Agar Jurnal Memiliki Bahasa yang Cair dan Enak Dibaca

Salah satu ciri karya tulis ilmiah yang biasanya tampil adalah, pertama, kering; kedua, kaku; dan ketiga, monoton atau membosankan. Tidak semua karya tulis ilmiah seperti itu. Hanya, kesan kaku, kering, monoton itulah yang membuat sebuah jurnal hanya memiliki pembaca yang sangat sedikit. Jurnal-jurnal ”ilmiah” yang diterbitkan Mizan memang tidak dapat bertahan lama. Al-Hikmah hanya bertahan hingga 16 edisi. Islamika lebih sedikit lagi: mungkin hanya 10 atau 11 edisi dan jurnal studi-studi politik, ternyata, lebih sedikit lagi: hanya 6 atau 7 edisi.


Padahal, jurnal studi-studi politik yang kontennya dikelola oleh Eep Saefulloh Fatah sudah dikemas bukan dalam bentuk jurnal—yang berseri—tetapi dalam bentuk buku yang dapat dibaca kapan pun dan di mana pun. Menurut saya, baik Al-Hikmah, Islamika, mapupun jurnal studi politiknya Eep juga sudah dicoba dikemas bahasanya menjadi agak cair dan ditambah ilustrasi. Topik-topik yang mengisi ketiga jurnal pun dipilih yang aktual dan, bahkan, kontekstual serta sedikit mengandung isu.


Akan tetapi, tetap saja, jurnal-jurnal tersebut tidak dapat bertahan lama dan oplahnya pun terus menurun. Seingat saya, edisi terakhir jurnal Al-Hikmah hanya dicetak sekitar 500 eksemplar. Jadi, apa yang menyebabkan jurnal-jurnal tersebut tidak memiliki pembacanya? Apakah kutukan bahwa jurnal ilmiah itu kaku, kering, dan monoton memang sulit dihindarkan? Saya ingin sekali menyebut kutukan itu sebagai sebuah mitos. Tetapi, apa daya, ternyata faktanya memang begitu: jurnal tidak dapat menarik pembaca yang sangat banyak alias sebuah jurnal tak dapat bertarung di pasar bebas.


Mungkin penting untuk menjelaskan tentang apa yang saya maksud dengan kaku, kering, dan monoton. Meskipun sudah dapat ditebak, memahami tentang tiga kutukan itu saya yakin perlu. Untuk apa? Agar kita—yang masih tertarik untuk menghidupkan sebuah jurnal—dapat mengatasi tiga kutukan dan mengubahnya menjadi tidak seperti itu. Dengan memahami dan kemudian membuat sebuah jurnal tidak kaku, kering, dan monoton, siapa tahu kemudian dapat dirancang sebuah strategi pemasaran yang dapat meningkatkan oplah sebuah dengan memperbanyak yang membaca.


Kering. Ketika membaca sebuah jurnal, Anda dapat membayangkan petak-petak sawah yang sudah lama tidak ditanami padi dan sudah bertahun-tahun pula tak ada air mengalir di situ. Kebetulan, pas Anda menyaksikan rekahan-rekahan tanah, terik matahari sedang menyengat. Meskipun mungkin jurnal yang Anda baca itu mengandung konten yang amat penting dari sebuah penelitian, namun rasa gerah telah menggelayuti Anda sehingga ada kemalasan untuk membacanya.


Kaku. Anda takkan menemukan bahasa Andrea Hirata yang luwes, jenaka, dan mengalir—yang ada di dalam tetralogi novel Laskar Pelangi-nya—dalam sebuah jurnal. Atau bahasa-tulis yang khas yang liat namun cergas serta halus—untuk tak mengatakan lembut—dalam novel-novel Dee atau Dewi Lestari juga takkan ada di sebuah jurnal. Yang Anda temukan adalah bahasa yang bagaikan kerupuk yang jika dikunyah akan terdengar bunyi yang gemerisik tidak enak karena berisik. Tampak sekali bahwa Anda akan merasakan kehausan begitu membaca sebuah jurnal.


Monoton. Bayangkan Anda sedang berada di taman dan di taman itu bunga-bunga sedang bermekaran. Bukan jenis bunganya yang penting, tetapi warna dan aromanya. Sepasang mata Anda dibuat mabuk kepayang karena begitu indahnya campuran berbagai warna dan aroma itu. Keadaan yang membangkitkan gairah hidup seperti itu belum tentu Anda temukan dalam sebuah jurnal. Apabila Anda membaca jurnal, ada kemungkinan yang Anda temukan adalah sesuatu yang tidak berwarna—hanya hitam dan putih—dan tidak memercikkan aroma apa pun.


Bagaimana mengubah sebuah jurnal agar tidak tampak kering, kaku, dan monoton? Bagaimana agar sebuah jurnal dapat pula dibaca banyak kalangan, termasuk orang awam—mungkinkah? Bagaimana pula membuat sebuah jurnal dapat membangkitkan semangat dan gairah dalam menemukan kehidupan baru?


Oleh Hernowo

Klik suka di bawah ini ya