Cara Islam Mengatasi Kemiskinan

Isu kemiskinan dan pengangguran kembali mencuat dan mendapat perhatian banyak pihak pasca pidato kontroversial Presiden SBY pada 16 Agustus 2006 lalu di depan DPR. Terlepas dari perdebatan yang terjadi tentang kesahihan data kemiskinan, momentum ini sebenarnya lebih penting digunakan untuk mendorong kembali wacana strategi pengentasan kemiskinan yang tepat untuk Indonesia.
Pemerintahan SBY-JK ketika dilantik pada 2004 mengusung strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk pemulihan ekonomi yaitu pengentasan kemiskinan (pro-poor), percepatan pertumbuhan ekonomi (pro-growth), dan perluasan kesempatan kerja (pro-employment). Data kemiskinan terbaru yang dirilis BPS pekan lalu, memastikan bahwa strategi tiga jalur dari pemerintahan SBY-JK terbukti gagal. Per Maret 2006, angka kemiskinan adalah 17,75% atau meningkat dari 16,66% di tahun 2004. Dibutuhkan strategi baru untuk kemiskinan, yang lebih komprehensif, menyentuh akar permasalahan, dan tidak hanya retorika belaka.


Akar Kemiskinan
Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6) dan pada saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizki-nya masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119).


Dalam perspektif Islam, kemiskinan timbul karena berbagai sebab struktural. Pertama, kemiskinan timbul karena kejahatan manusia terhadap alam (QS 30:41) sehingga manusia itu sendiri yang kemudian merasakan dampak-nya (QS 42:30). Kedua, kemiskinan timbul karena ketidakpedulian dan kebakhilan kelompok kaya (QS 3: 180, QS 70:18) sehingga si miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. Ketiga, kemiskinan timbul karena sebagian manusia bersikap dzalim, eksploitatif, dan menindas kepada sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain dengan jalan yang batil (QS 9:34), memakan harta anak yatim (QS 4: 2, 6, 10), dan memakan harta riba (QS 2:275).


Keempat, kemiskinan timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi di satu tangan. Hal ini tergambar dalam kisah Fir’aun, Haman, dan Qarun yang bersekutu dalam menindas rakyat Mesir di masa hidup Nabi Musa (QS 28:1-88). Kelima, kemiskinan timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau peperangan sehingga negeri yang semula kaya berubah menjadi miskin. Bencana alam yang memiskinkan ini seperti yang menimpa kaum Saba (QS 34: 14-15) atau peperangan yang menciptakan para pengungsi miskin yang terusir dari negeri-nya (QS 59:8-9).


Dengan memahami akar masalah, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami fenomena kemiskinan yang semakin meraja di sekeliling kita. Bukankah akar kemiskinan di negeri ini adalah perilaku eksploitatif akibat penerapan bunga sehingga kita setiap tahunnya harus menghabiskan sebagian besar anggaran negara untuk membayar bunga utang dan sektor riil harus collapse tercekik bunga tinggi perbankan? Bukankah akar kemiskinan di negeri ini adalah birokrasi yang korup dan pemusatan kekuasaan di tangan kekuatan politik dan pemilik modal sehingga tidak jelas lagi mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi? Bukankah akar kemiskinan di negeri ini adalah buah dari kejahatan kita terhadap lingkungan yang kita rusak sedemikian masif dan ekstensif?


Strategi Pengentasan Kemiskinan
Islam memiliki berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan dan sekaligus penciptaan lapangan kerja. Pertama, Islam mendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor growth).


Islam mencapai pro-poor growth melalui dua jalur utama: pelarangan riba dan mendorong kegiatan sektor riil. Pelarangan riba secara efektif akan mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat terjaga dan stabilitas perekonomian tercipta. Pada saat yang sama, Islam mengarahkan modal pada kegiatan ekonomi produktif melalui kerjasama ekonomi dan bisnis seperti mudharabah, muzara’ah, dan musaqat. Dengan demikian, tercipta keselarasan antara sektor riil dan moneter sehingga pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan.


Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Dalam sejarah Islam, terdapat tiga prinsip utama dalam mencapai pro-poor budgeting yaitu: disiplin fiskal yang ketat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik.


Tidak pernah terjadi defisit anggaran dalam pemerintahan Islam walau tekanan pengeluaran sangat tinggi, kecuali sekali pada masa pemerintahan Nabi Muhammad karena perang. Yang lebih banyak didorong adalah efisiensi dan penghematan anggaran melalui good governance. Di dalam Islam, anggaran negara adalah harta publik sehingga anggaran menjadi sangat responsif terhadap kepentingan orang miskin, seperti menyediakan makanan, membayar biaya penguburan dan utang, memberi pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial, dan beasiswa bagi yang belajar agama.


Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memiliki dampak eksternalitas positif dalam rangka meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian. Nabi Muhammad SAW membagikan tanah di Madinah kepada masyarakat untuk membangun perumahan, mendirikan pemandian umum d sudut kota, membangun pasar, memperluas jaringan jalan, dan memperhatikan jasa pos. Khalifah Umar bin Khattab membangun kota Kufah dan Basrah dengan memberi perhatian besar pada infrastruktur dan tata ruang kota. Beliau juga memerintahkan Gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk mempergunakan sepertiga penerimaan Mesir untuk pembangunan jembatan, kanal, dan jaringan air bersih.


Keempat, Islam mendorong penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada masyarakat luas (pro-poor public services). Terdapat tiga bidang pelayanan publik yang mendapat perhatian Islam secara serius: birokrasi, pendidikan, dan kesehatan.


Di dalam Islam, birokrasi adalah amanah untuk melayani publik, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau golongan. Khalifah Usman tidak mengambil gaji dari kantor-nya. Khalifah Ali membersihkan birokrasi dengan memecat pejabat-pejabat pubik yang korup. Selain itu, Islam juga mendorong pembangunan pendidikan dan kesehatan sebagai sumber produktivitas untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Nabi Muhammad SAW meminta tebusan bagi tawanan perang dengan mengajarkan baca tulis kepada masyarakat. Nabi Muhammad juga menyuruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan memerintahkan agar orang sakit dikarantina hingga sembuh untuk mencegah penyebaran penyakit.


Kelima, Islam mendorong kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin (pro-poor income distribution). Terdapat tiga instrument utama dalam Islam terkait distribusi pendapatan yaitu aturan kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan qardul hasan, infak, dan wakaf. Islam mengatur bagi setiap orang yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi milik-nya. Dan bagi siapa saja yang menelantarkan tanahnya, maka negara berhak mengambilnya untuk kemudian memberikan kepada orang lain yang siap mengolah-nya. Dengan penerapan zakat, maka tidak akan ada konsentrasi harta pada sekelompok masyarakat. Zakat juga memastikan bahwa setiap orang akan mendapat jaminan hidup minimum sehingga memiliki peluang untuk keluar dari kemiskinan. Lebih jauh lagi, untuk memastikan bahwa harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja, Islam juga sangat mendorong orang kaya untuk memberikan qard, infak, dan wakaf.


Demikianlah Islam mendorong pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, fokus pada pengembangan sektor riil, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.


Oleh: Yusuf Wibisono, Dosen UI
Sumber: Republika Online

Klik suka di bawah ini ya