Surat Utang Negara Syariah

Surat Utang Negara (SUN) Syariah sempat menjadi wacana hangat beberapa bulan lalu. Setelah tenggelam dalam berita-berita seputar Pemilu, belakangan ini pembicaraan tentang SUN Syariah kembali mengemuka. Meskipun berbagai obligasi syariah dan MTN (Medium Term Note) syariah telah diterbitkan oleh korporasi, namun pasar obligasi syariah tanpa SUN Syariah tampaknya belum afdol. Mengapa demikian?


SUN Syariah di beberapa negara telah terbukti menjadi salah satu faktor penting dalam mendorong berkembangnya pasar obligasi syariah, apalagi bila mengharapkan investor global. Ada tiga alasan yang sering disebut rekan-rekan investor global tersebut. Pertama, perusahaan Indonesia belum banyak dikenal di pasar global sehingga pemahaman investor akan risiko masing-masing individu (firm-specific risks) sangat minim. Nah, masuknya pemerintah dalam pasar obligasi akan mendorong investor mengetahui lebih jauh bukan saja tentang risiko investasi di negara ini (sovereign risks) namun juga risiko beberapa perusahaan Indonesia.

Kedua, penerbitan obligasi syariah oleh pemerintah meningkatkan comfort level investor global karena merefleksikan adanya perangkat ketentuan hukum yang pasti. Sebagian investor sampai saat ini masih menunggu adanya dasar hukum yang lebih kuat untuk obligasi syariah. Itu pula sebabnya mayoritas existing investor obligasi syariah masih berkisar pada institusi keuangan syariah. Nah, terbitnya SUN Syariah dapat dijadikan rujukan perlakuan hukum oleh investor (principle of legal security).

Ketiga, untuk dapat "terlihat" di pasar global, jumlah obligasi yang terbitkan harus cukup signifikan, misalnya 100 juta dolar AS, meskipun pada level global jumlah ini belum dapat dikatakan besar. Nah, untuk jumlah sebesar ini korporasi Indonesia yang sanggup menerbitkan sangat terbatas, mungkin pada beberapa BUMN saja.

Bagaimana skim SUN Syariah? Ada beberapa contoh di luar negeri. Di Malaysia lazim digunakan skim sell and lease-back (bai' wal ijarah mumtahiya bit tamlik). Katakanlah pemerintah membutuhkan dana untuk pembangunan airport internasional. Pemerintah sebagai pemilik airport "menjual" fasilitas tersebut kepada investor (bond holders) dengan menerbitkan obligasi. Selanjutnya pemerintah "menyewa" airport tersebut dari investor, dan pada saat jatuh tempo pemerintah "membeli" airport tersebut dari investor. Istilah "menjual", "membeli", "menyewa" diberi tanpa kutip karena istilah-istilah tersebut adalah prinsip syariah yang digunakan dalam membiayai pembangunan airport. Bukan menjual, membeli, menyewa sebagaimana yang dimaksud dalam KUH Perdata. Dalam batas tertentu pelaksanaan prinsip syariah tersebut lebih mirip dengan praktik leasing yang diatur dalam KMK No 122 tahun 1974 dan berbagai ketentuan yang mengikutinya.

Di Yordania dikenal Muqaradah Bonds yaitu obligasi syariah berbasis bagi hasil yang diterbitkan oleh Menteri Awqaf, Lembaga Keuangan, Pemerintah Kotamadya. Karena sifatnya bagi hasil, obligasi ini ditujukan untuk membiayai proyek-proyek yang hasilnya akan dibagi hasilkan. Bahrain juga gencar menerbitkan obligasi syariah. Yang paling anyar adalah obligasi syariah yang diterbitkan pemerintah Qatar.

Memang selalu saja ada pihak yang merasa struktur obligasi syariah yang telah diterbitkan masih perlu penyempurnaan di sana-sini, terutama aspek syariahnya dan aspek hukum positifnya. Untuk level wacana pengembangan keilmuan tentu hal ini sangat diperlukan dan dihargai, namun tidak berarti harus menunda penerbitan obligasi syariah. Obligasi konvensional yang telah dikenal lama pun, masih terus mengalami evolusi penyempurnaan. Aspek syariah serahkan saja pada DSN-MUI, aspek hukum serahkan pula pada yang berwenang.

Dalam hal otoritas syariah berada pada tangan yang berbeda dengan otoritas legal formal, maka kepastian hukum ini harus dibangun tanpa mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence). Bila DSN dan DPS beranggapan fatwa-fatwanya otomatis berlaku sebagai hukum positif, tentu keliru. Sebaliknya bila ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas formal otomatis dianggap fatwa, tentu sama kelirunya.

Otoritas syariah dan otoritas legal formal tentunya harus menerapkan asas keseimbangan (principle of proportionality) menyusun ketentuan-ketentuan, di satu pihak memberikan fleksibilitas pasar agar bisnis jasa keuangan syariah dapat berkembang dan di lain pihak tetap menjaga agar prinsip syariah tidak dilanggar. Bisa jadi suatu transaksi boleh secara fikih, namun tidak dibenarkan dalam tatanan hukum positif, dan demikian sebaliknya. Harmonisasi antara kedua otoritas inilah yang harus dibangun atas dasar kesamaan (principle of equality).

Bila suatu transaksi dipandang oleh otoritas syariah tidak sesuai dengan prinsip syariah, maka alasan penolakan haruslah disampaikan dengan jelas; begitu pula sebaliknya. Inilah yang disebut diskusi objektif mencari latar belakang pemahaman masing-masing pihak (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness).

Menyamakan begitu saja SUN dengan SUN Syariah tentu saja tidak tepat. Sama tidak tepatnya bila SUN Syariah dipandang makhluk asing yang sama sekali berbeda dengan SUN. Dari sudut pandang fikih, perbedaan yang mendasar antara SUN dengan SUN Syariah adalah pada akadnya. SUN menggunakan akad yang berbasis bunga, sedangkan SUN Syariah adalah SUN yang menggunakan akad yang berbasis syariah.

Mereka yang akrab dengan SUN, dalam hitungan tiga puluh menit akan segera akrab dengan SUN Syariah karena secara bisnis keduanya mirip. Bila demikian, apa peran Dewan Syariah Nasional MUI?

Memahami SUN Syariah memang mudah, namun mendesain struktur SUN Syariah memerlukan keahlian khusus di bidang syariah. Apalagi desain struktur itu harus mendapat kesepakatan empat puluh ulama melalui rapat pleno DSN. Kekeliruan dalam mendesain suatu obligasi syariah dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, tidak 'market friendly' sehingga tidak dapat diaplikasikan karena keliru memahami prinsip syariah yang sebenarnya sangat fleksibel. Kedua, tidak 'syariah compliance' sehingga menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal karena fleksibilitas fikih ada batasnya.

Dalam obligasi konvensional pun, banyak yang dapat memahami dengan cepat, namun yang mendesain strukturnya tidak semua orang dapat melakukannya. Memahami barang yang sudah jadi memang tidak sama dengan mendesain barang sampai jadi.

Oleh: Adiwarman A Karim

Klik suka di bawah ini ya