Utang luar negeri adalah salah satu problematika mendasar yang dihadapi bangsa ini. Betapa tidak, untuk tahun fiskal 2006 saja, sebagaimana yang diungkap anggota DPR Rama Pratama, bahwa sebanyak 48,70 persen dari total PPh dan PPn senilai Rp 339,2 trilyun, habis terpakai untuk membayar utang pemerintah (Republika, 17 Maret 2006). Padahal kita mengetahui bahwa uang tersebut dibayarkan oleh masyarakat luas. Dengan demikian, rakyatlah yang menanggung beban tersebut. Sungguh suatu kondisi yang sangat ironis dan pahit. Sehingga, alokasi dana APBN sebesar itu, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sistem pendidikan dan kesehatan nasional, menjadi “terbuang percuma” akibat utang yang harus dibayar pemerintah.
Sesungguhnya, pilihan untuk meminta penghapusan utang luar negeri, atau sekurang-kurangnya meminta penghapusan bunga utang, menjadi sebuah pilihan yang rasional. Namun demikian, pemerintah tampaknya memiliki pandangan-pandangan lain sehingga langkah tersebut tidak dijadikan sebagai solusi utama. Malah yang terjadi adalah kebijakan utang luar negeri tetap dipertahankan sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN. Penulis khawatir kebijakan ini akan membuat Indonesia semakin sulit keluar dari “lingkaran setan” utang dan kemiskinan.
Menyiasati kondisi yang ada, perlu kiranya dirumuskan strategi alternatif untuk bisa keluar dari perangkap tersebut. Penulis melihat bahwa ekonomi syariah adalah alternatif yang tepat. Pada kesempatan ini, penulis bermaksud mengusulkan beberapa skenario yang bisa dilakukan oleh pemerintah berdasarkan sistem ekonomi syariah. Skenario ini diarahkan sebagai upaya untuk mengembangkan perekonomian nasional, sekaligus tidak merugikan negara-negara yang selama ini telah menjadi kreditor bagi Indonesia.
Caranya adalah dengan mengkonversi dana utang yang harus dibayar, yang berjumlah ± 90 trilyun rupiah untuk APBN 2006, kedalam berbagai bentuk pola hubungan investasi dan pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Intinya, daripada dana tersebut diberikan begitu saja kepada negara kreditor, lebih baik dana tersebut dikelola oleh negara untuk kepentingan ekonomi rakyat dengan skenario yang menguntungkan semua pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. Pendeknya, ini adalah win-win solution dan oleh karena itu, renegosiasi utang merupakan jalan yang terbaik.
Satu hal sebagai langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan kebijakan utang luar negeri secara total. Pemerintah harus memiliki keyakinan kuat bahwa langkah tersebut memiliki manfaat yang lebih baik buat negara ini. Tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat skenario-skenario yang mungkin diimplementasikan beserta langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjutnya.
Tiga Skenario
Berbicara mengenai strategi, penulis berpendapat bahwa ada 3 skenario yang dapat dinegosiasikan oleh pemerintah kepada para kreditor. Skenario tersebut adalah : (1) investasi berbasis mudarabah, (2) investasi berbasis musyarakah mutanaqisoh, dan (3) investasi berbasis ijarah.
Pada skenario pertama, yang dijadikan landasan adalah mudarabah. Dalam skema ini, negara-negara kreditor bertindak sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan Indonesia bertindak sebagai mudarib atau partner yang menjadi pengelola usaha/investasi. Kedua belah pihak harus menyepakati rasio bagi hasil atas keuntungannya, misalkan 70 persen untuk mudarib dan 30 persen untuk rabbul maal. Indonesia bertanggung jawab secara penuh terhadap aspek manajemen atau pengelolaan investasinya. Sebagai contoh, jika Jepang setuju untuk menjadi rabbul maal untuk proyek pembangunan pabrik kelapa sawit di Sumatera senilai Rp 100 milyar, maka Indonesia sebagai mudarib bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan pabrik, termasuk dalam merekrut pekerja dan memasarkan hasil produk. Jika rugi, maka Jepang-lah yang akan menanggung kerugian finansial, sementara Indonesia menanggung kerugian waktu dan tenaga.
Keuntungan skema ini adalah negara-negara kreditor tidak akan kehilangan uangnya, karena Islam menjamin pokok pinjaman tidak akan berkurang meskipun nantinya menderita kerugian. Sedangkan bagi Indonesia, ia bebas untuk memenej dan menentukan pengembangan usahanya, sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya.
Pada skenario yang kedua, yang dijadikan sebagai landasannya adalah musyarakah mutanaqisoh. Dalam pola ini, baik negara-negara kreditor maupun Indonesia sama-sama berbagi keuntungan dan kerugian dengan rasio tertentu. Begitu pula dalam hal manajemen dan pengelolaan dimana kedua belah pihak memiliki kontribusi masing-masing. Namun dalam perjalanannya, Indonesia memiliki hak untuk membeli proporsi kepemilikan/saham negara kreditor dengan prosentase tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, sehingga pada suatu saat, seluruh saham akan dimiliki oleh Indonesia.
Sebagai contoh, Jepang dan IMF setuju untuk mengkonversi piutang mereka senilai 5 trilyun rupiah untuk berkongsi dengan Indonesia dalam sebuah mega proyek eksplorasi minyak senilai 8 trilyun. Kontribusi Indonesia adalah sebesar 3 trilyun (37,5 persen). Segala keuntungan dan kerugian ditanggung bersama dengan rasio 5:3. Kemudian sesuai kesepakatan, setelah 10 tahun, Indonesia berhak membeli saham mereka setahap demi setahap sesuai dengan harga pasar. Setelah 20 tahun, seluruh saham proyek tersebut menjadi milik Indonesia. Keuntungan bagi Jepang dan IMF adalah, disamping uang mereka yang 5 trilyun tidak hilang karena saham mereka dibeli oleh Indonesia, mereka pun memperoleh profit dari mega proyek tersebut selama 20 tahun. Bagi Indonesia, keuntungannya jelas, yaitu terserapnya pengangguran dan meningkatnya pendapatan nasional.
Pada skenario yang ketiga, yang menjadi landasannya adalah ijarah. Negara-negara kreditor bertindak sebagai muwajjir (yang menyewakan) dan Indonesia bertindak sebagai musta’jir (penyewa) atas suatu barang. Muwajjir berhak mendapatkan imbalan jasa atas barang yang disewakannya. Misalnya, Indonesia membutuhkan kapal-kapal penangkapan ikan yang modern senilai 1 trilyun. Jepang kemudian setuju untuk mengkonversi piutangnya senilai 1 trilyun dengan menyediakan kapal-kapal untuk disewakan kepada Indonesia. Indonesia pun setuju untuk membayar sewanya selama 10 tahun dengan nilai 120 milyar rupiah per tahun. Dalam konteks ini, Jepang mengambil margin fee sebagai jasa yang diberikan sebesar 20 persen. Jika Indonesia diberi opsi untuk membeli kapal-kapal tersebut setelah masa sewa, maka skema ijarah ini berkembang menjadi ijarah wa iqtina.
Bagi Jepang, ia mendapatkan keuntungan dari sewa kapal sebesar 20 persen. Sedangkan bagi Indonesia, jika ia langsung membayar utang 1 trilyun kepada Jepang, maka ia tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi ketika utang tersebut dikonversi ke dalam skema ijarah, maka meskipun ia harus membayar 1,2 trilyun pada akhirnya, namun ia mampu menggerakkan perekonomiannya. Dengan kapal-kapal modern yang digunakannya, Indonesia mampu berproduksi lebih banyak sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan lebih menguntungkan bagi rakyatnya.
Langkah ke depan
Fokus penulis adalah pada 3 skenario di atas, meskipun bisa saja ditambahkan skenario yang lain. Namun demikian, skenario tersebut tidak akan bermakna jika tidak diikuti dengan langkah-langkah kongkrit pemerintah. Pertama, pemerintah harus membuat rencana pengembangan investasi sektor riil secara tepat dan terpadu. Jika seandainya pemerintah berkewajiban untuk membayar utang LN senilai Rp 100 trilyun, maka pemerintah harus segera menyusun rencana pengembangan berbagai proyek bisnis/investasi senilai Rp 100 trilyun, dalam bentuk 100 proyek yang berbeda-beda, di berbagai wilayah nusantara, dengan menyerap tenaga kerja yang berasal dari bangsa sendiri. Selanjutnya, proyek-proyek tersebut dipilah-pilah untuk ditentukan skenario mana yang cocok untuk diterapkan. Koordinasi antar instansi pemerintah sangat mutlak diperlukan. Pemerintah daerah pun harus dilibatkan. Dengan potensi sumberdaya alam yang luar biasa, penulis yakin bahwa negara kita akan mampu membuat ribuan rencana investasi di sektor riil dengan nilai trilyunan rupiah.
Kedua, perlu dibentuk tim lobi yang kuat, dimana negara-negara kreditor harus diyakinkan bahwa skenario yang ditawarkan tidak akan merugikan mereka. Malah sebaliknya, menguntungkan mereka. Presiden SBY sebaiknya turun langsung untuk memimpin proses negosiasi tersebut.
Ketiga, pemerintah harus membuat berbagai instrumen investasi syariah yang kuat dan kokoh, seperti SUN (Surat Utang Negara) Syariah. Kemudian pemerintah pun harus menjamin efisiensi birokrasi dan terbebas dari perilaku korup. Begitu pula dalam proses perencanaan proyek, harus dijamin bahwa nilai investasi riil yang ditawarkan kepada negara kreditor betul-betul terbebas dari mark-up. Jika ada pejabat yang terindikasikan melakukan mark-up dan korupsi, maka hukum harus ditegakkan. Jika perlu, dengan hukuman mati. Wallahu’alam.
Oleh : Irfan Syauqi Beik, M.sc.
Pesantren Virtual