Seorang sahabat di Facebook menulis komentar di catatan saya demikian, ”Pada prinsipnya saya setuju Pak, hanya saja jangan sampai jurnal ilmiah tidak kreatif bahasanya. Perlu ada diskusi menulis jurnal ilmiah yang baik, bahasanya mengalir dan kreatif. Terima kasih.” Apa itu bahasa jurnal ilmiah yang mengalir dan kreatif? Tidak mudah untuk merumuskannya dengan gamblang—apalagi mencontohkannya.
Saya hanya ingin mengajak Anda berdiskusi sebagaimana ajakan sahabat Facebook saya itu. Menurut saya, jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh banyak lembaga penellitian dan juga perguruan tinggi menjadi sangat sedikit yang membaca karena persoalan bahasa ini. Seperti telah saya tulis sebelum ini, saya menggunakan kata-kata ”kaku”, ”kering”, dan ”monoton” untuk menggambarkan bahasa jurnal ilmiah yang tidak mengalir dan kreatif.
Saya sendiri tidak memungkiri bahwa jurnal-jurnal ilmiah itu kebanyakan memang memuat materi-materi hasil penelitian atau temuan-temuan baru yang tidak mudah dirumuskan secara tertulis. Apalagi jika jurnal ilmiah itu milik lembaga atau perguruan tinggi yang bergerak di bidang IPA (merujuk ke pembagian jalur pendidikan di tingkat SMA selain IPS atau ilmu pengetahuan sosial). Jurnal ilmiah yang IPS pun ada kemungkinan bahasanya tidak mengalir dan tidak kreatif apabila subjek yang dibahas terkait dengan filsafat atau hal-hal pelik lain.
Jadi, bagaimana mendudukkan semua ini? Saya membahas soal bahasa jurnal ini karena, pertama, ingin bermimpi—suatu saat, entah kapan—ada banyak sekali pembaca jurnal di negeri ini sehingga para ilmuwan, peneliti, dan akademisi lain bergairah dalam berlomba-lomba untuk menulis sesuatu yang penting dan berharga di sebuah jurnal ilmiah. Kedua, saya mendengar selentingan—entah benar atau tidak—apabila seorang peneliti atau ilmuwan ingin memuat karya ilmiah di sebuah jurnal, dia harus membayar dengan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Bayangkan hal kedua itu. Betapa tidak terariknya seorang peneliti atau ilmuwan untuk menulis karya ilmiah di sebuah jurnal. Pertama, menulis itu sulit sekali—apalagi menulis karya ilmiah yang ada aturan-aturan dan persyaratan khususnya. Kedua, kadang-kadang materi yang dijadikan untuk menulis karya ilmiah harus diperoleh dengan biaya yang tidak sedikit—misalnya biaya penelitian. Ketiga, semestinya, si penulis karya ilmiahlah yang dibayar oleh pengelola jurnal, tetapi ini malah harus membayar. Betapa menyesakkannya keadaan seperti ini.
Dahulu, sepengetahuan saya, para penulis yang kami undang dan kemudian menulis di jurnal Al-Hikmah dan Islamika, kami bayar meskipun mungkin tidak sangat besar. Kami, waktu itu, memang mengedarkan kedua jurnal tersebut secara komersial dan bertarung dengan produk penerbitan lain di pasar bebas. Sayang, meskipun kami ingin tetap bertahan dan terus menerbitkan jurnal semacam Al-Hikmah dan Islamika, kedua jurnal harus ditutup karena pembaca (alias pembeli) jurnal semakin sedikit dan tidak mencapai standar yang kami gariskan untuk sekadar impas.
Jadi, kembali ke bahasa jurnal ilmiah yang kreatif dan mengalir, bagaimana membuat sebuah jurnal ilmiah itu menarik pembacanya? Apakah jurnal ilmiah tetap harus menerima kutukan sedikit pembacanya? Atau ada cara lain untuk menyiasati agar sebuah jurnal ilmiah dapat meraih oplah minimun—misalnya 3.000 eksemplar? Atau kita menunggu surat edaran Ditjen Dikti yang membuat ”kepanikan akademis” itu dapat mengubah situasi yang tidak menguntungkan ini?
Oleh: Hernowo