Redistribusi pendapatan dan kekayaan. Salah satunya adalah redistribusi dari kreditur ke debitur.
2.      Distorsi harga. Menurut Samuelson dan Nordhaus, pada inflasi rendah membuat pembeli dan penjual menyadari inflasi tersebut dan bisa membedakan perbedaan inflasi antarbarang yang saling substitusi (misalnya daging dengan telur). Jadi, bila inflasi daging lebih tinggi, orang beralih ke telur.
3.      Distorsi penggunaan uang. Setiap orang mengubah cara menggunakan uang. Karena inflasi berarti menurunkan nilai riil uang, orang cenderung meminimalisasi jumlah uang yang dipegang.
4.      Distorsi pajak. Semakin tinggi inflasi, semakin tinggi beban pajak secara riil.
            Selain pembagian inflasi yang tersebut di atas, ada pula yang dikenal dengan jenis inflasi inersia, atau ekspektasi inflasi. Inflasi inersia adalah kecenderungan bahwa setiap tahun (atau setiap periode) orang percaya akan terjadi inflasi. Penduduk negara-negara maju, misalnya, percaya bahwa inflasi diperkirakan 3% per tahun. Negara industri baru semisal Korea Selatan dan Singapura diperkirakan memiliki tingkat inflasi sebesar 2%. Sedangkan negara berkembang memiliki tingkat inflasi sekitar 7%. Inflasi inersia juga disebut inflasi harapan (expected inflation). Di luar itu, sebenarnya ada unexpected inflation. Inflasi jenis ini bisa negatif dan bisa pula positif. Unexpected inflation terjadi jika ada kejutan.
3. Evolusi Teori
            Inflasi sebagai sasaran utama dan indepensi bank sentral sebagai pengendali inflasi merupakan landasan dari target inflasi. Konsep target inflasi ini merupakan produk dari evolusi teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris. Teori-teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan konsep ini meliputi teori klasik hingga teori modern.
a. Teori Klasik vs Teori Keynes
Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan menurut teori Keynes, sektor moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga. Berdasarkan perkembangan teori dan pengalaman empirik, disimpulkan bahwa dalam jangka panjang teori yang sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan dalam jangka pendek teori Keynes lebih tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai dampak permanen pada tingkat harga umum (inflasi). Dengan kata lain bahwa pembenahan sektor ekonomi dapat dilakukan dengan cara pengendalian inflasi.
b. Teori Klasik Modern vs Teori Keynes
Salah satu penganut teori klasik modern, Milton Friedman, mengemukakan bahwa kebijakan rule lebih baik dibanding discretion. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori Keynes. Kemudian, untuk menentukan pilihan atas rule versus discretion, target inflasi menawarkan suatu framework yang mengkombinasikan keduanya secara sistematis, yang disebut dengan constrained discretion. Karena pada dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang murni rules ataupun murni discretion.  
c. Teori Kuantitas vs Teori Keynes
Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran, karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.
d. Teori Rational Expectations
Teori rational expectations menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran penting, karena mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan. Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, karena setelah ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah yang menjadi kunci keberhasilan yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi dalam kebijakan moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat.
e. Teori Moneter Modern.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori moneter modern memasukkan aspek kredibilitas yang bersumber dari masalah time inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.

C. Konsep Al-Maqrizi tentang Inflasi
1. Profil Singkat
            Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Abdul Qadir Al-Husaini lahir di Barjuwan, Kairo, pada 766 H[5]. Keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak. Karena itu, ia lebih banyak dikenal dengan sebutan Al-Maqrizi. Kondisi keluarga yang serba kecukupan membuat Al-Maqrizi kecil harus menjalani pendidikan dengan berada di bawah tanggungan kakeknya, Hanafi ibnu Sa’igh, penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya wafat pada 786 H (1384 M), Al-Maqrizi beralih ke mazhab Syafi’i. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia menjadi condong ke arah mazhab Dzahiri.
            Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia gemar melakukan perjalanan intelektual. Ia mempelajari bermacam disiplin ilmu: fiqh, hadits, dan sejarah, dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di antara tokoh terkenal yang amat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun, seorang ulama besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi. Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai saat Abu Al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung (Qadi Al-Qudat) mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Barquq (784-801 H).
            Saat berumur 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan Dinasti Mamluk. Pada 788 H, Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya, semacam sekretaris negara. Lalu ia diangkat menjadi wakil qadi pada kantor hakim agung mazhab Syafi’i, khatib di Masjid Jami ’Amr dan Madrasah Sultan Hasan, Imam Masjid Jami Al-Hakim, dan guru hadits di Madrasah Al-Muayyadah. Pada tahun 791 H, Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib, semacam pengawas pasar, di Kairo. Jabatan tersebut diemban selama dua tahun. Pada masa ini, Al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan, dan mudharabah, sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, dan kaidah-kaidah timbangan.
            Pada 811, Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus. Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadits di Madrasah Asyrafiyyah dan Madrasah Iqbaliyyah. Kemudian, Sultan Al-Malik Nashir Faraj bin Barquq (1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil pemerintah Dinasti Mamluk di Damaskus. Namun, tawaran ini ditolaknya. Hampir 10 tahun menetap di Damaskus, Al-Maqrizi kembali ke Kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah dan menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H, bersama keluarga, ia menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadits dan menulis sejarah. Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya, Barjuwan, Kairo. Di sini ia juga aktif mengajar dan menulis, terutama sejarah Islam, hingga terkenal sebagai seorang sejarawan besar pada abad ke-9 Hijriyah. Al-Maqrizi wafat di Ibu Kota negara Mesir itu pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M.
            Al-Maqrizi terletak pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam. Sebuah fase yang mulai terlihat indikasi menurunnya eskalasi kegiatan intelektual yang inovatif dalam Dunia Islam. Dasar kehidupan Maqrizi yang asufistik atau fisuf dan relatif didominasi aktivitasnya sebagai sejarawan Muslim, amat berpengaruh terhadap corak pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa memandang setiap soal dengan flash back dan mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu negara dengan memfokuskan perhatiannya pada beberapa hal yang mempengaruhi naik-turunnya pemerintahan. Hal ini berarti bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi Maqrizi cenderung positif. Satu hal yang jarang dan unik pada fase kedua yang notabene didominasi pemikiran yang normatif.
            Lebih lanjut lagi, Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Fokus perhatian Maqrizi terhadap dua aspek ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai Islam yang dilakukan oleh para kepala pemerintahan Bani Umayyah dan selanjutnya.
2. Teori Inflasi a la Al-Maqrizi
            Manusia adalah anak zamannya. Pernyataan ini tepat sekali dengan apa yang dialami Al-Maqrizi. Dengan kondisi fakta bencana kelaparan yang terjadi di Mesir, Al-Maqrizi menyatakan bahwa peristiwa inflasi adalah sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat di seantero dunia dulu, kini, hingga masa mendatang. Inflasi menurutnya terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Pada saat ini, persediaan barang dan jasa mengalami kelangkaan dan konsumen, karena sangat membutuhkannya, harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang dan jasa yang sama. Al-Maqrizi membahas problematika inflasi secara lebih detail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke dalam dua hal, yakni: (a) Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (Natural Inflation), dan (b) Inflasi akibat kesalahan manusia (Human Error Inflation).
a. Inflasi Alamiah
            Inflasi ini disebabkan oleh berbagai faktor natural yang sulit dihindari manusia. Menurut Al-Maqrizi, saat suatu bencana alam terjadi, berbagai bahan makanan dan hasil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persediaan barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis dan terjadi kelangkaan. Di lain pihak, karena sifatnya yang sangat signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu mengalami peningkatan. Harga-harga kemudian membumbung tinggi, jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini sangat berimplikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan keadaan mereka.
            Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sekalipun suatu bencana telah berlalu, kenaikan harga-harga tetap berlangsung. Hal ini merupakan implikasi dari bencana alam sebelumnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi, terutama di sektor produksi, mengalami kemacetan. Saat situasi telah normal, persediaan barang-barang yang signifikan seperti benih padi, tetap tidak beranjak naik, bahkan tetap langka. Sedangkan permintaan terhadapnya meningkat tajam. Akibatnya, harga barang-barang ini mengalami kenaikan yang kemudian diikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja.
b. Human Error Inflation
            Selain faktor alam, Al-Maqrizi menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi akibat kesalahan manusia. Ia menganalisis, ada tiga hal utama yang baik secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama menjadi penyebab terjadinya inflasi. Ketiga hal tersebut adalah: (1) Korupsi dan Administrasi yang Buruk, (2) Pajak yang Berlebihan, dan (3) Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus. Bab berikut ini akan mencoba memaparkan relevansi antara konsep inflasi milik Al-Maqrizi dengan konsep modern positivistik, sembari mencari dan membandingkan konsep manakah yang lebih komprehensif dan tepat, dengan menggunakan metoda analisis komparatif.

D. Relevansi dengan Teori Modern (Analisis Komparatif)
Ekonom modern Barat umumnya membagi penyebab inflasi ke dalam dua bagian, yaitu: (1) Cost push inflation, dan (2) Demand pull inflation. Sedangkan Maqrizi ke dalam dua hal yang lebih spesifik, yaitu: (1) Natural inflation, dan (2) Human Error Inflation. Tampak bahwa Al-Maqrizi lebih memahami apa yang sebenarnya mengakibatkan inflasi, karena baik inflasi yang disebabkan oleh sebab-sebab alamiah maupun inflasi karena ulah kesalahan manusia, keduanya dapat berbentuk cost push maupun demand pull.
1. Teori “Quantity of Money” Milik Siapa?

MV = PT = Y

Ketika berbicara tentang pembagian inflasi berupa Natural Inflation atau Inflasi Alamiah, maka jika didekati dengan perangkat analisis konvensional, yakni Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money) yang dikemukakan oleh Irving Fisher:

Di mana:         M = jumlah uang beredar (money)
                        V = kecepatan peredaran uang (velocity)
                        P = tingkat harga (price)
                        T = jumlah barang dan jasa (kadang juga dipakai notasi Q)
                        Y = tingkat pendapatan nasional (GDP)
Inflasi Alamiah a la Maqrizi dapat diartikan sebagai:
1.      Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian (T). Misal T turun sedangkan M dan V tetap, maka konsekuensinya P akan naik,
2.      Naiknya daya beli masyarakat secara riil. Misalnya nilai ekspor lebih besar daripada impor, sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M naik sehingga jika V dan T tetap maka P akan naik.
2. Natural Inflation dianalisis dengan Persamaan AD dan AS

AD = C + I + G + (X-M)

Lebih jauh, andai dianalisis dengan persamaan agregatif, di mana:

Serta: Y = pendapatan nasional
            C = konsumsi
            I = investasi
            G = pengeluaran pemerintah
            X-M = ekspor bersih
Dari berbagai persamaan yang telah diturunkan di atas, maka Natural Inflation akan dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya menjadi dua golongan:
1.      Akibat uang yang masuk dari luar negeri terlalu banyak (umumnya berbentuk uang cash atau aset tidak produktif lainnya seperti barang-barang mewah), di mana ekspor naik sedangkan impor cenderung turun atau tetap, sehingga mengakibatkan net ekspor nilainya menjadi sangat besar, maka akan berakibat pada naiknya Permintaan Agregatif (AD naik) di dalam negeri. Hal ini pernah terjadi saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Pada masa itu kafilah yang menjual barangnya di luar negeri, membeli barang-barang dari luar negeri lebih sedikit nilainya daripada nilai barang-barang yang mereka jual (positive net export). Akibatnya mereka membawa pulang uang kelebihannya ke Madinah sehingga kemudian meningkatkan daya beli masyarakat (AD naik). Naiknya Permintaan Agregatif tersebut yang pada gambar dilukiskan sebagai kurva AD yang bergeser ke kanan (AD naik), di mana hal itu mengakibatkan terjadinya kenaikan tingkat harga secara umum. (P naik)
Apa yang lantas dilakukan oleh Umar? Beliau melarang penduduk Madinah untuk membeli barang-barang atau komoditi selama lebih kurang dua hari berturut-turut. Akibatnya jelas, yaitu terjadinya penurunan permintaan terhadap komoditas di pasar secara umum yang akan berakibat pada turunnya Permintaan Agregatif (AD turun) dari perekonomian. Setelah pelarangan tersebut berakhir, tingkat harga kembali menjadi normal.
2.      Akibat dari turunnya tingkat produksi (AS turun) karena terjadinya paceklik, perang, ataupun embargo ekonomi. Hal ini juga sempat pula terjadi di masa pemerintahan Khalifah Umar, yaitu pada saat terjadi paceklik yang mengakibatkan kelangkaan gandum. Hal tersebut dapat dilukiskan pada gambar sebagai kurva AS yang bergeser ke kiri (AS turun), yang kemudian mengakibatkan naiknya tingkat harga.
Apa yang dilakukan oleh Umar r.a.? Beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan impor biji gandum dari Fustat (Mesir). Tindakan tersebut secara langsung mengakibatkan Penawaran Agregatif (AS) dalam perekonomian akan kembali meningkat (AS naik) karena persediaan komoditas yang ada di pasar kembali meningkat sehingga berakibat pada turunnya tingkat harga secara umum (P turun).
3. High Cost Economy Corruption dan Red Tape
Jika melihat persamaan AS=AD serta persamaan MV=PT, akan jelas terlihat bahwa korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk akan menyebabkan kontraksi pada kurva Penawaran Agregatif (AS turun). Pada dasarnya, korupsi akan mengganggu tingkat harga (P naik) karena para produsen harus menaikkan harga jual dari komoditas yang diproduksinya untuk menutupi ‘biaya siluman’ yang telah mereka keluarkan tersebut. Dimasukkannya biaya tersebut berdampak pada COGS (Cost Of Goods Sold). Hal ini akan mengakibatkan COGS menjadi tidak merefleksikan nilai dari sumber daya sebenarnya yang terpakai atau digunakan dalam proses produksi. Harga yang terjadi menjadi terdistorsi oleh komponen yang seharusnya tidak ada sehingga lebih lanjut lagi akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Ujungnya akan terjadi inefisiensi alokasi sumber daya yang akan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Selain menjadi penyebab dari inefisiensi alokasi sumber daya dan ekonomi biaya tinggi, korupsi dan administrasi yang buruk juga jika terus dibiarkan akan menyebabkan ‘kanker’ yang amat membahayakan perekonomian secara makro yang akan membawa pada keterpurukan Spiral ataupun Hyper Inflation yang amat berbahaya dan mengerikan.
4. Fenomena Hiperinflasi dan Krisis Ekonomi
Jika kita mencermati fenomena inflasi yang amat tinggi (hiperinflasi) di beberapa kawasan di dunia, ternyata Al-Maqrizi telah jauh lebih dahulu memiliki konsep matang yang bisa menjelaskan peristiwa tersebut. Sebut saja misalnya pengalaman krisis moneter dan inflasi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada sekitar tahun 1997-1998. Sebagai umpama, di Indonesia, beberapa pakar ekonomi setelah melakukan analisis, ternyata menyimpulkan bahwa beberapa penyebab krisis adalah: adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat praktek Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), tidak konsistennya kebijakan yang dijalankan pemerintah RI, pengaruh globalisasi ekonomi yang tidak sehat, ditambah dengan kemarau panjang dan rawan pangan di beberapa daerah seperti: Jayawijaya (Irian Jaya), Donggala (Sulawesi Selatan), Grobogan, Boyolali, dan daerah lain[6]. Ini sangat sesuai dengan konsep yang diutarakan Al-Maqrizi –baik Natural Inflation maupun Human Error Inflation. Belum lagi pengalaman di negara dan kawasan lain yang mengalami krisis ekonomi yang mengindikasikan kesesuaian konsep yang ditawarkan Maqrizi dengan fakta di lapangan. Sungguh benar-benar pengamatan yang jeli, tepat dan presisif.

E. Penutup
Setelah diadakan pengamatan dan penelusuran secara lebih mendalam tentang masalah ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
·           Terbukti, pemikiran ekonomi Al-Maqrizi tentang inflasi lebih komprehensif dibanding konsep yang ditawarkan ekonom Barat. Salah satu alasannya adalah karena baik inflasi yang disebabkan oleh nature/alami maupun inflasi ulah manusia, keduanya dapat berbentuk cost push maupun demand pull inflation.
·           Al-Maqrizi ternyata lebih dulu jeli dan paham, khususnya hal-hal terkait moneter (jauh lebih mendahului Bapak Moneteris “Irving Fisher”). Ini diindikasi dari konsep-konsepnya: Quantity of Money Fisher, Kurva Agregatif Demand dan Supply, Konsep Dead Weight Loss, Dampak buruk Excessive Tax, hingga analisa Korupsi yang menyebabkan High Cost Economy sebuah negara.
·           Setelah diadakan telaah dan analisis sederhana ini, penulis menyarankan perlunya penelaahan lebih lanjut dan intens terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi Maqrizi, khususnya hal-hal yang menyangkut permasalahan moneter (mata uang dan inflasi).

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Diro. Runtuhnya Rezim daripada Soeharto. Bandung: Pustaka Hidayah. 1999.
Boediono. Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar ilmu ekonomi No. 5, Edisi Ketiga, Yogyakarta: BPFE. 1985.
Chapra, M. Umer. Sistem Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 2001.
Djohanputro, Bramantyo. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit PPM. 2006.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.
Karim, Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi pertama. IIIT Indonesia. 2002.
Mankiw, N. Gregory. Teori Makroekonomi Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2003.
Manurung, Mandala. Prathama Rahardja. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta: FEUI. 2004.

 (Tulisan ini telah dimuat pada Jurnal Kordinat Kopertais Jakarta, Vol X, No 1, April 2009)



[1] Boediono. Ekonomi Moneter: Seri Sinopsis Pengantar ilmu ekonomi No. 5, Edisi Ketiga, Yogyakarta: BPFE. 1985.
[2] Djohanputro, Bramantyo. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit PPM. 2006.
[3] Manurung, Mandala. Prathama Rahardja. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta: FEUI. 2004.
[4] Djohanputro, Bramantyo. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit PPM. 2006.
[5] Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.
[6] Aritonang, Diro. Runtuhnya Rezim daripada Soeharto. Bandung: Pustaka Hidayah. 1999.

Klik suka di bawah ini ya