Sukuk Al-Intifa'

Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya ekonomi yang sangat luar biasa, yang jika dapat dimanfaatkan secara optimal, akan memiliki implikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu potensi tersebut adalah aset wakaf. Menurut catatan Kementerian Agama, luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 1.400 km2, atau setara dengan dua kali luas Singapura. Nilai aset ini diperkirakan mencapai angka Rp 590 triliun. Namun sangat disayangkan, mayoritas tanah wakaf ini adalah iddle asset.


Hal tersebut sangat kontras bila dibandingkan dengan Singapura, di mana Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS), mampu memberdayakan sejumlah aset wakafnya sehingga memberikan keuntungan ekonomis. Sebagai contoh, pada 2001 lalu, MUIS mampu memanfaatkan salah satu tanah wakafnya untuk membangun gedung perkantoran enam lantai untuk disewakan, sehingga asetnya bisa meningkat empat kali lipat, dari 25 juta dolar Singapura menjadi 100 juta dolar Singapura dalam waktu lima tahun.


Pertanyaannya, mengapa hingga saat ini masih sangat sedikit aset wakaf di Tanah Air yang mampu diproduktifkan, sehingga bisa memberikan nilai ekonomis yang tinggi bagi masyarakat? Di antarajawabannya adalah karena masih minimnya sumber dana investasi yang diperlukan untuk memberdayakan aset-aset tersebut. Sementara di sisi lain, kita melihat pertumbuhan pasar keuangan syariah yang sangat pesat. Banyak inovasi produk keuangan yang muncul, yang salah satu diantaranya adalah sukuk.


Saat ini, sukuk telah menjadi instrumen investasi yang diharapkan dapat berperan dalam menumbuhkan perekonomian nasional. Dari sudut pAndang negara, sukuk telah dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan untuk menutup defisit APBN, meski nilainya masih belum terlalu besar. Hingga 31 Agustus 2010, pemerintah telah menerbitkan sovereign sukuk dengan total volume senilai Rp 41,92 trilyun. Ke depan, peran sukuk ini diperkirakan akan semakin signifikan, apalagi pada 2011 ini pemerintah telah merencanakan untuk menerbitkan sejumlah seri sukuk ritel.


Integrasi wakaf dan sukuk


Dengan kondisi di atas, maka tantangan bagi kita adalah bagaimana membangun sinergi dan connectivity antarsektor dalam ekonomi syariah, termasuk antara sektor wakaf dengan pasar modal syariah. Terkait dengan hal ini, ada baiknya kita melihat contoh model integrasiwakaf dengan sukuk dalam sebuah skema yang disebut dengan sukuk al-intifa, sebagaimana yang telah dikembangkan Arab Saudi dalam pembangunan Zam Zam Tower di Makkah.


Secara sederhana, mekanisme sukuk al intifa ini berbasis akad ijarah. Nadzir (pengelola wakaf) menyewakan tanah wakaf yang dikelolanya kepada pihak developer yang tertarik, misalkan perusahaan A. Biaya sewa yang disepakati, yang harus dibayarkan oleh A, adalah dalam bentuk gedung, dan bukan dalam bentuk uang tunai. Katakan masa kontraknya adalah 25 tahun. Maka setelah 25 tahun, A berkewajiban memberikan gedung kepada nadzir sebagai biaya sewa atas tanah wakaf yang dikelolanya. Jadi, sistem pembayarannya tidak dilakukan setiap bulan atau setiap tahun, melainkan secara penuh (lump sum) setelah berakhir masa sewa.


Kemudian, A segera membangun gedung yang diperlukannya. Tentu saja sebagai sebuah perusahaan, A ingin mendapat laba yang sesuai dengan investasi yang dilakukan. Untuk itu, A menyewakan gedung tersebut kepada perusahaan lain yang tertarik, misalkan perusahaan real estate B selama 20 tahun, dengan perjanjian bahwa biaya sewa akan dibayar B setiap tahun (atau setiap bulan).


Mengingat besarnya dana awal yang dibutuhkan, B kemudian menerbitkan sukuk ijarah di lantai bursa.


Dengan penerbitan sukuk ini, B memili ki modal yang cukup untuk mulai beroperasi dan membayar kewajiban biaya sewa kepada A setiap tahunnya. Sukuk yang diterbitkan B inilah yang disebut sebagai sukuk al-intifa. Dikatakan al-intifa (mengambil manfaat) karena sukuk tersebut (yang diterbitkan B) pada dasarnya bukanlah sukuk yang berbasis tanah, melainkan gedung.


Dalam konteks ini, gedung yang ada sesungguhnya merupakan biaya yang harus dibayarkan A kepada nadzir, karena A telah memanfaatkan tanah wakaf yang dikelolanya. Sehingga, ketika B menerbitkan sukuk, pada dasarnya yang dijadikan sebagai underlying asset-nya adalah dalam bentuk "manfaat". Jadi B mengambil manfaat dari apa yang dibayarkan A kepada nadzir.


Pada konteks Indonesia, mekanisme sukuk al-intia ini bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, seperti pembangunan pasar, rumah sakit, gedung perkantoran. Kita pun bisa mencari terobosan produk baru yang lebih sesuai untuk diterapkan. Harapannya, dampak terhadap masyarakat dapat dirasakan secara luas.


Dr Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya