Refleksi Pembiayaan Syariah

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia tidak mau ketinggalan dalam pendirian bank syariah. Pada 1991, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pemerintah, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim memprakarsai pendirian bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia.

Karena pengembangan bank syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Indonesia mempunyai peluang besar untuk menjadi pemimpin pasar pembiayaan syariah global. Hal ini terbukti dari rata-rata pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia sebesar 36 persen per tahun sedangkan perbankan syariah global memiliki rata-rata pertumbuhan  sekitar 15 sampai dengan 20 persen per tahun.

Lebih lanjut, berdasarkan statistik Bank Indonesia per Oktober 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 156 BPRS. Sedangkan total jaringan kantor industri perbankan syariah mencapai 2.574 kantor yang tersebar hampir seluruh Indonesia.

Permasalahan utama
Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Namun demikian, bank syariah memiliki perbedaan operasional yang cukup mendasar dengan bank konvensional. Sesuai dengan karakteristiknya, bank syariah banyak dikenal sebagai bank yang menggunakan sistem bagi hasil atas produk-produknya.

Tapi sebenarnya, ada juga. produk funding (pendanaan) dan financing (pembiayaan) bank syariah yang dijalankan dengan sistem non bagi hasil. Untuk produk pendanaannya, bank syariah dapat menggunakan akad wadi’ah, qardh, maupun ijarah. Sementara itu, untuk produk pembiayaannya, bank syariah dapat menggunakan sistem jual beli (berdasar akad murabahah, salam, dan istishna) dan sewa (berdasar akad ijarah).

Statistik perbankan syariah Bank Indonesia mengungkap bahwa bank syariah (baik itu BUS maupun UUS) lebih banyak menggunakan akad murabahah di dalam produk pembiayaannya. Terlihat jelas dalam data tersebut bahwa lebih dari 50 persen total portofolio pembiayaan bank syariah menggunakan akad murabahah dalam hampir lima tahun terakhir (2008 – Oktober 2012). Karena itu, fokus pembahasan penulis dalam artikel kali ini hanyalah pada produk pembiayaan bank syariah berbasis akad murabahah. 

Pertanyaannya paling mendasar yang ingin penulis bahas adalah apakah bank syariah sudah mempraktikkan pembiayaan berbasis akad murabahah dengan benar sesuai dengan yang syariah Islam? Dr Erwandi Tarmizi MA dalam bukunya, Harta Haram Muamalat Kontemporer, menjelaskan bahwa bank syariah belum mempraktikkan akad murabahah sebagaimana seharusnya. Akibatnya mayoritas pembiayaan berbasis akad murabahah tersebut dikategorikan batil atau tidak sah.

Sedikitnya ada dua penjelasan mengapa akad murabahah yang di praktikkan dalam pembiayaan bank syariah dapat dikategorikan tidak sah. Pertama, dalam akad murabahah, seharusnya bank syariah hanya boleh ‘menjual’ obyek murabahah, misalnya, rumah, setelah bank syariah memiliki rumah tersebut secara penuh. Namun, praktik di lapangan mengungkap, umumnya pihak bank syariah belum memiliki secara penuh rumah yang diperjualbelikan tersebut,

Nasabah transaksi terlebih dahulu dengan pemilik/pengembang rumah yang ingin dibiayai. Mereka terlebih dahulu membayar down payment (DP) kepada pihak penjual dan bank syariah hanya menutupi sisa pembayaran kepada penjual. Hal ini jelas bukan merupakan praktik murabahah yang sesungguhnya.

Atas hal ini, Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yang berkantor pusat di Bahrain menjelaskan, “Haram hukumnya pihak lembaga keuangan menjual barang dalam bentuk murabahah sebelum barang tersebut dimilikinya.” Hal senada juga terdapat di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah yang menjelaskan bahwa jika bank syariah menerima permohonan pembiayaan nasabah maka bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesan oleh nasabah secara sah dengan penjual (supplier).

Permasalahan kedua pada akad murabahah terjadi saat bank membuat akad wakalah (perwakilan) dengan nasabah. Berdasarkan akad ini, bank syariah memberi mandat pada nasabah untuk mewakilkannya membeli (dan menerima) barang sesuai yang diinginkannya.

Yang menjadi permasalahan disini adalah bank menjual obyek yang diperjualbelikan tersebut pada nasabah tanpa terlebih dahulu menerima barang. Padahal sudah jelas bahwa akad wakalah bukanlah akad jual beli. Akibatnya transaksi ini sama dengan pinjaman berbunga.

Langkah ke depan
Praktik-praktik tersebut jelas sangat merugikan nasabah. Kebanyakan nasabah sudah sangat bersyukur bila permohonan pembiayaannya dapat disetujui bank syariah. Mereka mungkin tidak akan terlalu mengurusi tahapan operasional yang terjadi di balik akad pembiayaan yang mereka lakukan jika pihak bank tidak menjelaskannya secara transparan.

Jika kita menunjuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas hal ini maka pertanyan berikutnya adalah apakah DPS sudah cukup efektif menjalankan fungsi dan perannya di bank syariah? Penulis pernah bertukar pikiran dengan seorang staf divisi kepatuhan syariah di sebuah bank syariah. Beliau mengatakan DPS sudah cukup berusaha untuk menegakkan kepatuhan syariah dalam produk-produk perbankan syariah.

Namun sayangnya, ikhtiar ini selalu terbentur oleh keputusan ‘pejabat teras’ bank syariah yang menganggap bahwa kekakuan terhadap kepatuhan syariah dapat menghambat pencapaian target bank. Akibatnya, saran dari DPS hanya sekedar angin lalu. Ini sangat bahaya jika didiamkan.

Sudah menjadi pemahaman publik bahwa prioritas utama yang harus dipenuhi bank syariah adalah kepatuhan terhadap syariah. Karena itu, Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS – BI) harus turun tangan. Penulis pun berharap DPbS – BI bisa berperan sebagai pintu terakhir penegakkan kepatuhan syariah atas setiap produk bank syariah.

Ilham Reza Ferdian
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Ex-Praktisi Bank Syariah


Klik suka di bawah ini ya