Pertumbuhan dunia perzakatan tanah air dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari sisi penghimpunan, dana zakat yang terkumpul menunjukkan tren kenaikan secara kontinu. Pada 2002, data nasional pengumpulan zakat yang ada pada BAZNAS, meski belum mencakup semua lembaga zakat, menunjukkan angka Rp 68,4 miliar. Kemudian pada 2008, angka ini naik menjadi Rp 930 miliar, atau meningkat sebesar 1.260 persen dalam kurun waktu 6 tahun. Ditargetkan, pada 2009 ini angka tersebut bisa mencapai Rp 1 hingga 1,2 triliun. Sebuah pencapaian yang sangat baik dan menunjukkan kesadaran masyarakat yang terus meningkat, meski nilai ini masih kurang dari 10 persen dari total potensi zakat yang ada. Sedangkan dari sisi pendayagunaan, meskipun belum ada datanya secara nasional, program zakat diyakini telah mampu meng-cover ratusan ribu mustahik setiap tahunnya, terutama dalam tiga tahun terakhir.
Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dunia perzakatan, baik dari sisi sosialisasi, regulasi, pengelolaan, maupun dari sisi sumber daya manusianya. Keempat aspek ini perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius agar instrumen zakat, infak, dan sedekah ini bisa memainkan peran yang lebih signifikan dalam perekonomian Indonesia pada masa yang akan datang.
Sosialisasi dan Kelembagaan
Di antara problem mendasar belum optimalnya penghimpunan zakat melalui lembaga adalah masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa menyalurkan zakat langsung kepada mustahik adalah lebih afdal. Padahal, dalam catatan shirah nabawiyyah, pada zaman Rasulullah SAW tidak pernah ada satu contoh pun yang menunjukkan bahwa zakat diberikan kepada mustahik oleh muzaki secara langsung tanpa melalui perantara petugas khusus amil zakat. Pengecualian adalah pada pemberian infak dan sedekah, di mana seorang munfik dapat menyerahkan langsung dana infak kepada penerimanya. Karena itu, Rasulullah SAW selalu menunjuk sejumlah sahabat untuk menjadi petugas khusus pemungut zakat.
Pola seperti ini terus berlanjut hingga zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin 'Affan. Persoalan mulai muncul pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana beliau banyak menghadapi fitnah politik dan penentangan dari sejumlah pihak yang berusaha memecah belah umat Islam. Dalam penelitian Ugi Suharto (2005) tentang Kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid, dinyatakan bahwa kondisi politik yang tidak menentu pada masa itu menyebabkan timbulnya keraguan untuk membayar zakat kepada lembaga (baca: negara). Hal tersebut dikarenakan situasi politik dan pemerintahan yang tidak stabil. Seorang sahabat bernama Ibn Umar ra, setiap kali ditanya oleh para pembantunya dari kaum Anshar tentang kepada siapakah mereka harus membayar zakat, selalu memberikan jawaban yang berbeda-beda.
Pada satu waktu Ibn Umar ra menyerukan untuk membayar zakat kepada Ummal (petugas pengumpul zakat). Lalu pada kesempatan lain, beliau menyatakan sebaiknya zakat diserahkan kepada kaum mayoritas yang sedang berkuasa (ghalaba). Namun, kemudian beliau pun menyesuaikan pandangannya dengan situasi yang terjadi, dengan mengatakan, ''Bayarlah zakat langsung kepada mereka yang berhak menerimanya.'' (Ugi Suharto, 2005). Inilah barangkali yang menjadi dasar argumentasi sebagian pihak yang menyatakan bahwa zakat sebaiknya langsung diberikan kepada mustahik. Apalagi ada keraguan terhadap komitmen pemerintah terhadap Islam dan umat Islam, termasuk apakah dana yang ada akan sampai ke tangan yang berhak menerimanya atau justru akan dikorupsi.
Jadi, melihat akar sejarah tersebut, kata kunci yang sangat menentukan adalah faktor kepercayaan. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah BAZ dan LAZ yang ada. Masyarakat harus terus-menerus diyakinkan bahwa BAZ dan LAZ yang ada adalah lembaga yang betul-betul amanah. Keberhasilan BAZNAS meraih ISO 9000:2001 seharusnya bisa memecah keraguan yang ada. Apalagi ada ancaman sanksi pidana penjara dan denda bagi amil yang tidak amanah (Pasal 21, UU 38/1999).
Karena itulah, sosialisasi ini harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa yang lebih sesuai dengan tuntunan syariah adalah dengan menyerahkan zakat kepada lembaga amil, dan bukan langsung kepada mustahik. Inilah yang lebih afdal dan lebih sesuai sunah Rasul, serta lebih memiliki potensi untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Tanpa pengelolaan melalui lembaga amil yang amanah, dampak pemberian zakat hanya akan bersifat temporal dan sesaat.
Sedangkan mengenai komitmen duet presiden-wapres terpilih SBY-Boediono terhadap pengembangan ekonomi syariah secara umum, termasuk terhadap zakat, kita bisa merujuk kepada janji Boediono beberapa waktu lalu. Beliau menyatakan secara eksplisit bahwa ekonomi syariah adalah kunci untuk bisa lepas dari krisis, dan berjanji untuk mengembangkannya secara serius (Republika, 9 Juni 2009). Sebuah janji yang harus kita kawal, agar ia bisa menjadi kenyataan.
Regulasi dan SDM
Isu lain yang menentukan masa depan zakat di tanah air adalah amandemen UU 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Penulis melihat bahwa waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proses pembahasan UU ini adalah kurang dari dua bulan. Penulis khawatir, jika DPR 2004-2009 tidak mampu menyelesaikan proses amandemen ini dalam waktu yang tersisa, pembahasan oleh DPR periode berikutnya akan memakan waktu yang lebih lama lagi. Apalagi komitmen para caleg terpilih 2009-2014 terhadap zakat masih belum jelas. Keberadaan amandemen UU ini sangat penting ke depannya, terutama dalam penataan pembangunan zakat.
Isu lain terkait regulasi adalah masalah struktur organisasi, fungsi, dan kewenangan lembaga zakat, mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kecamatan. Harus ada pembagian yang jelas antara lembaga zakat di semua tingkatan, termasuk model pengembangan lembaga zakat ke depan, apakah BAZ dan LAZ dileburkan jadi satu, atau dibuat seperti model sektor moneter, di mana ada lembaga zakat sentral laiknya Bank Indonesia, dan BAZ-LAZ yang berperan laiknya bank pemerintah dan bank swasta.
Selanjutnya adalah kebijakan zakat pengurang pajak. Ini adalah kebijakan yang diharapkan dapat mendongkrak penghimpunan zakat sehingga memberikan peluang yang lebih besar kepada instrumen zakat untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Riset Patmawati (2006) menunjukkan bahwa dengan adanya distribusi zakat, kelompok 40 persen masyarakat terbawah di negara bagian Selangor Malaysia, mampu menikmati kue total pendapatan yang lebih besar, dari 8,62 persen menjadi 10,62 persen. Sedangkan kelompok 20 persen masyarakat teratas mengalami penurunan share dari 54,5 persen menjadi 49,8 persen. Kesenjangan di antara kedua kelompok tersebut dapat dikurangi melalui pemanfaatan zakat. Sedangkan, angka kemiskinan dapat dikurangi 15 persen.
Karena itu, penulis melihat bahwa integrasi zakat dalam kebijakan fiskal nasional merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Amandemen UU 38/1999 adalah langkah awal proses integrasi ini. Di samping itu, juga diperlukan sejumlah terobosan kreatif terkait kebijakan zakat. Sebagai contoh, ketentuan bebas fiskal tidak hanya diterapkan kepada mereka yang memiliki NPWP, namun kepada warga negara yang memiliki NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat). Artinya, jika seorang muslim tidak memiliki NPWP dan NPWZ, ia diharuskan membayar fiskal.
Kemudian selanjutnya, yang juga sangat menentukan masa depan zakat adalah SDM zakat itu sendiri. Upaya menghasilkan SDM zakat yang berkualitas melalui sistem dan institusi pendidikan yang terintegrasi dengan baik, harus menjadi prioritas agenda zakat nasional ke depan. Keberadaan perguruan tinggi yang membuka departemen atau konsentrasi ekonomi syariah harus terus-menerus didorong. Insya Allah, jika kesemua agenda ini dapat dilaksanakan, masa depan zakat Indonesia akan menjadi lebih baik. Wallahu'alam.
Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB dan Anggota ISEFID
Republika, 2 September 2009