Pengaruh Guncangan Ekonomi terhadap Dual Banking System

Pengaruh Guncangan Ekonomi terhadap Dual Banking Systemomposisi pangsa pasar pada perbankan berdasarkan hasil riset kuantitatif Bank Indonesia (2008) menunjukkan bahwa nasabah di Indonesia yang loyal terhadap bank syariah adalah sebesar 16,40 persen, sedangkan nasabah loyal konvensional sebesar 33,80 persen. Sisanya sebesar 49,80 persen didominasi oleh nasabah rasional, yang memilih bank berdasarkan profit yang didapat. Potensi jumlah nasabah rasional yang besar tersebut ikut berperan dalam menciptakan lingkungan kompetitif bagi industri perbankan, terutama dalam era dual banking system.


Interaksi antara bank syariah dan bank konvensional dalam dual banking system tidak dapat dihindari sebab kedua sistem tersebut beroperasi pada lingkungan makroekonomi yang sama. Namun, respons yang ditunjukkan oleh masing-masing perbankan akan berbeda dalam menghadapi guncangan makroekonomi. Di satu sisi, aktivitas intermediasi perbankan menjadi salah satu pendorong dalam memajukan perekonomian bangsa. Dengan demikian pembuktian secara empiris mengenai dampak guncangan perubahan makroekonomi terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) dan kredit perbankan, dalam dual banking system di Indonesia.


Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak guncangan variabel makroekonomi Real Exchange Rate (RER), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Consumer Price Index (CPI), dan Industrial Production Index (IPI) terhadap DPK dan kredit perbankan konvensional maupun DPK dan pembiayaan perbankan syariah.


Data yang digunakan adalah data Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), serta bank umum konvensional untuk periode Juni 2003 sampai Oktober 2008. Analisis data yang digunakan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM).


Hasil dan analisis


Hasil IRF menunjukkan bahwa guncangan variabel RER sebesar satu standar deviasi akan direspons negatif oleh DPK dan kredit/pembiayaan pada masing-masing sistem perbankan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yusof, et al. (2008) yang menyatakan bahwa naiknya nilai tukar domestik (depresiasi) menyebabkan kenaikan harga barang impor dan penurunan hargabarang ekspor, sehingga mendorong peningkatan harga domestik, dan berakibat terhadap penurunan DPK perbankan. Dari sisi pinjaman, depresiasi nilai tukar menyebabkan beban pengembalian utang dalam bentuk valuta asing membesar, sehingga semakin banyak debitor yang default. Risiko nilai tukar tersebut menyebabkan terjadinya penurunan outstanding kredit.


Secara umum, respons negatif ditunjukkan oleh DPK dan pembiayaan syariahterhadap guncangan variabel SBI. Kenaikan SBI rate menyebabkan suku bunga simpanan menjadi lebih tinggi. Dalam hal ini, deposan bank syariah akan mentransfer dananya ke bank konvensional saat return yang ditawarkan oleh bank syariah secara signifikan lebih rendah dibandingkan bank konvensional. Selanjutnya, penurunan dana yang berhasil dihimpun bank syariah akan memengaruhi kemampuan bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan.


Seluruh model merespons negatif guncangan CPI yang merupakan proxy inflasi. Artinya, ketika terjadi peningkatan CPI, baik DPK maupun pinjaman akan mengalami penurunan. Inflasi tinggi akan meningkatkan ketidakpastian ekonomi serta mengurangi nilai riil dari portofolio bank, sehingga memengaruhi performa perbankan dalam menghimpun , dana dan menyalurkan pinjaman. Guncangan IPI sebesar satu standar deviasi akan direspons positif oleh model DPK syariah, DPK konvensional, dan kredit konvensional. Artinya, kenaikan IPI sebagai indikator kemajuan produksi menyebabkan DPK dan kredit bank konvensional mengalami peningkatan.


Hal menarik ditunjukkan oleh modelpembiayaan syariah di mana guncangan IPI akan direspons negatif oleh pembiayaan. Artinya, peningkatan IPI akan menurunkan pembiayaan syariah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh prinsip profit sharing yang dijalankan oleh bank syariah, menyebabkan cost of money pada bank syariah justru lebih mahal saat perekonomian sedang membaik. Oleh karena itu, kondisi perekonomian yang membaik menyebabkan nasabah akan memilih sumber pinjaman modal yang menawarkan cost of money lebih murah.


Selanjutnya, hasil analisis variance decomposition menunjukkan bahwa pengaruh fluktuasi SBI terhadap DPK syariah adalah sebesar 1,50 persen. Sedangkan pembiayaan berbasis syariah dipengaruhi oleh fluktuasi SBI sebesar lima persen. Share aset perbankan syariah yang masih sangat kecil menunjukkan lingkungan perbankan di Indonesia masih didominasi oleh sistem konvensional. Temuan ini sejalan dengan penelitian Bacha (2004), Yusof, et al. (2008), dan Kassim, et al. (2009), yang menyatakan bahwa bank syariah dalam sistem perbankan ganda turut dipengaruhi oleh risiko bunga walaupun bank tersebut beroperasi dengan prinsip bebas bunga.


Kontribusi variabel makroekonomi lain dalam menjelaskan perilaku DPK syariah adalah sebesar 17,80 persen. Adapun share variabel makroekonomi lain terhadap fluktuasi DPK konvensional mencapai 68,60 persen (Gambar 1). Oleh karena itu, DPK syariah akan lebih stabil menghadapi guncangan makroekonomi dibandingkan DPK konvensional.


Proporsi variabel makroekonomi lain terhadap pembiayaan syariah menunjukkan nilai yang relatif lebih besar, yaitu sebesar 53,80 persen dibandingkan pengaruh variabel makroekonomi lain terhadap kredit konvensional, yang mencapai angka 19,40 persen (Gambar 2). Dengan demikian, kredit konvensional akan lebih stabil dibandingkan pembiayaan syariah dalam menghadapi guncangan makroekonomi. Hal ini sejalan dengan penelitian Sugema et al. (2009) yang menyatakan bahwa pembagian risiko yang berasal dari shock makroekonomi pada pasar pembiayaan berbasis bagi hasil akan memengaruhi pemilik modal dan peminjam Sementara itu, pemilik modal dalam hal ini adalah bank konvensional tidak akan menanggung risiko pada pasar kredit konvensional sehingga shock yang terjadi akan dihadapi sepenuhnya oleh peminjam kredit.


Kesimpulan


SBI sebagai instrumen moneter memiliki pengaruh bukan hanya terhadap bank konvensional, melainkan juga terhadap bank syariah. Kondisi pasar perbankan saat ini yang masih didominasi oleh sistem konvensional, membuat intrumen moneter berbasis bunga memengaruhi aktivitas perbankan syariah. Idealnya, bank syariah mampu menjadi pendorong perekonomian melalui intermediasi perbankan yang bebas bunga, termasuk dalam penentuan tingkat pembiayaannya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya perbaikan instrumen moneter berbasis syariah agar perbankan syariah lebih optimal sebagai lembaga intermediasi yang berpihak terhadap sektor riil, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasarnya.


Respons negatif yang ditunjukkan oleh variabel IPI terhadap model pembiayaan syariah menunjukkan bahwa pembiayaan syariah masih belum begitu diminati oleh pasar saat perekonomian membaik. Hal ini merupakan tantangan bagi perbankan syariah dalam menciptakan strategi yang tepat agar nasabah rasional lebih tertarik menggunakan layanan bank syariah.


Program pencitraan baru, pengembangan produk dan teknologi, perbaikan SDM, peningkatan pelayanan, serta sosialisasi dan komunikasi harus diperbaiki oleh seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan bank syariah. Hal-hal tersebut bertujuan agar competitiveness perbankan syariah dapat meningkat sehingga besarnya potensi nasabah rasional dapat diraih untuk meningkatkan market share perbankan syariah.

Klik suka di bawah ini ya