Peningkatan dan Pemasyarakatan Penulisan Karya Ilmiah

Pembudayaan penulisan karya ilmiah dalam semua bidang dapat mempercepat berkembangnya IPTEK. Ada tiga jalur pengembangan dan pemasyarakatan penulisan karya ilmih, yaitu: (1) melaksanakan proses pembelajaran inovatif, (2) meningkatkan peran dan keterlibatan PT/sekolah, dan (3) memanfaatkan jaringan informasi (internet) (Jacob, 2002a, h. 55).


Agar mahasiswa/guru dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, maka mereka harus diajar/dilatih oleh staf PT yang mereka sendiri adalah pemikir kritis dan kreatif, yang merealisasikan dan menyimulasikan kualitas ini dalam setiap fase mengajarnya (Jacob, 2000a, h. 597). Adapun persiapan untuk mengajar berpikir kritis adalah sebagai berikut:
(1) telah menguasai keterampilan berpikir dan siap untuk mengajarkanya lebih familiar eksplisit, lebih tepat, dan secara metakognitif;
(2) penguasaan disiplin ilmu;
(3) meningkatkan  keterampilan berpikir kritis dan kreatif melalui kegiatan-kegiatan seminar, konferensi atau workshop tingkat regional/nasional/internasional;
(4) mampu meredesain pelajaran. Selanjutnya, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah  “keterampilan berpikir disiplin-khusus”, yaitu: (1) argumentasi, (2) definisi, (3) strategi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, (4) konseptualisasi atau klasifikasi, dan (5) kreativitas (Barnes, dalam Jacob, 2000a, h. 597-598).


Perguruan Tinggi sebagai pusat kreativitas harus dapat berperan sebagai pengembang IPTEK, khususnya untuk pembangunan, sehingga iklim keilmiahan dapat tercermin dalam aktivitas-aktivitasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (1988) bahwa untuk mencapai sasaran program peningkatan dan pengembangan penelitian di PT, perlu dikembangkan suasana dan semangat ilmiah yang kondusif serta etika penelitian dalam pengembangan dan penguasaan IPTEK di setiap kampus.


Kampus (sekolah) adalah suatu organisasi sosial tempat pendidikan berlangsung. Toffler (1981) melukiskan bahwa sekolah di masa depan (dalam era informasi) harus mengarahkan mahasiswa/siswa untuk  “belajar bagaimana untuk  belajar” (“learning how to learn”).  Hal ini berarti bahwa tugas guru (dosen) tidak hanya memberikan informasi tetapi juga  “mengajar bagaimana untuk belajar”  (“teaching how to learn”);  dan  “belajar bagaimana untuk mengajar”  (“learning how to teach”);  tentang mengklasifikasi, mereklasifikasi, mengevaluasi, memindahkan, mengolah, dan mengomunikasikan informasi.


Salah satu  kecenderungan mega (megatrends)  yang dikemukakan oleh Naisbitt (1984) adalah perubahan masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Rogers et al. (1988) mengartikan masyarakat informasi sebagai mayoritas tenaga kerja terdiri dari pekerja dengan aktivitas pokok memproduksi, memproses, atau mendistribusikan informasi atau memproduksi pengetahuan. Sebagai dampaknya, pola ekonomi/produksi yang terjadi dalam era  informasi ini semakin mengarah pada pola “padat otak” (“brain-intensive industry”).  Sehubungan dengan itu, ada empat prasyarat dasar untuk berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat informasi (information society), yaitu akses pada jaringan telepon, televisi, komputer, dan internet.

Klik suka di bawah ini ya