Pemberdayaan Masyarakat a la Grameen: Kritik Ekonomi Islam

ABSTRAKSI

Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan bank maupun lembaga mikro. Lembaga keuangan mikro yang saat ini sedang fenomenal adalah Grameen Bank (GB) yang diprakarsa Muhammad Yunus di Bangladesh. Setelah Yunus mendapat Nobel Perdamaian dari PBB, Grameen kemudian mendunia.
Tulisan ini mencoba untuk menelisik lebih jauh tentang Model Pemberdayaan Masyarakat Grameen, dampak positif-negatif hingga pandangan Ekonomi Islam tentangnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sisi positif GB nampak jelas terlihat, meski beberapa hal tidak sejalan dengan prinsip ekonomi Islam: bunga yang relatif tinggi dan womensentris. 

JEL Classification: G23, G28, I32
Keywords: Pemberdayaan Masyarakat, UKM, Grameen, Ekonomi Islam



I. PENDAHULUAN
Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya.
Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan selama ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah orang miskin semakin banyak, gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, pun semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan konyolnya pembangunan juga merusak lingkungan hidup.
Pemberdayaan amat dekat dengan konsep kemiskinan. Kemiskinan biasanya dikenali dari ketidakmampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut menjadi miskin. Di sebagian negara sedang berkembang, kemiskinan merupakan salah satu masalah utama dalam pembangunan ekonomi selain masalah pendapatan per kapita dan angka pengangguran. Di Indonesia misalnya, pengalaman krisis ekonomi yang melanda pada medio 1997 menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta jiwa menjadi 49,5 juta pada 1998. Namun seiring dengan membaiknya perekonomian, pada Agustus 1999 turun lagi menjadi 37,5 juta jiwa (18,2% dari jumlah penduduk) dengan proporsi 12,4 juta jiwa berada di daerah perkotaan dan 25,1 juta ada di pedesaan. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah bertambahnya jumlah rumah tangga miskin di pedesaan maupun perkotaan, rusaknya struktur sosial karena kehilangan pekerjaan dan kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pendidikan dan kesehatan dasar.
Berikut di bawah ini adalah data dan fakta jumlah kemiskinan berikut juga pengangguran di Indonesia yang berhasil dihimpun dari tahun 1992 hingga tahun 2008 lalu.
Gambar 1.1 Angka Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia

Beberapa konsep kemiskinan adalah (1) garis kemiskinan yang dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi mininum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan primer—indikasinya adalah 2 per 3 pendapatan habis untuk makan, (2) kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut menjadi fenomena negara-negara dunia ketiga yang ditandai oleh keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keluarga berada di atas garis kemiskinan tetapi rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan. (3) kemiskinan massal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang melanda satu negara atau wilayah dan hal ini membuatnya menjadi kompleks dalam proses mengatasinya.
Sedangkan Chamber (1983) dalam Mubyarto (2004) berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi –berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan access pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumber daya rakyat, inflasi, pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.
Kata “empower” atau “berdaya” dalam kamus bahasa ditafsirkan sebagai “berkontribusi waktu, tenaga, usaha melalui kegiatan-kegiatan berkenaan dengan perlindungan hukum”, “memberikan seseorang atau sesuatu kekuatan atau persetujuan melakukan sesuatu”, “menyediakan seseorang dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk melakukan sesuatu” atau “membuat sesuatu menjadi mungkin dan layak”. Pada kamus yang lain pengertian menjadi “memberikan seseorang rasa percaya diri atau kebanggaan diri”. Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyasrakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan.
Paper ini bertujuan mengamati model-model pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia berikut karakteristik khusus dan keunikan yang dimilikinya, terutama model pemberdayaan ala Grameen Bangladesh yang direplikasi di Indonesia, dan bagaimana Islam memandangnya. Tulisan ini adalah penelitian studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dengan menggunakan data-data sekunder yang telah dipublikasi, terdiri dari: buku referensi, artikel, paper dan karya ilmiah lain, dan studi lapangan dengan langsung menggali informasi tentang model pemberdayaan masyarakat miskin utamanya model Grameen.
II. TEORI
II.1. Sejarah Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.
Beberapa literatur menyebutkan, bahwa konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 atau zaman renaissance, yaitu saat orang mulai mempertanyakan diterminisme keagamaan. Jika pemberdayaan dipahami sebagai upaya untuk melawan diterminisme gereja, maka pendapat bahwa gerakan pemberdayaan muncul di abad pertengahan barangkali benar.
Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa. Karena kekurangtepatan pemahaman mengenai pemberdayaan, maka dalam wacana praktik pembangunan, pemberdayaan dipahami secara beragam. Yang paling umum adalah pemberdayaan disepadankan dengan partisipasi. Padahal keduanya mengandung pengertian dan spirit yang tidak sama.

II.2. Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang dikotomis ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, Power to nobody adalah kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to powerless.
Pemberdayaan dapat di ukur dengan menggunakan lima parameter (womens empowerment dari Sarah Longwe, yakni: (a) Kuasa/kekuasaan, (b) Partisipasi, (c) Kesadaran kritis, (d) Akses atas sumber daya, dan (e) Kesejahteraan. Pemberdayaan ini pada gilirannya adalah upaya untuk nmengubah atau meningkatakan kondisi yang berkaitan dengan semua unsur tersebut, yang saling menunjang dan bergerak menyerupai spiral (Hafidz dan Budiharga, 2004).
Sumber: Hafidz dan Budiharga (2004)
Gambar 2.1 Spiral Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Karl Marx, pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik. Kalau menurut Marx, pemberdayaan adalah pemberdayaan masyarakat, maka menurut Fiedmann, pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah. Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan mengenai pengertian pemberdayaan yang pada prinsipnya adalah bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat diformulasikan secara generik.
Menurut Hafidz dan Budiharga (2004), pendampingan rakyat tidak hanya sekedar upaya peningkatan akses terhadap sumber daya dan meningkatkan kesejahteraan. Lebih dari itu, pendampingan rakyat adalah suatu proses yang mengupayakan agar kedua hal itu bisa didapat dan terus berlangsung. Proses pendampingan rakyat, sebagaimana dipahami, mengharuskan anggota kelompok yang didampingi untuk terlibat sebagai partisipan dalam proses. Mereka tidak bisa hanya menjadi penerima pasif dari kegiatan pendampingan atau proyek, tetapi harus dapat meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk memahami dan memecahkan permasalahan mereka.
Lebih jauh, pemberdayaan tidak akan terjadi secara sungguh-suungguh jika mengabaikan permasalahan gender. Dalam hal ini peningkatan kesejahteraan dan akses atas sumberdaya tidak boleh justru menimbulkan kekerasan fisik atau marginalisasi (peminggiran atau pemiskinan), atau pun penambahan beban atas salah satu jenis kelamin atau lainnya. Kesadaran kritis, partisipasi dan kuasa yang bertambah juga harus dapat menghilangkan stereotipe dan subordinasi gender. Dengan kata lain, terpenuhinya kebutuhan praktis dan strategis seseorang atau sekelompok orang haruslah dilakukan bersamaan dengan perubahan pada pembagian beban, kuasa (tidak ada subordinasi), meratanya peluang, hilangnya perlakuan kekerasan, dan stereotipe antara laki-laki dan perempuan.
Tabel 2.1 Kerangka Pemberdayaan Masyarakat
Tingkat Pemberdayaan
Uraian
Langkah Pemberdayaan
Permasalahan

 

 

Kuasa

Tingkat tertinggi dari keadilan dan pemberdayaan
Perwakilan setara, peran aktif dalam pembangunan, diakuinya sumbangan per se, membangun tujuan yang luhur
Bagaimana kegiatan yang ada dapat dipertahankan dan mengembangkannya ke tingkat yang lebih tinggi

Partisipasi

Perempuan dan lelaki telah mencapai tingkatan dimana mereka dapat mengambil keputusan bersama secara sama
Pengorganisasian, bekerja dalam kelompok, suara dan kepentingannya semakin didengar dan diperhatikan
Cara apa yang harus digunakan?

Penyadaran
Kesadaran bahwa permasalahan yang dihadapi bersifat struktural dan berasal dari adanya diskriminasi yang melembaga
Kesadaran bahwa perubahan takkan terjadi jika bukan mereka sendiri yang mengubah & bahwa peran mereka sangat penting
Apa yang harus dilakukan?

Akses
Menyangkut kesetaraan dalam akses terhadap sumber daya dan manfaat yang dihasilkan oleh adanya sumber daya
Kesadaran bahwa tidak adanya akses merupakan penghalang  terjadinya peningkatan kesejahteraan
Mengapa kita mempunyai permasalahan?

Kesejahteraan
Menangani hanya kebutuhan dasar tanpa mencoba memecahkan penyebab struktural yang jadi  masalah
Pemberdayaan mencakup kehendak  untuk memahami permasalahan yang dihadapi dan kebutuhan diri
Apakah permasalahan kita?
Sumber: Hafidz dan Budiharga (2004)

 III. MODEL PEMBERDAYAAN
Berikut ini adalah beberapa model pemberdayaan masyarakat kecil di Indonesia, yakni: Model Grameen Bank, Model Inkubator, Community based Development, hingga Model BMT Kube.
III.1. Pemberdayaan Masyarakat Model Grameen Bank
Konsep Grameen, berasal dan berkembang dari negeri Bangladesh. Bangladesh dengan penduduk 132 juta orang adalah negara berpenduduk terbesar nomor 8 di dunia. Negara yang baru 33 tahun merdeka ini (dari Pakistan 1971) dilaporkan berpendapatan perkapita US$380 dengan penduduk miskin sekitar 50% dari jumlah penduduk keseluruhan.
Bangladesh adalah “simbol kemiskinan Asia” sehingga “pakar kemiskinan” seluruh dunia merasa “belum pakar” jika belum datang atau mempelajari masalah kemiskinan negara ini. Dari berbagai masalah tentang kemiskinan di Bangladesh, microcredit atau microfinance adalah salah satu yang paling menonjol. Bangladesh dianggap sebagai negara tempat kelahiran “ilmu kredit mikro” (microcredit science) berbentuk Bank Perdesaan, atau dalam bahasa Bengali Grameen Bank, yang dirintis oleh Profesor Muhammad Yunus. Grameen Bank (GB) kini menjadi simbol keberhasilan atau kunci sukses program penanggulangan kemiskinan yang selanjutnya direplikasi di berbagai negara termasuk Indonesia.
Sekitar 10 kelompok perempuan miskin, masing-masing beranggota 5 orang, ketika kita mendekati tempat pertemuan mereka, mengucapkan sumpah/janji berupa “16 keputusan” (sixteen decisions) antara lain melaksanakan KB, mendidik anak, hanya minum air putih yang dimasak atau air sumur yang sehat, dan menahan diri dari membayar atau memakai “mahar” dalam perkawinan anak-anaknya. Semua sumpah/janji ini dapat diringkas dalam 4 asas hidup Grameen Bank: disiplin, bersatu, berani, dan bekerja keras.
GB yang mulai beroperasi tahun 1976, 5 tahun setelah kemerdekaan Bangladesh, menjadi bukti keprihatinan seorang Guru besar ekonomi Prof. M. Yunus, untuk membantu mengatasi kelaparan (famine) yang luar biasa yang menelan  jutaan korban meninggal di Bangladesh pada tahun 1974. Meskipun kemiskinan penduduk Bangladesh sesudah “pembebasan dari penjajahan” Pakistan mengerikan, namun kelaparan besar-besaran (famine) yang terjadi tahun 1974 itulah yang secara kejiwaan mengejutkan seorang Muhammad Yunus yang sebagai Doktor ekonomi muda tamatan Unversitas di Amerika (Vanderbilt) sangat kecewa tidak dapat menggunakan ilmu ekonominya untuk ikut memikirkan cara-cara mengatasinya.

III.2. Pemberdayaan Masyarakat Model Inkubator
            Secara etimologik, inkubasi berasal dari bahasa kedokteran yang berarti pematangan dari suatu gejala, baik gejala penyakit maupun tingkat pertumbuhan janin (bayi) di dalam rahim ibunya. Sehingga sering kita lihat di Rumah Bersalin, dokter dan perawat memberi perlakuan yang berbeda bagi bayi yang terlahir prematur melalui proses inkubasi. Pengertian ini kemudian diadopsi oleh disiplin ilmu Biologi yang mendefinisi inkubasi sebagai proses penetasan bibit, baik bibit tanaman, benih ikan (contohnya penetasan ikan Patin, melalui penghangatan benih/telur ikan di sebuah akuarium dengan kadar kehangatan dan waktu tertentu), maupun penetasan telur unggas yang juga melalui proses penghangatan sebagai substitusi proses alami pengeraman telur tersebut dari induknya.
            Secara sistemik, inkubator bisnis merupakan suatu wahana transformasi pembentukan sumber daya manusia yang tidak atau kurang kreatif dan produktif menjadi sumber daya manusia yang  memiliki motivasi wirausaha secara kreatif, inovatif, produktif dan kooperatif sebagai langkah awal dari penciptaan wirausaha yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif serta memiliki visi dan misi.
            Dalam sebuah makalah seminar tentang Inkubator Bisnis (Novel, 2001) inkubator bisnis diproposisikan sebagai suatu sarana pembentuk, penumbuh dan penetasan usaha berskala menengah, kecil dan koperasi melalui penyediaan fasilitas sarana dan prasarana, struktur dan infrastruktur, administrasi sampai akses jaringan usaha dan informasi serta akses jaringan modal/pembiayaan. Inkubator bisnis memiliki cakupan komunitas yang saling berintegrasi dalam operasi dan aktivitas, yaitu:  wirausahawan, perguruan tinggi, lembaga pembiayaan, konsultan bisnis, penasihat hukum bisnis (business legal counsel), swasta, BUMN/BUMD, pemerintah melalui instansi-instansi teknis terkait, dan lembaga swadaya masyarakat. Paradigma inkubator bisnis adalah bagian dari the new economy global, yang terjadi karena adanya perubahan yang cepat dan signifikan di bidang teknologi, telekomunikasi, dan digitalisasi; adanya deregulasi dan globalisasi. Perubahan tersebut memaksa adanya perubahan di setiap pelakunya -mulai dari skala negara, perusahaan hingga individu.
            Inkubator bisnis wujud pada era the new economy yaitu suatu era ekonomi yang terdiri dari banyak fenomen yang saling berinteraksi dan ber-relasi dalam mewujudkan tujuan. Salah satu wujud dari Inkubator Bisnis adalah SOHO (small office home office) yaitu sebuah konsep bisnis kontemporer yang lahir karena adanya perkembangan di bidang teknologi, telekomunikasi, dan digitalisasi, yang dapat memberikan kemudahan bagi para pengambil keputusan dari mana saja. Selain itu kehadiran dan keberadaan inkubator bisnis dalam new economy mampu membantu menciptakan mekanisme pasar yang persuasif dan kondusif, karena berbisnis melalui proses inkubasi pada gilirannya menjadikan persaingan sebagai sebuah kemutlakan.
            Pola penciptaan new entrepreneur dan pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi melalui inkubator bisnis dilakukan dengan cara pembinaan di bawah satu atap (in-wall) dan secara pembinaan di luar atap (out-wall). Selanjutnya, kedua pola tersebut disebut sebagai model penciptaan dan pembinaan inkubator bisnis. Model yang pertama bersifat klasikal, yaitu kegiatan pelatihan, pemagangan, sampai dengan perintisan usaha produktif dilakukan di dalam satu unit gedung. Setiap peserta atau anggota (tenant) melakukan aktivitasnya di dalam ruangan masing-masing yang telah disediakan oleh inkubator bisnis. Sementara, pada model inkubator yang kedua, aktivitas usaha ekonomi produktif tidak dilakukan dalam satu atap, melainkan secara terpencar di luar pusat manajemen inkubator bisnis. Hal tersebut dimungkinkan karena pada model kedua ini wujud dan kegiatan usaha sudah berjalan, inkubator bisnis berfungsi sebagai konsultan, pendamping, dan pembina kegiatan usaha. Sehingga, pada model yang kedua ini lebih cenderung menyerupai jaringan kerja (business networking).

Gambar 3.1 Backward Integration Approach
      Sumber: Noval (2001)

III.3. Pemberdayaan Model Community-based Development
Dalam definisi formal menurut PBB, commmunity development (CD) adalah “… a process whereby the efforts of Government are united with those of the people to improve the social, cultural, and economic conditions in communities” (PBB, 2005). Dengan kata lain, capacity development adalah sebuah proses usaha-usaha bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kondisi sosial, kultural, dan ekonomi masyarakat.
Secara umum, community development adalah suatu konsep yang luas, yang mencakup berbagai bentuk upaya dengan mengaplikasikan teori dan praktek berupa kepemimpinan lokal (civic leaders), activists, dan melibatkan warga dan kalangan profesional untuk meningkatkan berbagai sisi kehidupan dari komunitas lokal. Dalam prakteknya, para pelaksana melakukan identifikasi permasalahan, mempelejari sumberdaya setempat, menganalisa struktur kekuasaan lokal, mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, dan berbagai hal lain di masyarakat tersebut.
Pendekatan community development didefinisikan tahun 1948 untuk menggantikan istilah pendidikan massa di Inggris. Mereka mendefinisikannya sebagai “… suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komounitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisitaif masyarakat. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga non pemerintah (pengembangan masyarakat) harus dilakukan melalui gerakan yang kooperatif dan harus behubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat” (Adi, 2003). Di Amerika Serikat, community development berakar dari disiplin ilmu pendidikan, terutama pendidikan di tingkat pedesaan, yaitu perluasan dari Rural Extension Program pada akhir abad ke 18.
Dalam prakteknya, usaha-usaha untuk mengimplementasikan CD adalah melalui konsentrasi kepada aktifitas, sumber daya , dan fasilitas yang ada, dan membentuk dasar-dasar sehingga pada masanya nanti komunitas setempat dapat mengontrol sendiri masa depannya. Community development merupakan pembangunan dari bawah (bottom up), sebagai lawan dari pendekatan social planning yang top down. Namun, konsep CD tidak semata-mata masalah atas-bawah. Satu hal yang penting adalah terjadianya redistribusi tanggung jawab dan otoritas, serta penggantian kekuasaan (shift in power). Konsep ini merupakan kritik dari pendekatan pembangunan yang menggarap manusia secara individu demi individu.
Dalam perkembangannya, istilah community development lalu difokuskan kepada aspek-aspek tertentu. Karena itu dikenal “Community Economic Development” (CED), dengan tekanan pada lebih kepada aktifitas ekonomi. CED bertolak dari kondisi dan bekerja untuk komunitas setempat (citizen-led), didedikasikan kepada peningkatan kehidupan melalui distribusi kesejahteraan (wealth distribution), pengurangan kemiskinan (poverty reduction), dan penciptaan lapangan kerja (job creation). Untuk mendukung aktifitas bisnis setempat, maka penyediaan infrastruktur merupakan bagian yang penting.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa CD memiliki makan yang luas. Selain menjelaskan bagaimana operasionalisasi di lapangan, CD sesungguhnya lebih sebagai kerangka berpikir, serta sikap untuk berpihak. Konsep capacity building dapat diposisikan sebagai alat, dimana CD sebagai semangatnya atau ideologinya. Ringkasnya, capacity building adalah salah satu cara untuk mengimplementasikan CD.
III.4. Pemberdayaan Masyarakat Model Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Kube
Perkembangan Baitul Mal wat Tamwil (BMT), dimulai sejak awal 1990-an dengan berdirinya baituttamwil di Masjid Salman ITB. BMT dalam perjalanannya kemudian dikembangkan oleh Pinbuk (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) sejak 1995 yang hingga sekarang telah ada 3200 BMT di Indonesia. Berlainan dengan Grameen Bank (GB), BMT adalah lembaga keuangan mikro yang bersifat unit sistem. BMT didirikan oleh lebih dari 20 pendiri, mengurunkan modal awal, dan beroperasi umumnya hanya di sekitar tempat pendiriannya. Jadi, BMT lebih otonom dalam pengelolaannya. Pada Desember 2005, dibentuklah Asosiasi BMT se-Indonesia (Absindo) oleh Kongres Nasional BMT I. Maksudnya adalah agar BMT-BMT terjaring dalam suatu jaringan kerja yang lebih produktif. Di samping itu, BMT beroperasi dengan sistem bagi hasil, sementara GB beroperasi dengan sistem bunga.
Sejak 2003, sebagai proyek percontohan, Pinbuk bekerja sama dengan Departemen Sosial RI, telah mengembangkan BMT Kelompok Usaha Bersama (Kube) dengan menerapkan metodologi GB. Jika di GB kelompok diorganisasi dalam kelompok beranggota 5 orang, BMT Kube diorganisasi beranggotakan 10 orang. Hal ini dikarenakan Kube telah dikembangkan oleh Departemen Sosial RI sejak tahun 1980-an beranggotakan 10 orang. Hanya saja, belum diorganisasi menjadi lembaga keuangan mikro seperti BMT (Aziz, 2006).
Proyek percontohan yang dilakukan Pinbuk bersama Depsos ini, dijalankan dengan terlebih dahulu menyosialisasikan konsep Kube dan BMT. Kube dibentuk setelah dilakukan identifikasi keanggotaan oleh pendamping, dan kemudian calon-calon anggota bersepakat mendirikan Kube. Anggota-anggota diharuskan mengikuti pra pelatihan wajib himpunan (PWH), konsultasi antarpendamping dan anggota untuk memantapkan pembentukan Kube.
Setelah PWH, tiga Kube didampingi untuk melakukan pertemuan rumpun dengan pendampingan dan diadakan dalam periode yang disepakati. Lama pertemuan 90 menit, di mana dilakukan selain simpan pinjam, pencatatan, juga ada ikrar anggota, ikrar pendamping, penguatan ruhiyah, dan bertukar pengalaman. Pinjaman dilakukan dengan metode 3-3-3-1, ketua yang terakhir. Setelah rumpun berjalan sekitar 6 bulan, ketua-ketua Kube dengan mengajak para dermawan yang ada di desa itu, mendirikan BMT. Setelah berdiri, BMT melakukan usaha penggalangan dana simpanan dari anggota dan Depsos, menurunkan dana kemitraan yang dititipkan pada BMT Kube yang telah dibentuk itu.
Dalam tahun anggaran 2004/2005 telah dikembangkan 97 BMT Kube yang mencakup 1.969 Kube, 23.798 kepala keluarga, dengan memanfaatkan dana kemitraan dari Depsos sebesar Rp 31,6 miliar. Sementara itu, dana tabungan masyarakat miskin sendiri sebesar Rp 5.216.349.543 yang terhimpun di BMT-BMT dan dimanfaatkan sebagai dana pinjaman untuk pengembangan usaha para fakir miskin. Mereka juga telah memupuk dana iuran kesejahteraan sosial sebesar Rp 80 juta, sehingga total aset dari 97 BMT Kube menjadi Rp. 37.051.743.962. Selain model-model pemberdayaan yang telah disebutkan di atas, ada beberapa model lain yang biasa digunakan untuk mendekati permasalahan kemiskinan khususnya tentang penguatan/pemberdayaan masyarakat miskin, seperti pemberdayaan model modal ventura, model P4K, dan lain sebagainya. Tentunya dengan karakteristik dan metode yang satu sama lain, berbeda.

IV. KONSEP GRAMEEN
IV.1. Grameen adalah Yunus
Grameen di bawah Yunus banyak melakukan ‘gebrakan’. Gebrakan Yunus yang paling berani adalah kepercayaannya yang luar biasa pada kaum miskin. Ketika mengawali program kredit mikro di desa Jobra, Yunus mendebat seorang manajer bank yang bersikeras bahwa bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena risiko macetnya sangat besar. Yunus membantah: “Mereka sangat punya alasan untuk membayar Anda kembali, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan melanjutkan hidup esok harinya. Itulah jaminan terbaik yang bisa Anda dapatkan: nyawa mereka”. Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank.
Gebrakan lainnya adalah keputusannya memfokuskan kucuran pinjaman Grameen kepada perempuan. Perempuan miskin di Bangladesh memiliki kedudukan sosial yang paling rawan. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum yang tak tertulis mengatakan ibulah yang pertama akan mengalaminya. Namun bagi Yunus, perempuan miskin terbukti lebih cepat menyesuaikan diri dan jauh lebih baik dalam proses membangun kemandirian daripada laki-laki. Perempuan miskin memandang jauh ke depan dan bekerja keras untuk membebaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan. Prioritas seorang perempuan saat memperoleh pendapatan adalah menyiapkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya dan keadaan rumah tangganya. Laki-laki memiliki prioritas yang sangat berbeda, yang lebih terpusat pada dirinya sendiri. Meningkatkan kesejahteraan perempuan miskin bagi Yunus berarti menyelamatkan generasi.
Yunus adalah seorang profesor ekonomi yang mengaku muak dengan teori-teori yang diajarkannya sendiri. Walau demikian, ada satu rigiditas ilmiah yang tetap dipegangnya seperti ditegaskan Prof. Robert Lawang, yakni soal metodologi. Pertama, Yunus mengidentifikasi akar permasalahan kemiskinan dengan benar. Setelah dengan seksama mempelajari kemiskinan di desa Jobra dekat kampusnya, Yunus akhirnya paham bahwa dampak terparah kemiskinan dipikul oleh kaum perempuan. Untuk itulah program kredit mikronya difokuskan terutama untuk perempuan.
Kedua, mencoba memahami masalah dari sudut pandang pihak yang mengalami masalah. Jika kita memakai sudut pandang ahli-ahli pembangunan dari Barat, mungkin kita berpendapat bahwa orang menjadi miskin karena tidak terampil, tapi Yunus mendapati bahwa orang miskin tidak butuh pelatihan keterampilan. Mereka butuh dana mendesak dan fleksibel.
Ketiga, penyelesaian yang digagas Yunus tidak serta merta berskala besar dan muluk-muluk. Gagasan kredit mikronya diujicoba lebih dulu dalam skala kecil di desa Jobra. Berhasil di Jobra tidak lantas membuatnya menggeneralisir bahwa idenya manjur dalam setiap konteks. Ia coba lagi di Tangail yang masih tingkat desa tapi konteksnya berbeda. Setelah itu ia menyebarkannya di skala nasional, lalu ke negara-negara yang perekonomiannya mirip Bangladesh, kemudian ke negara kaya yang kondisi masyarakatnya jauh berbeda.
Keempat, penyelesaian masalahnya bersifat struktural. Penting digarisbawahi bahwa Yunus bukan “bagi-bagi uang”. Yunus mencangkokkan gagasan Grameen ke cabang-cabang bank di seantero Bangladesh sambil melakukan lobi politik untuk meloloskan UU Grameen Bank, yang memungkinkan adanya bank dengan struktur kepemilikan dan cara beroperasi yang sangat berbeda dengan bank konvensional di Bangladesh, bahkan di dunia. Dengan UU inilah para nasabahnya yang tak beralas kaki bahkan buta huruf itu bisa menjadi pemegang saham dan komisaris Grameen Bank (dengan kepemilikan saham 93 persen). Inilah yang membedakan program pengurangan kemiskinan sejati dengan reality show televisi.

IV.2. Analisis Reflektif atas Grameen
Berikut ini adalah beberapa sorotan dari isu-isu yang cukup menarik diketahui tentang konsep pemberdayaan Grameen Bank, analisis reflektif filosofis tentang ilmu pengetahuan, tentang masyarakat dan pemerintah, hubungan antarkelas sosial yang tidak kenal ampun, tentang agama dan dehumanisasi dan juga tentang kemiskinan dan Hak Asasi Manusia (Lawang dalam Yunus, 2007).
Pertama, Muhamad Yunus adalah dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University di Bangladesh yang menggugat ilmu ekonomi yang dipelajarinya selama ini. Dia “tinggalkan” ilmunya itu, lalu bergaul dengan realitas orang miskin dan kemiskinan desa Jobra yang bertetangga dengan universitasnya. Akhir dari pergulatan itu adalah sebuah konsep pembangunan atau konsep mengatasi kemiskinan yang dia sebut dengan istilah “kewirausahaan sosial” (social entrepreneurship), yang berhasil membawa perubahan multidimensional pada masyarakat miskin khususnya kaum perempuan. Kisah orang besar kembali berulang di sini: apa yang oleh kaum kapitalis dianggap sebagai sebuah kebodohan dan kemalasan, atau oleh birokrat sebagai sebuah ketidakmungkinan, atau oleh kaum religius sebagai kutukan, oleh Yunus malah dijadikan sebuah laboratorium hidup di mana kekuatan dahsyat orang miskin (perempuan) menampakkan dirinya sebagai alternatif yang pantas diperhitungkan. Dengan intervensi belasan sen dolar Amerika saja dia mampu menyaingi intervensi lembaga donor internasional dalam jumlah miliaran dolar.
Kedua, Yunus berhasil membongkar kepalsuan-kepalsuan yang bersembunyi di balik institusi-institusi seperti: pendidikan, pemerintahan, negara, perbankan, agama, kebudayaan yang selama ini ikut ‘membiarkan’ kemiskinan itu tidak teratasi. Kepalsuan itu sesungguhnya ada di dalam dirinya sendiri juga, saat sadar bahwa dirinya bukan apa-apa dari segi ilmu yang digelutinya selama ini, dari segi kedudukannya sebagai dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University. Kepalsuan ini dia bongkar dengan membawa realitas kemiskinan perempuan menjadi bagian dari satuan acara perkuliahan (SAP) di luar kelas, membuat warga kampus seluruhnya sebagai ‘mahasiswa’ yang harus belajar dari orang miskin sebagai dosen-dosennya, dan mengubah konsep kampus yang terikat pada bangunan-bangunan gedung yang menjauhkan diri dari pokok permasalahan riil menjadi interaksi-interaksi sosial yang langsung bergelut dengan pokok permasalahan.
Ketiga, Yunus juga membongkar kepalsuan kapitalisme yang jelas-jelas diskriminatif terhadap orang miskin (khususnya kaum perempuan) seperti yang terlihat dari praktik perbankan, mulai dari bank lokal sampai bank-bank internasional. “Apartheid finansial” adalah konsep yang cocok menggambarkan diskriminasi institusional yang dilakukan oleh sistem perbankan di mana-mana. Rasionalisme berasaskan logika kapitalisme menjadi bagian dalam melaksanakan dan mempertahankan ‘politik apartheid’ ini. Rasionalisme mungkin mencerahkan, tetapi logika belum tentu. Silogisme kapitalisme perbankan mempunyai premis-premis yang sangat ketat: (1) Bank harus untung dari usaha deposito dan kredit, tanpa membedakan apakah uang itu didepositokan dan dipinjam oleh orang kaya atau orang miskin, yang penting memenuhi prinsip-prinsip ekonomi yang sangat rasional. (2) Dengan premis ini maka kredit yang dikucurkan adalah kredit dalam jumlah besar yang menguntungkan bank, yang hanya dapat dilakukan oleh orang kaya saja. (3) Oleh karenanya, adalah tidak rasional dan tidak juga ekonomis jika bank meminjamkan uangnya dalam jumlah kecil.
Keempat, kepalsuan religius yang bercampur dengan adat dan kepentingan diri atau kelompok yang antikemanusiaan itu sangat memuakkan. Yunus adalah seorang Muslim yang taat beribadah, mempunyai perhatian penuh terhadap orang miskin terutama perempuan Bangladesh yang sangat menderita. Dia juga seorang Bangladesh yang menghargai sopan santun. Penolakan terhadap sistem perbankan Grameen dengan argumentasi kotor yang dicari-cari adalah sebuah kepalsuan sosial ekonomi yang justru bertentangan dengan nilai-nilai religius dan adat itu sendiri. Dari sini kita belajar bahwa perubahan sosial itu menuntut keterlibatan semua orang (multi-stakeholder). Di sekitar kita masih cukup banyak kepalsuan-kepalsuan religius, di mana Allah yang sering disebut-sebut justru adalah “allah materialisme”, “allah kekuasaan”, dan bukan Allah yang sebenarnya.
Kelima, kepalsuan humanisme menunjuk pada rasionalisasi atau logikalisasi pikiran yang sangat simplistik demi melayani atau menguntungkan kaum laki-laki penganggur di Bangladesh. Argumentasi logisnya dalam bentuk retorika: mengapa kepada perempuan diberikan pinjaman padahal banyak laki-laki yang sangat membutuhkan? Pertanyaan balik yang tak kalah logis: mengapa masih banyak laki-laki yang tidak mendapat pinjaman dari bank? Atau mengapa laki-laki pada umumnya tidak setia pada janji untuk melunasi utangnya? Yunus berhasil membongkar kepalsuan orang-orang yang sok manusiawi itu, dengan tetap konsisten pada pendiriannya bahwa memberikan kredit pada perempuan sudah terbukti mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga dan memperluas cakrawala mereka lewat pembentukan kelompok lima (yang mirip dengan sistem tanggung renteng di Indonesia).
Keenam, sumbangan Yunus yang paling besar artinya bagi pengembangan ilmu pengetahuan adalah metodologi. Dia menilai bahwa dengan pendekatan makro yang disebutnya dengan istilah “mata burung” (seringkali juga orang menyebutnya dengan istilah pandangan halikopter: halicopter view) hanya mampu memberikan gambaran yang sangat umum dan tidak rinci tentang kemiskinan. Pengalaman membuktikan bahwa pendekatan ini tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara sedang berkembang. Sebaliknya, Yunus memakai “mata cacing” yang melihat tanah dari jarak yang amat dekat, hampir-hampir menyatu dengan tanah yang dijelajahinya secara pelan-pelan.
Ketujuh, konsep pembangunan atau lebih tepatnya program pengentasan kemiskinan itu harus didefinisi ulang. Pembangunan dalam konteks Grameen Bank adalah sebuah proses perubahan sosial-politik-ekonomi yang kompleks, di mana bagian yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Dengan pengalaman selama puluhan tahun, Yunus dapat membuktikan pula bahwa civil society (dan khususnya perempuan miskin) merupakan kekuatan yang dapat melaksanakan program besar yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah.

IV.3. Objektivisme Islam atas Grameen
Islam adalah agama fair dan objektif. Jika suatu hal baik, ia akan katakan hal itu baik, dan sebaliknya. Model Grameen –meski terdapat hal-hal yang a-syariat, tak bisa dipungkiri ia juga memiliki karakter positif. Berikut ini adalah beberapa poin yang penulis anggap signifikan sebagai dalil pernyataan di atas.
#1 Pro Poor System
Kunci pertama yang GB miliki adalah selalunya ia bergerak dan bermain dengan rakyat lemah. Mungkin bisa kita katakan: Dari miskin, oleh miskin, untuk miskin. Strategi ini akan sangat efektif dan ampuh diterapkan khususnya di negara yang struktur masyarakatnya dominan dengan kemiskinan (mayoritas NSB, Negara Sedang Berkembang). Namun tidak juga menutup kemungkinan, negara maju pun bisa saja memakainya. Karena negara sekaliber Amerika Serikat, struktur orang miskinnya tetap ada, bahkan tidak bisa dibilang sedikit.
#2 Right time-Right place-Right man
Ada poin penting yang perlu diperhatikan. GB tidak serta merta ketiban pulung sukses melainkan ada pula faktor yang tak bisa dikesampingkan: Right time-right place-right man. Right time karena pada waktu itu Bangladesh berada pada titik nadir akibat bencana famine yang ganas. Bahkan kala itu baru saja merdeka. Akan lain cerita jika GB tumbuh pada saat-saat masa penjajahan atau saat kondisi ekonomi sosial masyarakat telah establish. Right place karena di Bangladesh itulah segala bentuk kemiskinan ada. Dalam bahasa lain, andai Grameen Bank diterapkan di Indonesia atau Malaysia, belum terjamin perkembangannya akan sepesat dan sefenomenal seperti saat ini, karena struktur dan jumlah masyarakat miskin yang berbeda. Right man karena sang pendiri dan penggagas GB adalah seorang doktor ekonomi yang memang paham betul teori-teori ekonomi dan kemiskinan.
#3 Konsep yang Sederhana
Rahasia lain mengapa GB mampu menjadi solusi kemiskinan adalah konsepnya yang sangat sederhana. Simpel dan mudah dipahami bahkan oleh orang yang tidak mengecap pendidikan sekalipun. Bukan berdasarkan teori ekonomi njlimet yang membuat orang mengernyitkan dahi. Coba saja simak ‘sixteen decisions’ berikut ini. Sixteen decisions adalah enam belas norma-norma organisasi atau semacam janji setia anggota yang harus dipegang erat-erat untuk dilaksanakan secara rutin dan gradual oleh para anggota GB. Isinya antara lain: We shall bring prosperity to our families. We shall not live in dilapidated house. We shall grow vegetables all the year round. We shall plan to keep our families small. We shall educate our children and ensure that they can earn enough to pay for their education. We shall not inflict any injustice on anyone; neither shall we allow anyone to do so. We shall always be ready to help each other. If anyone is in difficulty, we shall all help. We shall take part in all social activities collectively, dan lain-lain. (dari artikel Tantangan Ilmu Ekonomi dalam Menanggulangi Kemiskinan, Mubyarto, 2004)
#4 Prinsip GB = Prinsip Islam
Jika secara cermat kita amati dan analisis, ke-16 janji setia (sixteen decisions) tersebut berujung pangkal ke dalam nilai-nilai inti berikut: kesederhanaan konsep, kegigihan berusaha, kemandirian, kerja keras, kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan, dorongan untuk berbuat adil dan membantu sesama, disiplin, kegotongroyongan, hingga dorongan untuk berwirausaha. Nilai-nilai tersebut sejatinya adalah nilai-nilai islam yang sesungguhnya. Atau dalam makna lain, nilai dan norma yang Grameen Bank miliki adalah sama dan sebangun dengan nilai-nilai yang agama Islam promosikan. Hal ini menjadi wajar dan amat bisa dipahami karena Muhamad Yunus yang notabene aktor tunggal GB adalah seorang intelek yang beridentitas muslim.
#5 Mendobrak Mapan
Selain faktor-faktor di atas, ada hal lain yang tidak kalah penting dan strategis yang menjadi determinan kunci keberhasilan GB: bahwa M. Yunus dengan GB-nya telah berhasil mendobrak pandangan umum yang berlaku, atau dalam bahasa yang lebih ekstrem, mendobrak mapan. Yunus berhasil menjungkir balik tesis yang menyebutkan bahwa orang miskin itu adalah golongan masyarakat yang akan sukar melunasi pinjaman jika mereka diberikan kredit. Secara telak, melalui konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat via Grameen ini, tesis tersebut tak lagi laku dijual. Fakta mencatat NPL atau kredit macet GB tidak melebihi angka 3 %. Sebuah pembuktian baru yang sukar terbantahkan. Selain itu, pandangan umum yang mengatakan bahwa si miskin tidak akan bisa memperjuangkan nasibnya sendiri sehingga harus melulu dibelaskasihani orang kaya yang baik hati, juga tidak menemukan kesesuaiannya. Grameen memberi jawaban yang mencengangkan: orang miskin juga bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari kubangan kemiskinan.

IV.4. Kritik Syariah untuk Model Grameen
Meski secara prinsip yang tertuang dalam ‘sixteen decisions’ relatif ideal dan tak ada celah noda, ada beberapa kritik yang bisa dialamatkan kepada GB. Pertama, GB masih mengakui eksistensi bunga. Hal ini menjadi noda terbesar dan paling nampak jelas terlihat. Bahkan angkanya pun tidaklah bisa disebut kecil, yakni hingga 30%. Dua, jika secara teliti kita amati, GB bersifat womensentris artinya ia berorientasi hanya kepada golongan ibu rumah tangga yang notabene lebih cocok dengan naluriahnya sebagai pengurus dan pengayom keluarga. Bukan sebagai pencari nafkah dengan meminjam modal kemudian bekerja. Ini pula dapat diartikan bahwa GB bersifat elitis. Ketiga dan tidak kalah penting, GB masih merupakan subordinat dari satu komando bank besar di Bangladesh. Lain halnya dengan kasus BMT di Indonesia yang merupakan kelembagaan masyarakat lokal.
Jika kita melakukan komparasi dengan kasus di Indonesia, maka ada hal menarik yang bisa diperbandingkan. Mengapa perjuangan ekonomi syariah Indonesia yang dimulai sejak tahun 1992 belum menunjukkan hasil yang memuaskan, padahal hingga saat ini telah terhitung 15 tahun lamanya, sementara GB dengan hanya waktu 10 tahun saja (1976-1980an) telah mampu mencapai prestasi yang tidak sederhana: membebaskan jerat kemiskinan penduduk Bangladesh? Padahal yang pertama telah dengan benar menggunakan konsep bagi hasil, sedang yang kedua masih bergelimang bunga? Yang pertama masih belum berhasil menurunkan struktur masyarakat miskin yang hingga saat ini terhitung sekitar 40 juta jiwa (18%), sedang yang kedua telah sukses mengentas miskin dengan jumlah yang hampir sama? Nampaknya ada yang salah dengan perjuangan ekonomi syariah kita.

V. KESIMPULAN
Setelah dicermati secara seksama, maka dari kajian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan pokok yang penting, yakni:
·         Bahwa pemberdayaan adalah suatu hal utama yang pokok dan mesti dilakukan oleh siapapun, tak terkecuali. Pemberdayaan sangat lekat dengan ‘term’ kemiskinan dan oleh karenanya kita perlu berupaya memberdayakan masyarakat agar terjauh dari bala ‘miskin’.
·         Grameen yang fenomenal itu, sedikit-banyak pada beberapa hal memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip yang Islam promosikan: kegigihan berusaha, kemandirian, kerja keras, kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan, dorongan untuk berbuat adil dan membantu sesama, disiplin, kegotongroyongan, dan dorongan wirausaha.
·         Meskipun demikian, ada beberapa hal yang Islam garis bawahi untuk dikritisi, seperti masalah bunga yang masih relatif tinggi, womensentris dan kekurangidealan bentuk kelembagaan.
·         Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya, nampaknya perlu dilakukan telaahan yang lebih mendalam terkait dampak riil institusi Grameen bukan hanya an sich ekonomi, namun juga sosial, ideologi hingga hankam.

Daftar Pustaka

Asmorowati, Sulikah, 2005, “Dampak Pemberian Kredit Mikro untuk Perempuan: Analisis Pengadopsian Model Grameen Bank di Indonesia”.
Aziz, M. Amin, 2006, “Model Pemberdayaan Fakir Miskin”, Surat Kabar Republika, 6 Desember 2006.  
Azizy, A Qodri, 2008, “Pemberdayaan Berbasis Agama”, Makalah.
Bahan Kuliah PPS SP ITB, “Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat”, Bandung.
Hafidz, Wardah dan Budiharga, Wiladi, 2004, “Model Pemberdayaan Rakyat Berkeadilan Gender”, Makalah.
Hutomo, Mardi Yatmo, 2000, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi”, Naskah Juni-Juli 2000.
Kuncoro, Mudrajad, 2008, “Grameen Bank dan Lembaga Keuangan Mikro”, Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Sabtu, 2 Agustus 2008.
Mubyarto, 2004, “Tantangan Ilmu Ekonomi dalam Menanggulangi Kemiskinan”, Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM.
Noval, Dean, 2001, “Inkubator Bisnis sebagai Salah Satu Sarana Pewujud Misi Perguruan Tinggi”, Makalah pada Seminar Kewirausahaan Mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta.
Rizal, Sofyan, 2007, “Ekonomi Islam, Ekonomi Kerakyatan dan Peran Pemerintah”, Makalah.
Soetrisno, Noer, 2004, “Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah Menuju Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, Makalah pada Silaturahmi Nasional 30-31 Agustus 2004, Graha Wisata Mahasiswa, Rasuna Said, Jakarta.
Suarja, Wayan, 2007, “Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Program Pemberdayaan KUKM”, Makalah pada Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia, 8 Februari 2007, Samarinda.
Syahyuti, 2005, “Penerapan Pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas: Studi Kasus pada Rancangan Program Primatani”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Yunus, Muhammad, 2007, Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan, diterjemahkan oleh Irfan Nasution, Depok: Marjin Kiri. 


Klik suka di bawah ini ya