Wakaf Tunai dalam Hukum Indonesia

Oleh: Suhrawardi K Lubis*

SUBSTANSI wakaf tunai telah lama muncul. Bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun persoalan ini telah diperbincangkan, yaitu seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqh mu’amalah dalam perspektif maqashid as syariah (filosofi dan tujuan syariat) yang dalam pandangan Umar Chapra (1992) bermuara pada al mashlahah al mursalah (kemaslahatan umum) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Di Indonesia, wakaf telah menjadi bagian praktek keberagaman semenjak agama Islam datang ke wilayah nusantara, dan terus berkembang seiring dengan perkembangan Islam di Indonesia.

Di kalangan umat Islam, wakaf yang sangat populer masih terbatas pada benda tetap berupa tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk tanah pekuburan, tempat ibadah dan pendidikan. Baru beberapa tahun belakangan ini dikenal adanya wakaf yang berbentuk tunai/uang (cash) dan wakaf atas benda bergerak yang manfaatnya untuk kepentingan keagamaan, pendidikan, penelitian, perkhidmatan sosial, membantu ekonomi lemah dan lain-lain.

Wacana wakaf uang/tunai ini mendapat respon positif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah pada tahun 2001 Prof. M.A Manan, ketua Social Investment Bank Ltd (SIBL) memberikan seminar di Indonesia mengenai wakaf uang. Akhirnya tanggal 11 Mei 2002 MUI mengeluarkan fatwa tentang diperbolehkannya wakaf uang (waqf al-nuqud), dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya.

Perbincangan dan fatwa MUI ini disikapi beragam oleh masyarakat, di antaranya Bank Muamalat Indonesia (BMI) meluncurkan produk yang dinamakan dengan Sertifikat Wakaf Tunai, yaitu dengan cara menyetor sejumlah uang ke pihak BMI, seterusnya BMI mengeluarkan Sertifikat Wakaf Tunai kepada pewakaf. Uang wakaf tersebut diinvestasikan oleh pihak Bank, dan hasil investasinya digunakan sesuai tujuan wakaf oleh si pewakaf.

Perjuangan untuk membuat payung hukum kegiatan wakaf dalam bentuk Undang-Undang terus digalakkan oleh berbgai kalangan. Akhirnya, pihak Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

Peraturan perundang-undang tersebut antara lain mengatur bentuk benda wakaf, yaitu benda tetap, dan benda tidak tetap dan uang. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28 s/d 31 UU No 41 Tahun 2004 dan Pasal 22 s/d 27 PP No 42 Tahun 2006.

Wakaf benda tidak tetap antara lain berupa uang, dilakukan oleh wakif melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk oleh menteri. (Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004). Wakaf atas benda tidak tetap berupa uang ini dilaksanakan oleh wakif secara tertulis kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS), kemudian oleh LKS diterbitkan sertifikat wakaf tunai/uang, selanjutnya sertifikat wakaf uang yang telah diterbitkan itu oleh LKS disampaikan kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf (Pasal 29 UU No. 41/2004). Kemudian Lembaga Keuangan Syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang tersebut kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang. (Pasal 30 UU No. 41/2004).

Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 ditegaskan bahwa wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah, jika uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing seperti Rial, Dolar, Euro, Ringgit Malaysia dan sebagainya, dikonversi terlebih dahulu ke dalam mata uang rupiah. (Pasal 22 PP No. 42/2006).

Bagi seorang wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. Hadir di Lembaga Keungan Syariah Penerima wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;

b. Menjelaskan kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;

c. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;

d. Mengisi form pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai akta ikrar wakaf (AIW). (Pasal 22 ayat 3 PP No. 42/2006)

Dalam hal wakif tidak dapat hadir ke LKS-PWU maka wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya, dan wakil dari wakif tersebut dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada nazir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan seterusnya nazir menyerahkan akta ikrar wakaf (AIW) tersebut kepada LKS-PWU. (Pasal 22 ayat 4 dan 5 PP No. 42/2006)

Beberapa pasal ketentuan Perundang-undangan di atas memperlihatkan secara tegas bahwa wakaf tunai/wakaf uang diakui keberadaannya dalam hukum positif di Indonesia.

Di samping itu, dalam Undang-undang wakaf juga diperintahkan pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bertugas memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, badan ini merupakan lembaga yang independen. Menurut UU Wakaf keanggotaan BWI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sedangkan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dilakukan oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri serta diumukan kepada masyarakat luas.

Namun sayang, tiga tahun lebih sudah berlalu dan entah karena alasan apa, sampai hari ini badan tersebut belum juga dibentuk oleh Pemerintah, padahal keberadaan lembaga tersebut merupakan tuntutan UU Nomor 21/2004.

Tentunya umat Islam di seluruh Indonesia berharap, kiranya badan ini segera dapat dibentuk dalam waktu yang tidak terlalu lama agar persoalan perwakafan di Indonesia dapat dikelola secara produktif dan profesional, dan pada gilirannya hasil pengelolaan wakaf tentunya akan dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Semoga!.

*Pengajar UMSU, Pengelola Gerakan Wakaf Tunai PW.Muhammadiyah SU dan Peserta Program PhD USM Pulau Pinang-Malaysia, bidang kajian Pengurusan Pembangunan beteraskan Islam. E-mail: suhrawardilubis@yahoo.com, http://suhrawardilubis.multiply.com

Klik suka di bawah ini ya