Konsep Uang dalam Islam

Dalam setiap sistem perekonomian, fungsi utama uang selalu sebagai alat tukar (medium of exchange). Fungsi utama ini lalu memiliki darivasi fungsi-fungsi lain seperti uang sebagai standard of value (pengukur nilai), store of value (penyimpan nilai), unit of account dan standard of deferred payment (pengukur pembayaran tangguh).
Dalam Islam, uang adalah uang yang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Jadi uang adalah sesuatu yang terus mengalir dalam perekonomian, atau lebih dikenal sebagai flow concept. Ini berbeda dengan sistem perekonomian kapitalis, di mana uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga dipandang sebagai komoditas. Dengan demikian, menurut sistem ini, uang dapat diperjual belikan dengan kelebihan baik on the spot maupun secara tangguh. Dalam perspektif ini uang juga dapat disewakan (leasing).

Dalam Islam, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange (alat tukar). Ia bukan suatu komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang di dalam substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaat atau tujuan-tujuannya. Al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin mengatakan: “Kedua-duanya tidak memiliki arti apa-apa tetapi keduanya mengartikan segala-galanya. Keduanya ibarat cermin, ia tidak memiliki warna tapi bisa mencerminkan semua warna”.

Dari sinilah pertanyaan kemudian mengemuka, jika uang dalam Islam hanya berfungsi sebagai alat tukar, apakah Islam membatasi penggunaan emas dan perak sebagai satu-satunya mata uang yang diakui syara’ atau memberikan kebebasan penggunaan mata uang dari bahan apa pun dengan catatan fungsinya dapat terpenuhi? Dari sinilah tulisan ini menemukan “muara”nya.

Dinar-Dirham dalam Lintas Sejarah    
Emas, dalam sejarah perkembangan sistem ekonomi dunia, sudah dikenal sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi. Hal itu ditandai penemuan emas dalam bentuk kepingan di Spanyol, yang saat itu digunakan oleh Paleolithic Man. Dalam sejarah lain disebutkan bahwa emas ditemukan oleh masyarakat Mesir kuno (Circa) 3000 tahun sebelum masehi. Sedangkan sebagai mata uang, emas mulai digunakan pada zaman Raja Lydia (Turki) sejak 700 tahun sebelum Masehi. Sejarah penemuan emas sebagai alat transaksi dan perhiasan tersebut kemudian dikenal sebagai Barbarous Relic (JM Keynes).

Lahirnya Islam sebagai sebuah peradaban dunia yang dibawa dan disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW telah memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap penggunaan emas sebagai mata uang (dinar) yang digunakan dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Pada masa Rasulullah, ditetapkan berat standar dinar diukur dengan 22 karat emas, atau setara dengan 4,25 gram (diameter 23 milimeter). Sementara Khalifah Umar bin Khattab menentukan standar koin dengan berat 10 Dirham setara dengan 7 Dinar (1 mitsqal).

Pada tahun 75 Hijriah (695 Masehi) Khalifah Abdul Malik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham untuk pertama kalinya, dan secara resmi beliau menggunakan standar yang ditentukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Dinar-Dirham dalam Alquran dan Hadits
Dalam Alquran dan Hadits, emas dan perak telah disebutkan baik dalam fungsinya sebagai mata uang atau sebagai harta dan lambang kekayaan yang disimpan. Ini dapat kita lihat dalam QS. at-Taubah: 34 yang menjelaskan orang-orang yang menimbun emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk kekayaan biasa dan mereka tidak mau mengeluarkan zakatnya akan diancam dengan azab yang pedih. Ayat ini juga menegaskan tentang kewajiban zakat atas logam mulia secara khusus. Dalam QS al-Kahf: 19, Allah menceritakan kisah Ashabul Kahf (penghuni gua) yang menyuruh salah seorang dari teman mereka untuk membelanjakan uang peraknya (wariq) guna membeli makanan sesudah mereka tertidur selam 309 tahun di gua. Alquran menggunakan kata wariq yang artinya uang logam dari perak atau dirham.

Di samping itu banyak sekali hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebut dinar-dirham atau menggunakan kata wariq. Rasulullah SAW bersabda, “Dinar dengan dinar, tidak ada kelebihan antara keduanya (jika dipertukarkan); dan dirham dengan dirham, tidak ada kelebihan di antara keduanya (jika dipertukarkan ).” (H.R. Muslim). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menggunakan kata wariq seperti dalam hadis berikut ini: “Uang logam perak (wariq) yang jumlahnya di bawah lima auqiyah tidak ada kewajiban zakat atasnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dinar-Dirham; Apresiasi Dua Arah
Diskursus dan pro kontra mengenai hukum penggunaan mata uang dinar-dirham dalam Islam ramai dibicarakan sejak abad pertengahan. Para ulama “sepakat untuk tidak sepakat.” Perdebatan itu berkisar pada domain; apakah mata uang adalah masalah syara’ yang sudah ditetapkan oleh Allah swt, atau hanya masalah tradisi-terminologis yang penetapannya diserahkan pada kebiasaan masyarakat (‘urf)? Apakah hanya emas dan dirham yang memiliki “otoritas” sebagai satu-satunya mata uang umat Islam (single money) atau bisa berlaku mata uang yang lain?

Sederet ulama berpendapat bahwa uang adalah masalah syara’ yang telah diatur oleh Allah swt. Alquran hanya menyebutkan emas, perak, dinar, dan dirham sebagai barang-barang yang memiliki nilai, dan tidak pernah menyebutkan mata uang lainnya. Maka menjadi hal yang niscaya bagi umat Islam untuk menggunakan emas dan perak (dinar-dirham) sebagai satu-satunya medium of exchange. Pendapat ini diusung oleh ulama-ulama besar seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, fatwa kalangan Hanafiyah dalam Al-Fatawa al-Hindiyah, kalangan malikiyah dalam pendapatnya yang tidak popular, kalangan Syafi’iyah dalam pendapat yang ashah (As-Suyuthi: Asybah wan-Nadzair), Kalangan Hanabilah dalam salah satu pendapatnya, An-Nakha’i dan Mujahid, Al-Maqrizy, dan beberapa ulama-ulama kontemporer lainnya (An-Nabhani dalam An-Nidzam Al-Iqtishadi)

Al-Maqrizy barangkali satu dari ulama-ekonom yang sangat lantang menyuarakan pendapatnya bahwa mata uang yang sah menurut syara’ hanyalah emas dan perak. Beliau berpendapat bahwa yang berhak untuk jadi alat pengukur harga dan nilai barang-barang komoditi dan pekerjaan hanyalah emas dan perak. Lebih lanjut, beliau tidak melihat dalam hadits shahih dan pada umat terdahulu menjadikan uang selain emas dan perak. Umat terdahulu dalam kondisi terdesak hanya menjadikan selain emas sebagai alat tukar barang-barang remeh, dan mereka tidak menganggapnya sebagai mata uang sama sekali dan tidak pernah mengganti posisi emas dan perak. Dari sinilah Al-Maqrizy menyatakan bahwa hanya emas dan perak yang pantas dijadikan mata uang, tidak yang lain (Al-Maqrizy dalam An-Nuquud Al-Islamiyah). Dalam karya yang lain, Kasyful Ghummah, Al-Maqrizy menyatakan dengan lantang: mata uang yang bisa diterima baik oleh agama, logika, dan tradisi hanyalah emas dan perak. Yang lain tidak.

Pada kutub yang berlawanan, sekelompok ulama berpendapat bahwa uang adalah masalah tradisi-terminologis yang dikembalikan pada kebiasaan manusia dan tidak terbatas pada barang tertentu. Menurut Al-Baladziri dalam Futuhul Buldan, Umar bin Khattab ra. pernah punya keinginan untuk menjadikan mata uang dari kulit unta. “ Aku ingin (suatu saat) menjadikan kulit unta sebagai alat tukar,” ungkapnya. Menurutnya, sebagai alat tukar (medium of exchange) uang tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja. Karena sesungguhnya, apapun, dapat berfungsi menjadi uang termasuk kulit unta.

Di antara ulama yang memiliki pandangan di atas adalah Muhammad bin Al-Hasan dari kalangan hanafiyah, kalangan malikiyah dalam pendapatnya yang mu’tamad  (kuat), kalangan Syafi’ie dalam qaul (pendapat) keduanya, kalangan Hanbali dalam pendapatnya yang mu’tamad, dan diunggulkan (tarjih) oleh Ibnu  Taimiyah, Ibnu Qayyim. Pendapat ini diusung oleh mayoritas ulama kontemporer, dan menjadi keputusan Majami’ ‘Ilmiyah Al-Islamiyah (Al-Zarqa’, Syarhul Qawaid Al-Fiqhiyah, hlm. 174)

Ikhtitam
Terlepas dari pro-kontra seputar hukum penggunaan dinar-dirham sebagai mata uang dalam islam, penetapan mata uang mesti memperhatikan faktor stability (kesetabilan nilai), fairness (keadilan), foreign exchange risk (resiko valuta asing), competitiveness (daya saing), dan reliability (ketahanan) sebagai acuan. Dengan memperhatikan faktor-faktor ini maka dinar-dirham diakui banyak kalangan sebagai mata uang yang memenuhi kualifikasi di atas. Wallahu a’lam.
(Salah satu tulisan dalam Ekonomi Islam Substantif, penulis Mahbubi Ali)

Klik suka di bawah ini ya