Sepanjang tahun 2011 ini, ada dinamika politik yang sangat menarik, yang diperkirakan akan memberikan dampak terhadap perkembangan institusi ekonomi dan keuangan syariah. Yaitu, disahkannya UU No 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kehadiran kedua UU tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap per kembangan keuangan dan perbankan syariah, serta zakat, infak dan sedekah. Indikatornya sederhana saja, yaitu ketika angka total aset perbankan dan keuangan syariah, serta manfaat sosial LKS (lembaga keuangan syariah) bagi masyarakat semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan instrumen ZIS. Jika penghimpunan zakat bisa semakin naik, pendayagunaan dan pendistribusian zakat mampu menjangkau jumlah mustahik yang lebih besar, serta penataan kelembagaan zakat bisa memfasilitasi ekspansi zakat nasional, maka keberadaan UU tersebut memberikan dampak positif.
Sebaliknya, jika keberadaan kedua UU tersebut justru melemahkan institusi ekonomi dan keuangan syariah yang ada, maka berarti ada sesuatu yang salah dan perlu diluruskan. Inilah ujian bagi pemerintahan SBY-Boediono saat ini, apakah komitmen dan dukungan yang selama ini telah digembar gemborkan dalam berbagai kesempatan dapat dibuktikan, ataukah itu semua hanya retorika belaka. Kare na itu, publik harus senantiasa mengawasi dan mengawal pelaksanaan kedua UU tersebut, agar dapat berjalan sesuai dengan harapan dan aspirasi seluruh stakeholder ekonomi syariah.
Political will
Jika melihat sejarah perekonomian dunia, maka fase terpenting yang harus di lalui oleh sebuah ide atau gagasan ekonomi, agar ia bisa melembaga dan berperan signifikan dalam perekonomian sebuah negara, adalah fase politik ekonomi. Pada tahap ini, keterlibatan kekuasaan menjadi sangat penting dan strategis.
Akselerasi pertumbuhan suatu pemikiran ekonomi akan sangat bergantung pada sejauhmana kekuasaan memfasilitasi ranah praksis dari pemikiran tersebut. Inilah yang sesungguhnya membuat pemikiran ekonomi konvensional, terutama mazhab neoklasik, menjadi sangat berkuasa di dunia saat ini.
Bagaimana tidak, mayoritas negara telah menjadikan ide-ide dan gagasan ekonomi konvensional sebagai dasar pengambilan keputusan dan kebijakan ekonomi mereka, walaupun gagasan-gagasan tersebut diambil dari observasi empiris terhadap realitas yang terjadi di Barat, sehingga belum tentu compatible dengan kondisi obyektif perekonomian mereka.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh instrumen ekonomi syariah saat ini adalah komitmen dan dukungan kekua saan, dalam bentuk political will pemerintah yang kuat. Selama ini, pendekatan ekonomi syariah lebih didominasi oleh pendekat an bottom up, yang ber sumber dari inisiatif masyarakat. Pendekatan ini telah dapat membangun dan mengokohkan internalisasi nilai dan praktik ekonomi syariah di akar rumput. Namun demikian, pendekatan ini tidaklah cukup. Ia harus ditopang oleh pendekatan top down yang bersumber dari jantung kekuasaan, agar ekonomi syariah bisa semakin melembaga.
Pada tahun 2012 ini, penulis berharap akan ada policy breakthrough terkait dengan pengembangan ekonomi dan keuang an syariah. Paling tidak, ada delapan kebijakan yang bersifat praktis dan mudah, yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, penempatan dana haji sepe nuhnya pada perbankan syariah dan sukuk. Sudah bukan zamannya lagi menempatkan dana haji pada bank konvensional.
Kedua, penempatan sebagian aset BUMN pada perbankan syariah. Ketiga, menaikkan status bank syariah yang menjadi anak perusahaan bank BUMN menjadi BUMN. Sehingga, diharapkan ini akan meningkatkan volume aset dan transaksi melalui bank syariah, serta pada sejumlah institusi negara, dapat diwajibkan untuk menggunakan jasa bank syariah BUMN. Misalnya, semua UIN/STAIN diwajibkan menggunakan jasa bank syariah untuk melakukan pembayaran gaji pegawai dan SPP mahasiswa.
Keempat, menghapus pajak ganda pada transaksi keuangan syariah selain murabahah yang sudah dihapuskan sejak tahun lalu. Hal ini dapat mendorong inovasi produk yang lebih baik. Jangan kalah oleh Inggris yang sudah menghapus pajak ganda murabahah pada tahun 2003, dan pajak ganda pada ijarah dan musyarakah pada tahun 2005 lalu. Kelima, mewajibkan para PNS yang memenuhi syarat sebagai muzaki, serta BUMN dan BUMD untuk menunaikan kewajiban zakatnya secara rutin, baik zakat karyawan maupun zakat badan usaha.
Keenam, meningkatkan volume pembiayaan untuk rakyat, seperti kredit pertanian dan usaha mikro, dengan mengguna kan akad syariah. Ketujuh, mendorong penguatan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) melalui pelibatan mereka dalam me nyalurkan dana-dana program pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Kedelapan, penerbitan nomenklatur pendidikan eko nomi syariah oleh Ditjen Dikti, sehingga dapat memfasilitasi pengembangan pen di dikan ekonomi syariah nasional. Jika ke delapan hal ini dapat dilakukan di 2012, maka kita akan melihat ledakan ekonomi dan ke uang an syariah di tanah air. Wallahu a'lam.
Dr Irfan Syauqi Beik, Dosen IE FEM IPB dan Ketua DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)