Dampak Ekonomi Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, dimana di dalamnya terkandung sejumlah keutamaan. Adalah hal yang wajar jika umat Islam begitu menunggu kedatangan bulan ini. Bahkan Rasulullah SAW telah memberikan gambaran bahwa jika saja manusia mengetahui tentang faedah dan hikmah di balik Ramadhan, niscaya manusia akan menginginkan Ramadhan sepanjang tahun.

Meskipun puasa Ramadhan merupakan bagian dari ibadah mahdlah, namun pada prakteknya, puasa ini telah memberikan dua dampak secara ekonomi. Pertama, bulan Ramadhan biasanya akan menstimulus kenaikan tingkat konsumsi dan belanja masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan tingkat belanja masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pada saat berbuka puasa, saat sahur, penyiapan jamuan hari raya, belanja baju baru dan lain sebagainya.

Fenomena naiknya belanja masyarakat ini, selama tidak bersifat isyraf dan tabdzir atau berlebih-lebihan, merupakan sesuatu yang masih bisa diterima secara wajar. Karena itu, untuk mengantisipasi kenaikan permintaan terhadap uang, maka Bank Indonesia pun telah menyiapkan tambahan money supply sebesar Rp 89,4 triliun khusus menyambut momentum bulan suci hingga datangnya Idul Fitri 1433 H.

Namun demikian, satu hal yang perlu dicermati adalah faktor tekanan terhadap inflasi akibat kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa, terutama barang kebutuhan pokok. Sebagaimana yang lazim terjadi selama ini, pada bulan Ramadhan biasanya harga-harga cenderung bergerak naik. Sebagian mengatakan bahwa kenaikan harga ini merupakan hal yang wajar sebagai dampak dari kenaikan permintaan. Ini adalah hukum bisnis alami.

Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa penyebab kenaikan harga ini lebih disebabkan oleh tindakan para spekulan, yang berupaya untuk mendapat keuntungan berlipat dari kenaikan harga. Seharusnya, fenomena kenaikan permintaan ini bisa diantisipasi oleh para pebisnis melalui peningkatan produksi. Apalagi ini adalah fenomena tahunan yang selalu terjadi.

Pendapat kedua ini juga diamini oleh Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran. Beliau mendesak pemerintah untuk menindak secara tegas para spekulan yang telah mempermainkan harga sehingga merugikan masyarakat. Beliau bahkan menyatakan kekesalannya atas ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi jaringan para spekulan yang tertata dengan rapi. Suara yang sama juga disampaikan oleh sejumlah pihak, karena mereka menyadari bahwa kelompok masyarakat yang paling terpukul adalah kelas menengah ke bawah.

Tindakan para spekulan seperti ini dalam perspektif Islam termasuk ke dalam kategori ihtikar (penimbunan). Rasulullah SAW bersabda, “barangsiapa menimbun barang (melakukan ihtikar) maka ia berdosa” (HR Muslim). Hadits ini memberikan sinyal tentang keharaman melakukan praktek ihtikar. Meski demikian, tentu harus dibedakan antara penimbunan dengan inventory atau persediaan.

Orientasi “persediaan” adalah sebagai cadangan stok barang pada kondisi usaha yang normal. Juga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya excess demand (kelebihan permintaan), sehingga harga bisa stabil ketika ada tambahan suplai. Atau sebagai tindakan untuk mencegah jatuhnya harga akibat excess supply (kelebihan penawaran), terutama pada saat terjadi panen raya. Berbeda dengan penimbunan yang berorientasi pada maksimisasi profit dengan mengeksploitasi keterdesakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam Islam, konsep inventory ini telah dipraktekkan oleh Nabi Yusuf AS, ketika beliau memimpin Mesir dalam menghadapi krisis pangan dan krisis ekonomi selama tujuh tahun.

Ke depan, seharusnya momentum Ramadhan ini bisa dimanfaatkan oleh para pengusaha muslim untuk meningkatkan volume bisnisnya. Dana Rp 89,4 triliun harusnya bisa masuk ke kantong pengusaha muslim sepenuhnya. Penulis yakin, jika para pengusaha muslim ini bisa memanfaatkan momentum yang ada, maka peluang terjadinya ihtikar bisa diminimalisir karena misi bisnis pengusaha muslim bukan sekedar mencari profit semata, melainkan juga membawa misi dakwah dan sosial.

Dampak kedua
Adapun dampak kedua dari kegiatan di bulan Ramadhan ini adalah peningkatan people to people transfer, yaitu transfer dana dari kelompok mampu kepada kelompok tidak mampu dalam bentuk zakat, infak dan sedekah (ZIS). Volume pembayaran ZIS ini biasanya mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Orang berlomba-lomba untuk mendonasikan dananya untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Tidaklah mengherankan jika hal ini berdampak terhadap penghimpunan ZIS secara nasional, dimana proporsi rata-rata penghimpunan ZIS di bulan ini mencapai angka 50 sampai 60 persen dari total keseluruhan dana yang terhimpun dalam satu tahun. Bahkan di beberapa lembaga zakat, proporsi ini bisa mencapai angka 90 persen.

Selain itu, efek dari people to people transfer ini juga akan mendorong adanya aliran dana dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke daerah-daerah yang secara ekonomi masih tertinggal. Aliran dana ini dapat menstimulasi roda perekonomian daerah-daerah tertinggal tersebut, meskipun sifatnya hanya jangka pendek (short term). Wallahu a’lam.

Dr. Irfan Syauqi Beik, Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya