Dinarnomics: Membangun Keberkahan Usaha dengan Uang yang Adil
Penulis: Muhaimin Iqbal
Penerbit: Sinergi Publishing, 2010
Tebal: 274 halaman
Dalam khazanah ekonomi, kita pernah mengenal istilah Habibienomics, Widjojonomics, Reagennomics, Obamanomics, dan sebagainya. Pada intinya adalah kebijakan ekonomi yang diusung oleh sang empunya nama. Muhaimin Iqbal, praktisi dinar di Indonesia, mengenalkan istilah dinarnomics.
Dinarnomics adalah sistem ekonomi berbasis dinar emas, melengkapi implementasi konsep ekonomi berbasis syariah. Dalam pandangan Iqbal, konsep ekonomi syariah tanpa penggunaan dinar akan sulit mencapai keadilan secara sempurna.
Untuk membuktikan tesis tersebut, mari kita ikuti contoh kasus berikut ini, yang berkaitan dengan lembaga keuangan memberi pinjaman kepada nasabah. Jika seseorang meminjam uang Rp 100 juta, kemudian setahun berikutnya pinjaman tersebut dikembalikan Rp 100 juta, maka lembaga keuangan itu akan mengalami kerugian karena nilai rupiah akan turun. Jika di depan pihak pemberi pinjaman menentukan besarnya tambahan dari pinjaman ketika mengembalikan, maka itu artinya riba, dan riba haram hukumnya.
Oleh sebab itu, bagi lembaga keuangan berbasis syariah, akadnya diganti menjadi mudharabah atau murabahah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak, di mana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian di awal.
Adapun murabahah adalah perjanjian jual-beli antara lembaga keuangan dan nasabah. Lembaga keuangan membeli barang yang diperlukan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga perolehan, ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara kedua pihak.
Tapi, dalam prakteknya, akad yang indah ini secara perlahan mulai redup di negeri-negeri Islam. Mengapa? "Yang perlu diatasi bukan masalah pinjam-meminjamnya, tetapi uangnya yang harus diatasi," tulis Iqbal (halaman 19). "Masalah ini dengan sendirinya tidak muncul bila uang yang kita gunakan stabil daya belinya sepanjang masa, yaitu dinar," Iqbal menambahkan. Dalam pandangan Iqbal, sekalipun akad diganti dengan mudharabah, jika uangnya tetap rupiah, maka keadilan belum juga bisa tercapai.
Mari kita tengok praktek mudharabah berikut. Jika lembaga keuangan berbasis mudharabah membiayai proyek komersial dengan formasi 50:50 sebesar Rp 100 juta, satu tahun berikutnya mendapat laba Rp 20 juta. Jika keuntungan ini dibagi dua, masing-masing mendapat Rp 10 juta. Jika ditilik dari angka rupiah, formasi itu tampaknya adil, tapi semu.
Mari kita lihat fakta yang sebenarnya. Jika akad itu berlangsung pada 2008, misalnya, maka inflasi pada tahun tersebut adalah 11,5%. Ini artinya, dengan mendapat 10%, sesungguhnya lembaga keuangan itu bukannya mendapatkan bagi hasil atas dana yang di-mudharabah-kan, melainkan sebaliknya.
Lembaga keuangan tersebut, dalam hal daya beli dana yang diinvestasikan, mengalami kerugian. Inilah beberapa hal yang terjadi jika kita memakai uang kertas yang nilainya fluktuatif. Hal itu tidak akan terjadi jika menggunakan dinar.
Karena itu, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (1058-1111 M), dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, menulis, "Hanya emas dan perak yang bisa menjadi timbangan atau hakim yang adil dalam muamalah." Banyak kalangan pesimistis bahwa dinar --juga dirham-- tidak bisa digerakkan untuk sektor riil.
Keraguan itu akan terjawab dalam buku ini. Muhaimin Iqbal, penulis buku ini, memberi tuntunan bagaimana dinar bisa digunakan untuk investasi di sektor riil, sebuah gagasan alternatif yang tidak saja syar'i, melainkan juga berkeadilan.
Herry Mohammad
Penulis: Muhaimin Iqbal
Penerbit: Sinergi Publishing, 2010
Tebal: 274 halaman
Dalam khazanah ekonomi, kita pernah mengenal istilah Habibienomics, Widjojonomics, Reagennomics, Obamanomics, dan sebagainya. Pada intinya adalah kebijakan ekonomi yang diusung oleh sang empunya nama. Muhaimin Iqbal, praktisi dinar di Indonesia, mengenalkan istilah dinarnomics.
Dinarnomics adalah sistem ekonomi berbasis dinar emas, melengkapi implementasi konsep ekonomi berbasis syariah. Dalam pandangan Iqbal, konsep ekonomi syariah tanpa penggunaan dinar akan sulit mencapai keadilan secara sempurna.
Untuk membuktikan tesis tersebut, mari kita ikuti contoh kasus berikut ini, yang berkaitan dengan lembaga keuangan memberi pinjaman kepada nasabah. Jika seseorang meminjam uang Rp 100 juta, kemudian setahun berikutnya pinjaman tersebut dikembalikan Rp 100 juta, maka lembaga keuangan itu akan mengalami kerugian karena nilai rupiah akan turun. Jika di depan pihak pemberi pinjaman menentukan besarnya tambahan dari pinjaman ketika mengembalikan, maka itu artinya riba, dan riba haram hukumnya.
Oleh sebab itu, bagi lembaga keuangan berbasis syariah, akadnya diganti menjadi mudharabah atau murabahah. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak, di mana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian di awal.
Adapun murabahah adalah perjanjian jual-beli antara lembaga keuangan dan nasabah. Lembaga keuangan membeli barang yang diperlukan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga perolehan, ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara kedua pihak.
Tapi, dalam prakteknya, akad yang indah ini secara perlahan mulai redup di negeri-negeri Islam. Mengapa? "Yang perlu diatasi bukan masalah pinjam-meminjamnya, tetapi uangnya yang harus diatasi," tulis Iqbal (halaman 19). "Masalah ini dengan sendirinya tidak muncul bila uang yang kita gunakan stabil daya belinya sepanjang masa, yaitu dinar," Iqbal menambahkan. Dalam pandangan Iqbal, sekalipun akad diganti dengan mudharabah, jika uangnya tetap rupiah, maka keadilan belum juga bisa tercapai.
Mari kita tengok praktek mudharabah berikut. Jika lembaga keuangan berbasis mudharabah membiayai proyek komersial dengan formasi 50:50 sebesar Rp 100 juta, satu tahun berikutnya mendapat laba Rp 20 juta. Jika keuntungan ini dibagi dua, masing-masing mendapat Rp 10 juta. Jika ditilik dari angka rupiah, formasi itu tampaknya adil, tapi semu.
Mari kita lihat fakta yang sebenarnya. Jika akad itu berlangsung pada 2008, misalnya, maka inflasi pada tahun tersebut adalah 11,5%. Ini artinya, dengan mendapat 10%, sesungguhnya lembaga keuangan itu bukannya mendapatkan bagi hasil atas dana yang di-mudharabah-kan, melainkan sebaliknya.
Lembaga keuangan tersebut, dalam hal daya beli dana yang diinvestasikan, mengalami kerugian. Inilah beberapa hal yang terjadi jika kita memakai uang kertas yang nilainya fluktuatif. Hal itu tidak akan terjadi jika menggunakan dinar.
Karena itu, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (1058-1111 M), dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, menulis, "Hanya emas dan perak yang bisa menjadi timbangan atau hakim yang adil dalam muamalah." Banyak kalangan pesimistis bahwa dinar --juga dirham-- tidak bisa digerakkan untuk sektor riil.
Keraguan itu akan terjawab dalam buku ini. Muhaimin Iqbal, penulis buku ini, memberi tuntunan bagaimana dinar bisa digunakan untuk investasi di sektor riil, sebuah gagasan alternatif yang tidak saja syar'i, melainkan juga berkeadilan.
Herry Mohammad