Salah satu topik penting dalam kajian ekonomi Islam adalah terkait dengan kebijakan publik syariah. Hal ini dikarenakan oleh sangat strategisnya peran pemerintah di dalam menata dan mengelola perekonomian, apakah perekonomian akan bergerak pada arah kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan, atau sebaliknya, bergerak pada semakin memburuknya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Karena itu, pembahasan mengenai ulil amri dalam ajaran Islam mendapat perhatian yang sangat besar.
Secara syari, tujuan kebijakan publik adalah melahirkan kemaslahatan ekonomi bagi masyarakat. Kemaslahatan ini memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi manfaat dan dimensi berkah. Dimensi manfaat merujuk pada economic benefit yang dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara merata dan berkeadilan. Sementara dimensi berkah merujuk pada kualitas dari pembangunan ekonomi itu sendiri. Munculnya ketenangan, ketenteraman, dan keamanan sosial merupakan bagian dari indikator keberkahan ekonomi, di samping peningkatan moralitas dan kualitas ketaatan masyarakat terhadap ketentuan Allah SWT. Inilah visi utama kesejahteraan, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam QS 106 : 3-4. Karena itu, kalau pembangunan ekonomi semata-mata hanya meningkatkan pendapatan namun melahirkan kerusakan moral, maka pembangunan tersebut pada hakekatnya telah menciptakan ketidakberkahan. Berarti ada sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki.
Agar tujuan kebijakan publik ini bisa terealisasikan dengan baik, maka ada dua pilar utama kebijakan yang harus dipenuhi. Pertama, pilar kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan maqashid as-syariah. Kedua, kebijakan yang berlandaskan pada prinsip keadilan.
Pilar maqashid
Sebagaimana telah diketahui bersama, elemen maqashid syariah itu menurut Imam Asy Syatibi ada lima. Yaitu hifzud diin (proteksi agama), hifzun nafs (proteksi diri/jiwa), hifzun nasl (proteksi keturunan), hifzul aql (proteksi akal), dan hifzul maal (proteksi harta). Seluruh desain kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan kelima unsur maqashid ini, karena jika itu terjadi, maka hasil atau output dari kebijakan itu pastilah melahirkan kemadharatan ekonomi yang sangat besar.
Pertama, kebijakan yang berorientasi pada hifzud diin akan memberikan ruang kepada masyarakat untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan baik. Karena itu, jika masih ada larangan untuk menunaikan ibadah shalat selama jam kerja, atau membatasi hak warga untuk menunaikan kewajiban zakat, maka itu bertentangan dengan elemen proteksi agama ini. Kemudian, yang kedua, kebijakan yang berorientasi pada hifzun nafs akan mengantarkan pada perlindungan dan jaminan sosial masyarakat. Kebutuhan primer masyarakat harus terpenuhi. Karena itu, pemerintah akan selalu memikirkan jangan sampai ada warganya yang harus meregang kehilangan nyawa hanya karena ketiadaan uang untuk membeli makanan, atau kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Ketiga, kebijakan yang berorientasi pada hifzun nasl berarti pemerintah selalu memikirkan nasib generasi mendatang. Jangan sampai generasi mendatang menanggung akibat buruk dari kebijakan saat ini. Karena itu, pemerintah akan meminimalisir kebijakan pembangunan ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, atau meninggalkan generasi mendatang dengan beban hutang yang sangat berat.
Sementara yang keempat, kebijakan yang berorientasi pada hifzul aql akan melahirkan pemerintahan yang selalu waspada terhadap keberadaan industri yang bisa merusak akal manusia dan menjadi sumber utama kejahatan, seperti industri minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Terakhir, kebijakan yang berbasis pada hifzul maal akan mendorong pemerintah untuk menciptakan pemerataan penguasaan kekayaan, jangan sampai terjadi penumpukan aset di tangan segelintir kelompok, atau jangan sampai sumberdaya alam negara dikuasai dan dimonopoli oleh kepentingan asing.
Pilar keadilan
Pilar yang kedua adalah keadilan. Cermin keadilan ini sangat sederhana, yaitu ketika pemerintah menjadikan simpul terlemah dari masyarakat sebagai basis perumusan kebijakan. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau mengatakan : kelompok masyarakat yang di mata kalian dianggap kuat, maka di mataku mereka sesungguhnya sangat lemah. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang di mata kalian dianggap lemah (hina), maka di mataku sesungguhnya sangat kuat. Artinya, orientasi Umar adalah pada kelompok yang paling tidak berdaya. Seluruh konsentrasi kekuasaan Umar diarahkan untuk membela kepentingan mereka.
Logika Umar sangat sederhana, jika kelompok lemah terbela dan terberdayakan dengan baik, maka kelompok elit masyarakat pasti akan menikmati pula kemajuan ekonomi yang ada. Semuanya akan terangkat nasibnya. Namun jika basis kebijakan itu adalah bagaimana melayani kepentingan kelompok elit masyarakat, maka belum tentu kelompok lemah (dhuafa) akan dapat menikmati kue pembangunan ekonomi.
Inilah yang kita butuhkan saat ini, yaitu negara dan pemerintah yang peduli dan membela sepenuhnya kepentingan masyarakat lemah. Parameternya sederhana, yaitu ketika seluruh perangkat kebijakan dan peraturan, baik undang-undang maupun aturan turunannya, beserta implementasinya di lapangan, betul-betul menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap kepentingan kaum lemah negeri ini. Wallahu alam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Secara syari, tujuan kebijakan publik adalah melahirkan kemaslahatan ekonomi bagi masyarakat. Kemaslahatan ini memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi manfaat dan dimensi berkah. Dimensi manfaat merujuk pada economic benefit yang dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara merata dan berkeadilan. Sementara dimensi berkah merujuk pada kualitas dari pembangunan ekonomi itu sendiri. Munculnya ketenangan, ketenteraman, dan keamanan sosial merupakan bagian dari indikator keberkahan ekonomi, di samping peningkatan moralitas dan kualitas ketaatan masyarakat terhadap ketentuan Allah SWT. Inilah visi utama kesejahteraan, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam QS 106 : 3-4. Karena itu, kalau pembangunan ekonomi semata-mata hanya meningkatkan pendapatan namun melahirkan kerusakan moral, maka pembangunan tersebut pada hakekatnya telah menciptakan ketidakberkahan. Berarti ada sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki.
Agar tujuan kebijakan publik ini bisa terealisasikan dengan baik, maka ada dua pilar utama kebijakan yang harus dipenuhi. Pertama, pilar kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan maqashid as-syariah. Kedua, kebijakan yang berlandaskan pada prinsip keadilan.
Pilar maqashid
Sebagaimana telah diketahui bersama, elemen maqashid syariah itu menurut Imam Asy Syatibi ada lima. Yaitu hifzud diin (proteksi agama), hifzun nafs (proteksi diri/jiwa), hifzun nasl (proteksi keturunan), hifzul aql (proteksi akal), dan hifzul maal (proteksi harta). Seluruh desain kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan kelima unsur maqashid ini, karena jika itu terjadi, maka hasil atau output dari kebijakan itu pastilah melahirkan kemadharatan ekonomi yang sangat besar.
Pertama, kebijakan yang berorientasi pada hifzud diin akan memberikan ruang kepada masyarakat untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan baik. Karena itu, jika masih ada larangan untuk menunaikan ibadah shalat selama jam kerja, atau membatasi hak warga untuk menunaikan kewajiban zakat, maka itu bertentangan dengan elemen proteksi agama ini. Kemudian, yang kedua, kebijakan yang berorientasi pada hifzun nafs akan mengantarkan pada perlindungan dan jaminan sosial masyarakat. Kebutuhan primer masyarakat harus terpenuhi. Karena itu, pemerintah akan selalu memikirkan jangan sampai ada warganya yang harus meregang kehilangan nyawa hanya karena ketiadaan uang untuk membeli makanan, atau kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Ketiga, kebijakan yang berorientasi pada hifzun nasl berarti pemerintah selalu memikirkan nasib generasi mendatang. Jangan sampai generasi mendatang menanggung akibat buruk dari kebijakan saat ini. Karena itu, pemerintah akan meminimalisir kebijakan pembangunan ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, atau meninggalkan generasi mendatang dengan beban hutang yang sangat berat.
Sementara yang keempat, kebijakan yang berorientasi pada hifzul aql akan melahirkan pemerintahan yang selalu waspada terhadap keberadaan industri yang bisa merusak akal manusia dan menjadi sumber utama kejahatan, seperti industri minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Terakhir, kebijakan yang berbasis pada hifzul maal akan mendorong pemerintah untuk menciptakan pemerataan penguasaan kekayaan, jangan sampai terjadi penumpukan aset di tangan segelintir kelompok, atau jangan sampai sumberdaya alam negara dikuasai dan dimonopoli oleh kepentingan asing.
Pilar keadilan
Pilar yang kedua adalah keadilan. Cermin keadilan ini sangat sederhana, yaitu ketika pemerintah menjadikan simpul terlemah dari masyarakat sebagai basis perumusan kebijakan. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau mengatakan : kelompok masyarakat yang di mata kalian dianggap kuat, maka di mataku mereka sesungguhnya sangat lemah. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang di mata kalian dianggap lemah (hina), maka di mataku sesungguhnya sangat kuat. Artinya, orientasi Umar adalah pada kelompok yang paling tidak berdaya. Seluruh konsentrasi kekuasaan Umar diarahkan untuk membela kepentingan mereka.
Logika Umar sangat sederhana, jika kelompok lemah terbela dan terberdayakan dengan baik, maka kelompok elit masyarakat pasti akan menikmati pula kemajuan ekonomi yang ada. Semuanya akan terangkat nasibnya. Namun jika basis kebijakan itu adalah bagaimana melayani kepentingan kelompok elit masyarakat, maka belum tentu kelompok lemah (dhuafa) akan dapat menikmati kue pembangunan ekonomi.
Inilah yang kita butuhkan saat ini, yaitu negara dan pemerintah yang peduli dan membela sepenuhnya kepentingan masyarakat lemah. Parameternya sederhana, yaitu ketika seluruh perangkat kebijakan dan peraturan, baik undang-undang maupun aturan turunannya, beserta implementasinya di lapangan, betul-betul menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap kepentingan kaum lemah negeri ini. Wallahu alam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB