Meriset dengan Hati

Akhir-akhir ini banyak pihak kembali menyuarakan rendahnya produktivitas para peneliti Indonesia. Mulai dari jajaran petinggi universitas hingga Direktorat Pendidikan Tinggi kembali mengeluh kalau peneliti Indonesia malas menulis. Dampaknya adalah rangking dan reputasi universitas-universitas Indonesia di tingkat dunia sulit beranjak ke posisi memuaskan.

Banyak upaya telah dicoba untuk mengatasi permasalahan. ITB, IPB, dan UI bahkan dengan gencar mencoba mengangkat jurnal-jurnal mereka agar berstatus internasional. Ini tentu selain untuk mewujudkan image yang positif akan PT tersebut, diharapkan akan dapat mendongkrak produktivitas publikasi para penelitinya. Tapi, seperti dituturkan Direktur Riset dan kajian Strategis IPB, Arif Satria, yang dikutip dari media massa, tidak mudah untuk menggolkan sebuah jurnal untuk berstatus internasional. Apalagi, untuk tersenarai dalam sistem pangkalan data jurnal bergengsi seperti ISI, Scopus, dan sabaginya. Namun, pokok persoalan sebenarnya adalah pada diri peneliti sendiri.


Sebuah pengalaman
Pada awal Juni lalu, ketika tengah berlibur bersama keluarga di Bandung, penulis menerima email yang cukup mengangetkan. Penulis diminta segera berangkat ke Bangkok untuk menghadiri malam final Anugerah Saintis Muda Asia Pasifik 2009 yang diprakarsai oleh Scopus (Asia Pacific Young Scientist Award 2009 by Scopus). Seperti sedia maklum, Scopus merupakan situs pencarian jurnal ilmiah serta indeks citation (kutipan) terbesar di dunia. Scopus dimiliki oleh Elsiever, salah satu publisher jurnal dan buku ilmiah raksasa dunia.


Kaget, lantaran keikutsertaan penelitian dalam ajang prestisus itu sebenarnya tak lebih dari sekadar iseng belaka. Seorang karib berkebangsaan Jepang yang penulis tahu betul kualitas serta produktivitas keintelektualannya pernah bercerita bagaimana tingginya level kompetisi ajang ini. Tahun lalu, sang karib tadi juga pernah ikut serta mengadu nasib. Namun, mengutip ceritanya, ''Boro-boro dipanggil ke malam final ....'' Tiga kriteria penilaian yang selalu menjadi patokan Scopus--jumlah dan kualitas karya ilmiah di jurnal dengan reputasi internasional, jumlah kutipan (citation) karya ilmiah kita yang digunakan oleh saintis lain dalam karya mereka, serta dampak sosial (social impact factor) dari karya-karya kita--sungguh tidak mudah. Dua yang pertama, malah begitu objektif karena akan ditentukan sendiri oleh sistem Scopus. Anda tentu tidak mungkin mengarang-ngarang dalam mengisi formulir penyertaan karena semuanya ada dalam pangkalan data mereka.


Seperti namanya, ajang ini diperuntukkan bagi para saintis muda di kawasan Asia Pasifik, yaitu mereka yang berusia di bawah 40 tahun, per April kemaren. Lalu, entah kenapa, tiba-tiba tetap ada keinginan mengisi data peserta yang semua tersedia online. Keinginan untuk mencoba membawa nama bangsa Indonesia. Pas di hari terakhir batas penutupan. Yang diusung hanya catatan riset berupa 40-an karya ilmiah di jurnal bereputasi internasional, 60-an paper yang dipresentasikan di konferensi internasional, puluhan artikel ilmiah populer di berbagai media massa, 20-an anugerah sains di tingkat lokal maupun internasional, beberapa bab buku ilmiah internasional, serta beberapa paten hasil penelitian sebelumnya, yang bagi sebagian orang mungkin bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa.


Namun, ternyata ada rezeki berpihak pada penulis. Nama Indonesia disebutkan, mengundang deru dan haru di sanubari. Kendati penulis mewakili sebuah universitas di Malaysia.


Riset dengan nurani
Ada satu hal yang muncul di pikiran ketika di babak terakhir, ketika salah satu dewan juri, seorang profesor emeritus yang sarat pengalaman, bertanya bagaimana penulis bisa mempunyai catatan publikasi sedemikian dalam umur karier akademis yang belum begitu lama, baru 8 tahun. Tiba-tiba saja penulis menjawab bahwa segala sesuatunya mesti dikerjakan dengan hati. Ini falsafah yang penulis dapat dari Bapak FG Winarno, pembimbing skripsi penulis waktu S1 dulu di IPB, seorang mahaguru yang tetap menjadi panutan hingga kini. Lebih 15 tahun lalu, saat penulis pamitan padanya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya dan memilih karier di jalur akademis. Kata Pak Win waktu itu, bahkan dalam riset sekalipun, semuanya akan menjadi nikmat kalau hati turut berperan.


Kenikmatan hakiki seorang saintis adalah ketika karyanya dimuat di jurnal bergengsi dengan impak faktor (impact factor) tinggi, lalu karyanya digunakan oleh saintis berikutnya sebagai referensi ilmiah, serta tentu saja bermanfaat--baik untuk ilmu pengetahuan itu sendiri maupun secara langsung untuk orang banyak. Jangankan di jurnal ilmiah yang reputable, artikel ilmiah populer yang dimuat di media massa saja, senangnya minta ampun. Penulis masih ingat, 15 tahun dahulu, ketika Pak Win memberi ''bonus'' ketika sebuah artikel ilmiah populer penulis tentang rendang Padang dimuat di media massa.


Tidak sedikit yang mengeluh bagaimana susahnya untuk menggolkan satu karya ilmiah ke jurnal internasional. Ia mungkin mengambil waktu lebih setahun. Bahkan, setelah menunggu sedemikian lama, kesimpulan akhir kadang-kadang tetap saja mengecewakan--paper Anda tidak layak untuk publikasi. Itu tentu saja belum dihitung dengan lamanya waktu yang dikorbankan untuk melakukan riset untuk menghasilkan data-data untuk publikasi sedemikian. Bisa dimengerti, kalau kemudian banyak pula yang langsung berpatah arang dan memilih jalan mudah dengan publikasi di jurnal kantor sendiri. Apalagi, kalau lingkungan juga tidak menjadikan publikasi di jurnal internasional sebagai sebuah key performance indicator (KPI).


Ini sungguh berbeda dengan di negara-negara maju, atau negara-negara berkembang yang berpikiran maju, yang sudah menjadikan kuantitas dan kualitas produk publikasi dari riset sebagai parameter terukur. Negara-negara yang sudah menjadikan publikasi ilmiah di jurnal bergengsi sebagai sebuah KPI serta guidance untuk sang saintis dalam meniti karier. Negara-negara yang sudah membuat aturan kalau di setiap kenaikan pangkat, hal yang ditanya adalah berapa jumlah paper Anda di jurnal dengan impak faktor sekian ke atas. Tidak seperti di beberapa negara berkembang di mana promosi masih saja bisa diraih meskipun hanya mengandalkan makalah seminar di dalam negeri, tanpa adanya jaminan kualitas dan sebagainya.


Ah ... seperti berkhayal membayangkan acara televisi di Jepang yang penuh dengan gameshow yang menghibur namun penuh dengan daya inovasi dan kreativitas. Tidak seperti hiburan di televisi kita, yang pagi-siang-malam, hanya mengutarakan gosip murahan atau membuka aib saudaranya sendiri yang tengah berada di ambang perceraian.


Irwandi Jaswir (Runner-up Asia Pacific Young Scientist Award 2009)
Republika Online

Klik suka di bawah ini ya