Dalam menjalankan kegiatan ekonomi, Allah telah menetapkan aturan-aturan yang merupakan batas-batas perilaku manusia, yang menguntungkan suatu individu tanpa merugikan individu yang lain. Perilaku inilah yang harus diawasi dengan berlandaskan aturan Islam. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk menyejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum.
Pro kontra bioteknologi
Saat ini masih terdapat pro dan kontra terhadap bioteknologi yang sedang berkembang. Salah satunya adalah pangan transgenik yang diperdagangkan untuk tujuan komersil. Pangan transgenik adalah tanaman pangan yang dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, seperti meningkatkan resistensi terhadap pestisida, hama, kekeringan, selain dapat diproduksi secara singkat.
Pada tahun 2010, sebanyak 50 persen dari kedelai impor yang digunakan di Indonesia merupakan produk transgenik yang di antaranya didatangkan dari Amerika Serikat. Indonesia tercatat sebagai negara kesepuluh terbesar di dunia dalam hal impor kedelai (lihat Tabel 1). Hal ini menyebabkan sebagian besar produk olahan kedelai, seperi tahu, tempe, dan susu kedelai merupakan hasil dari tanaman transgenik. Dewasa ini, banyak penelitian telah dilakukan terhadap tanaman transgenik yanga ternyata hasilnya berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
Di Amerika Serikat, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dr Seralini, seorang peneliti Perancis dari University of Caen, terhadap Genetically Modified Organism (GMO), suatu tanaman transgenik di suatu perusahaan bioteknologi raksasa Amerika. Hasil studi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah hewan percobaan yang diberi tiga tipe jagung hasil modifikasi genetik dilaporkan mengalami gejala kerusakan organ hati dan ginjal. Hasil studi tersebut tidak menunjukkan adanya racun, hanya gejala keracunan.
Hal ini diyakini bukan akibat dari racun yang akut, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa produk itu tidak memiliki efek kronis. Eksperimen dilakukan dengan menguji tiga strain produk jagung GMO yang tahan pestisida. Ketiga jenis produk tersebut kemudian diberikan pada tikus percobaan. Setelah tiga bulan, peneliti melakukan pengu jian terhadap beberapa fungsi organ dan hasilnya ditemukan beberapa keganjilan pada bagian liver dan ginjal tikus.
Tentu perlu diingat kembali, dikarenakan adanya upaya perubahan genetis dalam suatu organisme makhluk hidup, akan terjadi perubahan genetis secara bertahap melalu pola rantai makanan. Hal ini berdampak pada perubahan ekosistem yang ada. Meskipun hingga saat ini belum ada laporan mengenai masalah terhadap orang yang mengonsumsi produk pangan transgenik, namun pemerin-tah melalui instansi terkait perlu berhati-hati atas produk yang akan dikonsumsi masyarakat. Selain itu konsumen perlu diberitahu jenis pangan transgenik atau bukan, agar konsumen dapat memilih produk yang sesuai dengan kriterianya.
Keamanan pangan
Untuk mengatur keamanan tanaman transgenik pemerintah mengeluarkan keputusan pada tahun 1999 tentang “Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman” No.998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/199; dan 015A/NmenegPHOR/09/1999 yang mengatur pemanfaatan produk tanaman transgenik agar tidak merugikan, mengganggu, dan membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.
Walaupun demikian, tanaman transgenik yang membahayakan masih banyak yang lolos dan sampai di tangan masyarakat Indonesia untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi. Di Amerika, perusahaan transgenik rela mengeluarkan biaya iklan yang besar untuk mempromosikan produk transgenik agar masyarakat mau mengonsumsinya. Perusahaan transgenik juga rela membayar dokter untuk ikut mempromosikan produknya. Padahal produk transgenik belum teruji aman sepenuhnya untuk dikonsumsi.
Menurut Hermanu, bioteknologi lebih banyak membawa mudharat daripada manfaatnya, khususnya bagi petani Indonesia karena umumnya perusahaan multinasional pengembang benih modern dengan investasi besar adalah perusahaan yang memproduksi pestisida. Perusahaan transgenik biasanya bekerja sama dengan perusahaan kimia untuk memproduksi pestisida khusus untuk saling mendukung produk transgenik, karena baik bibit maupun pestisida hasil transgenik terdapat hak patennya masing-masing. Artinya hal ini dapat mengakibatkan keter-gantungan petani terhadap produk-produk transgenik, baik bibit maupun pestisida. Di Amerika, petani dilarang menyimpan bibit transgenik yang bukan dibeli dari perusa-haan pembuat produk transgenik tersebut, begitupun dengan pestisida. Lambat laun, penciptaan hegemoni dan monopoli dalam pertanian khususnya pangan, akan terjadi dalam era globalisasi ini.
Tugas pemerintah saat ini yaitu bagaimana menjadi pengatur regulasi sekaligus pelaksana kegiatan perdagangan yang pro terhadap sosial, lingkungan, dan ekonomi di tengah konspirasi kekuatan globalisasi yang mendominasi serta menimbulkan kerugian dari pelaku ekonomi yang memaksimalkan keuntungan. Pemerintah pun harus bersung-guh-sungguh dalam melindungi kepentingan rakyat, terutama para petani yang rata-rata hidup dalam keadaan yang memprihatinkan.
Di dalam Alquran dengan jelas disebutkan bahwa perdagangan atau perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari jalan yang bathil dalam pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama manusia, seperti yang tercantum dalam QS An-Nisa’: 29. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” Kemudian Rasulullah SAW bersab-da, “Usaha yang paling utama (afdhal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan hasil dari jual beli yang mabrur”. Sedangkan dalam hadits lain, beliau bersabda: ”Kedua penjual dan pembeli itu ada masa memilih selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling memberikan keterangan dengan jelas, semoga jual belinya diberkahi. Namum jika keudanya dusta dan ada yang saling disembunyikan, hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq alaih dari Hakim bin Hizam).
Mega Natasha, Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Nisa’ul Haq, Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Pro kontra bioteknologi
Saat ini masih terdapat pro dan kontra terhadap bioteknologi yang sedang berkembang. Salah satunya adalah pangan transgenik yang diperdagangkan untuk tujuan komersil. Pangan transgenik adalah tanaman pangan yang dimodifikasi atau disisipkan gen tertentu dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, seperti meningkatkan resistensi terhadap pestisida, hama, kekeringan, selain dapat diproduksi secara singkat.
Pada tahun 2010, sebanyak 50 persen dari kedelai impor yang digunakan di Indonesia merupakan produk transgenik yang di antaranya didatangkan dari Amerika Serikat. Indonesia tercatat sebagai negara kesepuluh terbesar di dunia dalam hal impor kedelai (lihat Tabel 1). Hal ini menyebabkan sebagian besar produk olahan kedelai, seperi tahu, tempe, dan susu kedelai merupakan hasil dari tanaman transgenik. Dewasa ini, banyak penelitian telah dilakukan terhadap tanaman transgenik yanga ternyata hasilnya berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
Di Amerika Serikat, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dr Seralini, seorang peneliti Perancis dari University of Caen, terhadap Genetically Modified Organism (GMO), suatu tanaman transgenik di suatu perusahaan bioteknologi raksasa Amerika. Hasil studi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah hewan percobaan yang diberi tiga tipe jagung hasil modifikasi genetik dilaporkan mengalami gejala kerusakan organ hati dan ginjal. Hasil studi tersebut tidak menunjukkan adanya racun, hanya gejala keracunan.
Hal ini diyakini bukan akibat dari racun yang akut, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa produk itu tidak memiliki efek kronis. Eksperimen dilakukan dengan menguji tiga strain produk jagung GMO yang tahan pestisida. Ketiga jenis produk tersebut kemudian diberikan pada tikus percobaan. Setelah tiga bulan, peneliti melakukan pengu jian terhadap beberapa fungsi organ dan hasilnya ditemukan beberapa keganjilan pada bagian liver dan ginjal tikus.
Tentu perlu diingat kembali, dikarenakan adanya upaya perubahan genetis dalam suatu organisme makhluk hidup, akan terjadi perubahan genetis secara bertahap melalu pola rantai makanan. Hal ini berdampak pada perubahan ekosistem yang ada. Meskipun hingga saat ini belum ada laporan mengenai masalah terhadap orang yang mengonsumsi produk pangan transgenik, namun pemerin-tah melalui instansi terkait perlu berhati-hati atas produk yang akan dikonsumsi masyarakat. Selain itu konsumen perlu diberitahu jenis pangan transgenik atau bukan, agar konsumen dapat memilih produk yang sesuai dengan kriterianya.
Keamanan pangan
Untuk mengatur keamanan tanaman transgenik pemerintah mengeluarkan keputusan pada tahun 1999 tentang “Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman” No.998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/199; dan 015A/NmenegPHOR/09/1999 yang mengatur pemanfaatan produk tanaman transgenik agar tidak merugikan, mengganggu, dan membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.
Walaupun demikian, tanaman transgenik yang membahayakan masih banyak yang lolos dan sampai di tangan masyarakat Indonesia untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi. Di Amerika, perusahaan transgenik rela mengeluarkan biaya iklan yang besar untuk mempromosikan produk transgenik agar masyarakat mau mengonsumsinya. Perusahaan transgenik juga rela membayar dokter untuk ikut mempromosikan produknya. Padahal produk transgenik belum teruji aman sepenuhnya untuk dikonsumsi.
Menurut Hermanu, bioteknologi lebih banyak membawa mudharat daripada manfaatnya, khususnya bagi petani Indonesia karena umumnya perusahaan multinasional pengembang benih modern dengan investasi besar adalah perusahaan yang memproduksi pestisida. Perusahaan transgenik biasanya bekerja sama dengan perusahaan kimia untuk memproduksi pestisida khusus untuk saling mendukung produk transgenik, karena baik bibit maupun pestisida hasil transgenik terdapat hak patennya masing-masing. Artinya hal ini dapat mengakibatkan keter-gantungan petani terhadap produk-produk transgenik, baik bibit maupun pestisida. Di Amerika, petani dilarang menyimpan bibit transgenik yang bukan dibeli dari perusa-haan pembuat produk transgenik tersebut, begitupun dengan pestisida. Lambat laun, penciptaan hegemoni dan monopoli dalam pertanian khususnya pangan, akan terjadi dalam era globalisasi ini.
Tugas pemerintah saat ini yaitu bagaimana menjadi pengatur regulasi sekaligus pelaksana kegiatan perdagangan yang pro terhadap sosial, lingkungan, dan ekonomi di tengah konspirasi kekuatan globalisasi yang mendominasi serta menimbulkan kerugian dari pelaku ekonomi yang memaksimalkan keuntungan. Pemerintah pun harus bersung-guh-sungguh dalam melindungi kepentingan rakyat, terutama para petani yang rata-rata hidup dalam keadaan yang memprihatinkan.
Di dalam Alquran dengan jelas disebutkan bahwa perdagangan atau perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari jalan yang bathil dalam pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama manusia, seperti yang tercantum dalam QS An-Nisa’: 29. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” Kemudian Rasulullah SAW bersab-da, “Usaha yang paling utama (afdhal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan hasil dari jual beli yang mabrur”. Sedangkan dalam hadits lain, beliau bersabda: ”Kedua penjual dan pembeli itu ada masa memilih selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling memberikan keterangan dengan jelas, semoga jual belinya diberkahi. Namum jika keudanya dusta dan ada yang saling disembunyikan, hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq alaih dari Hakim bin Hizam).
Mega Natasha, Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Nisa’ul Haq, Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB