Ekonomi Maslahah

Sejumlah kasus yang terjadi di tanah air, seperti kecelakaan maut di Tugu Tani yang menewaskan sembilan orang, maupun meninggalnya seorang perokok pasif yang sempat menghebohkan situs jejaring sosial belum lama ini, menyisakan sebuah pertanyaan ekonomi yang sangat penting: akankah kita tetap mempertahankan keberadaan industri yang berkontribusi terhadap persoalan sosial kemasyarakatan?

Jika kita cermati, pro kontra terhadap keberadaan sejumlah industri, seperti industri miras, yang bahkan memicu debat publik terhadap peninjauan kembali sejumlah perda miras, pada hakekatnya selalu berujung pada satu kepentingan, yaitu kepentingan ekonomi. Apapun argumentasi yang dikemukakan, setuju atau ti dak, pada dasarnya yang berbicara adalah kepentingan uang.

Oleh karena itu, penting kiranya bagi kita untuk memahami konsep maslahah, yang menjadi salah satu pilar penting dalam ekonomi dan bisnis syariah. Maslahah merupakan sebuah konsep yang berangkat dari tujuan utama syariat Islam, yang dikenal sebagai maqashid as-syariah. Menurut Imam As-Syatibi, orientasi utama dari maqashid as-syariah adalah memberikan perlindungan dan pro-teksi terhadap lima hal, yaitu agama, diri, keturunan, akal, dan harta. Kelima aspek ini merupakan hal yang sangat fundamen-tal dalam kehidupan, sehingga kerusakan pada salah satu aspek saja akan menim-bulkan implikasi negatif yang luar biasa.

Implementasi dari maqashid as-syariah ini menurut Imam Al-Ghazali, membutuhkan pertimbangan maslahah, karena maslahah memberikan tolok ukur kemanfaatan atau kemadharatan atas sesuatu. Dengan demikian, maslahah meru-pakan konsideran utama di dalam mengevaluasi nilai manfaat dan madharat dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Perintah untuk menilai manfaat dan madharat, kemudian menimbang mana yang lebih besar, manfaatnya ataukah madharatnya, telah Allah nyatakan secara eksplisit dalam QS 2 : 219. Dan ayat tersebut menegaskan bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan Allah, seperti minuman keras dan perjudian, madharat-nya akan senantiasa lebih besar daripada manfaatnya. Dalam perspektif ekonomi, ayat ini secara tersirat memerintahkan kita untuk mengembangkan cost-benefit analysisatau analisis biaya-manfaat, dalam membangun perekonomian umat.

Analisis biaya-manfaat dan maqashid Namun demikian, analisis biaya-manfaat ini tidak boleh keluar dari kerang-ka maqashid. Ketika keluar dari kerangka maqashid, maka analisis yang dikem-bangkan berpotensi untuk melahirkan kemadharatan, meskipun telah melalui sejumlah prosedur “ilmiah”. Kalaupun ada manfaat yang didapat, maka ia hanya bersifat sementara saja. Nilai manfaat tersebut akan dikalahkan oleh biaya yang harus dikeluarkan. Sebagai contoh adalah industri miras. Meskipun ada manfaat miras yang diterima negara, berupa pemasukan pajak dan cukai senilai Rp 1,5 triliun setiap tahunnya, namun secara maqashid, miras merupakan media yang akan merusak keseluruhan aspek maqashid. Sehingga, walaupun industri tersebut menyerap tenaga kerja lebih dari 10 ribu orang, namun dampak kerusakan dan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat jauh lebih besar. Belum lagi korelasinya dengan semakin tingginya angka kriminalitas akibat miras. Dengan demikian, secara ekonomi, madharat miras jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Contoh lain adalah industri rokok, yang telah diharamkan oleh MUI dan dimakruh -kan sebagian kecil ulama. Menurut analisis kesehatan, rokok memberikan sejumlah dampak buruk. Sehingga, secara maqashid, ia akan merusak diri, harta dan keturunan. Jika menilik pada analisis manfaat dan biaya, maka secara manfaat, industri rokok telah menyumbang pajak sebesar Rp 62 triliun kepada negara dan menyerap dua juta petani dan buruh tani tembakau. Namun secara biaya, total biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat nilainya tiga kali lebih besar (Rp 186 triliun). Belum lagi ditambah dengan data bahwa dari pendapatan bulanan (30 hari) orang miskin termasuk petani, konsumsi rokoknya mencapai angka senilai pendapatannya selama 17 hari. Sisanya baru dipakai untuk memenuhi kebutuhan yang lain, seperti sandang dan pangan.

Sebaliknya, pada jenis-jenis bisnis yang halal dan thayyib, maka manfaatnya akan jauh lebih besar dari biayanya, asalkan pengelolaan usahanya sesuai dengan ketentuan syariah dan kerangka maqashid. Kerangkaini mencakup produk dan keseluruhan prosesnya, mulai dari aspek produksi hingga pemasarannya, ter-masuk pada perlakuan terhadap penda -patannya. Sebagai contoh adalah perusa-haan pengolahan makanan.

Perusahaan makanan ini akan melahirkan kemaslahatan, apabila secara produk ia telah memenuhi persyaratan halal dan thayyib. Kemudian, secara prosesnya, mulai dari pengadaan barang input, sampai kepada pemasarannya, harus sesuai dengan ketentuan syariah.

Jika saja ada pelanggaran syariah, seperti memberikan ‘suap’ untuk mendapat izin usahanya, atau melakukan penipuan pada pengadaan input dan pemasaran produk akhirnya, termasuk keengganan membayar zakat perusahaan dan karyawan apabila telah melebihi nishab, maka perusahaan tersebut telah melabrak rambu maslahah dan syariah.

Akibatnya, bisa menimbulkan kerusakan pada kelima aspek maqashid, seperti kerusakan diri dan keturunan. Ini karena ‘pelanggaran’ yang dilakukan, berimplikasi pada “status keharaman” pendapatan yang diterima. Ketika pendapatan haram ini digunakan untuk membeli barang kebutuhan hidup oleh pemilik, manajemen, maupun karyawan pada perusahaan tersebut, maka akan mengalir unsur haram dalam diri mereka. Akibatnya, sesuai dengan sabda Rasul SAW, bahwa ‘setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih baik baginya’.

Maksudnya, sesuatu yang haram akan cenderung menggiring perilaku orang pada kerusakan dan kemaksiatan terhadap Allah SWT, yang berujung pada kehancuran ekonomi.

Dr. Irfan Syauqi Beik, Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya