Melirik Aliran Dana dari Teluk

Sejak krisis likuiditas global bermula di akhir tahun lalu, perhatian dunia telah beralih kepada negara-negara penghasil minyak di kawasan teluk persia, khususnya negara-negara yang tergabung dalam blok ekonomi GCC (Gulf Cooperation Council). Hal ini disebabkan negara-negara anggota GCC memiliki surplus likuiditas yang cukup tinggi dibandingkan kawasan-kawasan lain di belahan dunia. Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya likuiditas di negara GCC adalah kenaikan drastis harga minyak dunia pada tahun 2008 lalu. Tingginya likuiditas di kawasan ini bahkan sampai memaksa perdana menteri Inggris, Gordon Brown, untuk melakukan tur di kawasan ini demi mencari suntikan dana agar menyelamatkan ekonomi Inggris dari kehancuran.

GCC adalah sebuah blok ekonomi yang beranggotakan enam negara, yaitu Kuwait, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab. Keenam negara di atas merupakan negara dengan pendapatan per kapita yang cukup tinggi dengan minyak sebagai komoditas utama penggerak perekonomian. Bahkan, pendapatan dari royalti produksi minyaknya sudah cukup untuk membuat negara-negara di kawasan ini untuk tidak terlalu menggantungkan pendapatan negaranya dari penarikan pajak. Hal ini menyebabkan kawasan ini terkenal sebagai kawasan dengan tingkat persentase pajak yang relatif rendah. Sebagai gambaran, dari surplus ekspor minyaknya, Kuwait bahkan bisa menyisihkan dana dalam jumlah yang besar bagi generasi penerusnya yang dikenal dengan Reserve Fund for Future Generation (RFFG). Sebagian besar surplus kekayaan tersebut tentunya pasti diinvestasikan dalam bentuk Investasi langsung (direct investment) ataupun investasi di pasar modal dan keuangan lokal maupun internasional. Kalau di masa lalu investasi surplus minyak atau yang dikenal dengan petrodollar terfokus di Eropa dan Amerika Serikat, sekarang sejak krisik moneter melanda dunia otoritas investasi negara-negara teluk mulai mengalihkan investasinya ke negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik dan Amerika latin.

Menurut laporan Goldman Sachs (2008), potensi investasi dari ekspor minyak diperkirakan berkisar antara 92-125 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 6-12 miliar dolar AS per tahun diinvestasikan di pasar modal di Asia Pasifik. Dengan jumlah yang cukup besar tersebut, negara-negara di Asia Pasifik mesti berkompetisi untuk mendapatkan aliran dana petrodollar ini termasuk Indonesia. Untuk memenuhi keinginan investor timur tengah yang lebih mengutamakan investasi di instrumen-instrumen keuangan syariah, negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura telah menyiapkan berbagai instrumen keuangan syariah (Islamic securities) di pasar modalnya yang berupa penerbitan sukuk (surat berharga syariah) dan penerbitan Indeks Saham Syariah yang berisikan saham-saham perusahaan yang memenuhi kriteria syariah secara kualitatif dan kuantitatif (syariah compliance share).

Indonesia sebagai negara Muslim terbesar pun tidak ketinggalan dalam usahanya menarik aliran dana dari kawasan teluk. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah, di antaranya, disahkannya UU no 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai payung hukum penerbitan sukuk negara, penerbitan SBSN pertama di kuartal terakhir 2008 dan diterbitkannya sukuk retail di bulan Februari 2009 sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam rangka menarik aliran petrodollar dari kawasan teluk. Namun, dibalik usaha-usaha pemerintah di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah agar lebih banyak lagi aliran investasi dari kawasan teluk ke Indonesia.

Pertama, Surat Berharga Syariah Negara atau sukuk negara mesti menawarkan pengembalian (yield) yang menjanjikan, diiringi dengan tingkat risiko kredit yang rendah. Itu artinya sukuk negara mesti mendapat credit rating yang baik dari lembaga rating internasional, seperti Moody, S&P, dan Fitch. Hal ini bertujuan untuk menambah kepercayaan (confident) investor terhadap SBSN. Di samping itu, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII) dan Airlangga Islamic Index mestilah tidak hanya perusahaan-perusahaan yang memenuhi kriteria syariah, tetapi juga merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai potensi keuntungan yang tinggi.

Kedua, jenis sukuk yang diterbitkan mestilah menggunakan kontrak-kontrak (uqud) yang dapat diterima secara global. Artinya, kontrak-kontrak yang kontroversi, seperti Bay Al-Inah dan Bay Al-Dayn yang tidak diterima dalam pandangan ulama di kawasan teluk sedapat mungkin mesti dihindarkan sebagai basis penerbitan sukuk.

Ketiga, pemerintah mesti lebih serius memperbaiki citra atau image Indonesia di kawasan teluk. Dalam hal ini, BAPEPAM, BKPM, Bank Indonesia, dan institusi terkait lainnya bekerja sama dengan perwakilan diplomatik Indonesia di Timur Tengah harus melakukan promosi secara intensif tentang iklim investasi di Indonesia. Selain itu, promosi dan infrastruktur pariwisata mesti lebih ditingkatkan. Karena, pariwisata mempunyai efek berantai yang besar, salah satunya adalah terhadap investasi. Sebagai contoh, negara jiran Malaysia melalui usaha diplomasi yang cukup panjang dan intensif dari tahun 1990-an sudah cukup berhasil mendapatkan citra yang baik di kawasan teluk, salah satunya adalah melalui promosi dan infrastruktur pariwisata yang baik. Penulis yakin apabila ketiga hal di atas menjadi fokus pemerintah, Indonesia bisa mendapatkan aliran dana petrodollar yang lebih banyak guna menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa di masa yang akan datang.

Sutan Emir Hidayat, Dosen Keuangan Islam, University College of Bahrain
Sumber: Republika Online

Klik suka di bawah ini ya