Beberapa hari ini dunia akademis diramaikan dengan surat edaran Ditjen Dikti yang berisi aturan (persyaratan) baru tentang bagaimana seorang akademisi dapat meraih gelar sarjana S1, S2, dan S3: “Disebutkan bahwa, saat ini, jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan, hanya sepertujuh dari jumlah karya ilmiah perguruan tinggi di Malaysia. Oleh karena itu, ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah di Indonesia,” demikian kutipan bunyi edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Djoko Santoso, bernomor 152/E/T/2012, sebagaimana disampaikan oleh Kompas.com pada Jumat, 3 Februari 2012.
Menurut Kompas.com lebih jauh, “Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah,” demikian bunyi ketentuan untuk program S1. Ditambahkan oleh Kompas.com bahwa setelah menghubungi Ditjen Dikti Djoko Santoso, pihak Ditjen Dikti berjanji akan memberikan penjelasan lebih jauh mengenai ketentuan tersebut pada hari Jumat, 3 Februari 2012. Sebelum kita melihat apa penjelasan Dirjen Dikti yang dimuat oleh Kompas.com pada Sabtu, 4 Februari 2012, saya akan mencoba berpendapat tentang surat edaran tersebut. Saya akan mencoba fokus pada pembahasan terhadap persyaratan untuk para calon sarjana S1 saja.
Pertama, menurut saya, surat edaran itu tampaknya ingin mengubah keadaan pendidikan terkait dengan kegiatan membaca dan menulis dalam tataran ilmiah. Saya merasakan bahwa pihak pengelola pendidikan tinggi kita ingin—secara eksplisit—menekankan pentingnya membaca dan menulis bagi seorang akademisi. Saya tidak hanya mengaitkannya dengan kegiatan menulis ilmiah tetapi juga membaca dalam tataran yang ilmiah. Apa membaca dalam tataran yang ilmiah itu? Pertama, membaca secara mendalam (deep reading). Kedua, membaca sumber-sumber yang sangat kaya dan beragam baik online maupun offline. Dan ketiga, membaca yang ada hasil konkretnya atau membaca yang menghasilkan (dalam arti si pelaku pembaca dapat memproduksi sebuah tulisan).
Menulis—apalagi menulis karya ilmiah—tanpa disertai membaca secara ilmiah (sebagaimana kriterianya saya sebutkan sebelum ini) di samping akan menyiksa si pelaku juga hanya akan menghasilkan karya tulis ilmiah yang kaku, kering, dan membosankan (tidak menarik untuk dibaca). Membaca—tentu membaca yang baik—akan membantu seorang pembaca dalam mengembangkan, meluaskan, dan memperkaya pikiran. Jadi, membaca tidak sekadar untuk menemukan referensi atau memperkaya ilmu/wawasan namun lebih dari itu. Apabila seorang mahasiswa berhasil memperkaya pikirannya—lewat membaca—dia akan mampu mengeluarkan pikiran-pikiran orisinalnya ketika menuliskan karya ilmiah. Pikiran orisinal itu bukan hanya unik tetapi—sekali lagi, berkat membaca—akan dapat disajikan dengan bahasa yang “basah” dan tidak monoton.
Kedua, bagaimana dengan persyaratan yang terkait dengan publikasi makalah karya para mahasiswa S1? Bukankah media publikasinya akan sangat terbatas dan juga siapa yang akan membantu “menilai” dan memperbaiki makalah-makalah mereka? Bukankah para dosen akan dibuat kalang kabut dengan beban membantu (memeriksa karya tulis ilmiah) para mahasiswanya agar selain mereka dapat produktif menulis karya ilmiah juga karyanya terus-menerus dapat diperbaiki? Ternyata persoalan mempublikasikan makalah yang dibuat oleh para calon sarjana strata satu ini sudah langsung dipecahkan oleh Ditjen Dikti Djoko Santoso—sebagaimana kutipan Kompas.com edisi Sabtu, 4 Februari 3012, di bawah ini:
Seperti diketahui, untuk lulusan setelah Agustus 2012, Kemdikbud mensyaratkan publikasi makalah menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. (Baca: Syarat Lulus S-1, S-2, S-3: Harus Publikasi Makalah). Lalu, bagaimana dengan daya tampung jurnal untuk menerbitkan karya tulis ilmiah para mahasiswa itu?
Menjawab pertanyaan ini, Djoko, yang ditemui Kompas.com, Jumat (3/2/2012), mengatakan, publikasi karya tulis tidak akan dipersulit. Bagi mahasiswa S-1, bisa menerbitkan jurnal ilmiahnya secara online. Selain lebih mudah, kata dia, jurnal online juga dapat mengatasi terbatasnya ruang publikasi seluruh makalah mahasiswa.
"Untuk S-1 yang penting namanya jurnal. Agar efektif dan efisien maka gunakanlah jurnal online," kata Djoko.
Djoko menambahkan, berbeda dengan era Orde Baru di mana perlu izin dari Menteri Penerangan dan Menteri Pertahanan dalam pembuatan jurnal, saat ini semua dapat dilakukan lebih mudah dengan memanfaatkan jurnal online.
Untuk menjaga mutu jurnal online, menurut Djoko, mahasiswa dapat meminta bantuan dari para pakar untuk mengkaji karya ilmiahnya. Menurutnya, para pakar akan dengan senang hati memberikan bantuan terlebih jika diberi janji namanya tercantum sebagai pengkaji dalam jurnal yang akan terbit.
"Saya rasa para pakar akan membantu meski tanpa dibayar. Karena mereka akan terkenal, semua orang ingin terkenal," ujarnya.
Ketiga, saya sungguh merasakan pentingnya surat edaran Ditjen Dikti tersebut—terlepas apakah nanti pelaksanaannya sesuai dengan yang diharapkan atau tidak—apalagi jika dikaitkan dengan era keterbukaan informasi yang dibawa oleh internet. Pertama, surat edaran itu (semoga) mampu mendorong dan menggairahkan para mahasiswa untuk berlatih membaca dan menulis lewat kekayaan sumber yang tersedia di internet. Kedua, membaca dan menulis adalah keterampilan serta, seperti saya katakana sebelum ini, membaca akan memperkaya pikiran dan menulis berarti berkarya—mengeluarkan pikiran-pikiran orisinal yang telah bersentuhan dengan pelbagai ilmu yang dipelajari para mahasiswa di perguruan tinggi. Apabila mereka tidak didorong (kasarnya “dipaksa”) untuk berlatih dan berkarya, bisa jadi ilmu-ilmu mereka tidak terbangun (terkonstruksi) dengan baik dan dampaknya mereka pun akan sangat kesulitan membangun gagasan baru dan segar. Dan, ketiga, para mahasiswa kemudian menyadari tentang pentingnya meningkatkan kualitas dirinya sebagai sarjana lewat kegiatan membaca dan menulis yang kaya, bertanggung jawab, dan menghasilkan (menjadi produsen ilmu dan tak lagi hanya menjadi konsumen ilmu).
Tentu, saya tak akan memungkiri, surat edaran Ditjen Dikti tersebut akan menimbulkan pro dan kontra. Sebab sudah lama kegiatan membaca dan menulis dalam bentuk yang sangat tinggi kurang mendapat perhatian oleh baik pemerintah maupun masyarakat luas. Pertanyaan yang tersisa adalah apabila milis, blog, Facebook, dan media online lainnya—sebelum terbangunnya jurnal online yang memenuhi syarat—dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa S1 untuk berlatih membuat makalah, apakah kemudian makalah-makalah tersebut ada yang membacanya? Siapakah para ahli yang mau membantu para mahasiswa S1 itu berlatih mengasah kemampuannya menulis karya ilmiah secara gratis? Dan, terlepas dari semua itu, kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi para mahasiswa S1 kita mendapat kesempatan memanfaatkan media online untuk membuat karya ilmiah? Bukankah hanya dengan berlatih menulis makalah di jenjang S1 kemudian mereka—bagi yang akan melanjutkan ke jenjang S2 dan S3—akan lebih siap menulis karya ilmiah (memperoduksi gagasan atau ilmu baru) yang lebih tinggi dan lebih berbobot?
Oleh Hernowo